Navigation Menu

Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

Bahasa, Kemerdekaan, dan Jepang

Oleh: YOGYANTORO* 


“Siapa nama kau, nak?” tanya seorang wanita kepada bocah disampingnya. “Namaku Lintang dari Kayu Pelumbang, Bu. Aku nak sekolah” jawab bocah itu. Sementara itu di tempat lain Ikal bertanya pada umaknya. “Aku pakai sepatu ini, umak?” Wanita yang dipanggil umak itu menimpali “Sudahlah pakai aja itu dulu, nanti kalo ada rezeki umak belikan yang baru.” Ekspresi yang sederhana dari anak-anak yang mengutarakan keinginan dan menginginkan kebebasan tergambar secara kasat mata dari tokoh Lintang dan Ikal dalam petikan naskah drama Laskar Pelangi.

Tokoh Lintang dengan bahasa lisannya dalam film Laskar Pelangi sangat ekspresif ditambah mimik, gerakan tubuh dan intonasi yang ingin meyuarakan keinginannya untuk bisa bersekolah. Lintang sebagai komunikator telah membuat komunikan yaitu orang yang diajak berbicara dalam hal ini tokoh Bu Mus sebagai pihak penerima pesan dalam proses komunikasi menjadi tergerak hatinya. Selain menggunakan bahasa lisan, seseorang bisa juga menggunakan bahasa tulis yang terdiri dari susunan simbol atau huruf yang dirangkai menjadi kata bermakna yang dituliskan sebagi alat untuk mengekspresikan tujuan dan identitas diri. 

Bahasa menurut Harun Rasyid, Mansyur dan Suratno (2009:126) merupakan struktur dan makna yang bebas dari penggunanya,sebagai tanda yang menyimpulkan suatu tujuan. Siapapun bebas berbicara dan menyuarakan pendapatnya menggunakan bahasa yang sesuai dengan kaidah-kaidah atau tata cara berbahasa yang baik. Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KKBI) kata bebas memiliki arti 1. lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa). 2. merdeka (tidak dijajah, diperintah, atau tidak dipengaruhi oleh negara lain atau kekuasaan asing). Ikal dalam Laskar Pelangi belum merasa bebas dengan kondisi sepatunya yang lusuh, dan berwarna pink. Ikal belum merdeka. 

Merdeka artinya bebas dari penjajahan, perhambaan dan sebagainya. Kemerdekaan adalah kebebasan yaitu kebebasan dalam memilih, kebebasan berekspresi, kebebasan dalam berkarya, kebebasan dari keterkungkungan, atau kebebasan mencinta. Setali tiga uang dengan puisi Sapardi Djoko Damono, guru besar dan sastrawan alumnus UGM dalam lirik puisinya: aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Pun, Muhammad Ali, petinju legendaris meneriakkan kebebasan melalui bahasa puisinya yang berjudul Freedom-Better Now yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “Kebebasan”.

Bahasa memiliki energi yang besar dalam menyuarakan kebebasan. Bahasa pidato Bung Tomo -merdeka atau mati!- yang begitu membakar berhasil menjadi mesin penggerak semangat yang ampuh bagi arek-arek Suroboyo melawan serangan pasukan Inggris. Pidato Sang Penyambung Lidah Rakyat, Soekarno, mengiringi pecahnya perang melawan penjajah sedahsyat pidato We Shall Fight on the Beaches oleh Winston Churchil yang mampu menyulut Perang Dunia II. Perang Sipil di Amerika Serikat berhasil diredam dengan pidato Gettysburg-nya Abraham Lincoln. Demikian juga pidato Tear Down the Wall oleh Ronal Reagan menandai berakhirnya Perang Dingin. Bahasa mampu menjadi api pembakar sekaligus menjadi air kehidupan yang tenang menyejukkan. 

Bahasa adalah aset dari sebuah pembebasan, keperkasaan dan perekat persatuan. Setelah reformasi 1998, kebebasan berpendapat adalah hak istimewa (privelese) bagi warga negara Indonesia dan merupakan hak asasi manusia yang tertuang dalam deklarasi universal perserikatan bangsa-bangsa (PBB). Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi perlu menegakkan pilar demokrasi salah satunya dengan memberikan ruang bagi kebebasan pers. Bahasa menjadi wahana berkomunikasi yang bebas tentang dunia bisnis, hukum, politik, pendidikan, budaya, humaniora, pariwisata, seni dan sebagainya. Hal ini kemudian bisa membawa sebuah negara tumbuh secara dinamis dalam percaturan global. Menurut Sunaryo (2000:6), tanpa adanya bahasa termasuk bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) serta kebudayaan nasional tidak akan mampu berkembang. Selain itu bahasa dapat menjadi jembatan antarbudaya dan antarsuku yang memiliki latar belakang budaya dan kehidupan sosial yang beragam. Warga masyarakat dari berbagai daerah dapat bebas berbaur berkat adanya alat penghubung yang menyatukan yaitu bahasa. 

Alat komunikasi dan perhubungan nasional di negara Indonesia adalah bahasa Indonesia. Kepak sayap bahasa Indonesia telah membahana menembus berbagai belahan dunia. Bahasa Indonesia mempunyai penutur terbanyak di kawasan Asia Tenggara dan menjadi bahasa resmi pada sidang ASEAN. Radio siaran internasional, seperti Radio Australia, BBC, Suara Amerika (Voice of America), Al- Jazeera, France24 dan Radio Belanda memiliki acara rutin berbahasa Indonesia. Lebih dari 45 negara di dunia yang mempelajari bahasa Indonesia atau memasukkan bahasa Indonesia ke dalam kurikulum pendidikan mereka. 

Jepang adalah salah satu dari lima negara di dunia yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran wajib. Tokyo Gaikugo Daigaku (Tokyo University of Foreign Studies) yaitu salah satu kampus terbaik yang khusus untuk mempelajari bahasa di Jepang telah mengajarkan bahasa Indonesia sejak tahun 1922. Bahasa Indonesia dimasukkan ke dalam program Kajian Asia Tenggara dan dipelajari sebagai bahasa asing kedua setelah bahasa Inggris. Selain itu beberapa perguruan tinggi lain di Negeri Sejuta Burung Gagak seperti Universitas Kajian Asing Osaka, Universitas Setsunan, Universitas Tenri dan Universitas Sango Kyoto juga membuka degree dengan jurusan bahasa Indonesia. Namun tidak sedikit warga Jepang yang belajar langsung ke Indonesia. 

Banyak orang Jepang yang berminat mempelajari bahasa Indonesia karena semakin meningkatnya hubungan ekonomi dan kebudayaan antara Indonesia dengan Jepang. Bahkan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tokyo menginisiasi sebuah program yaitu lomba pidato Bahasa Indonesia bagi warga Jepang sejak tahun 2007 dan rutin dilaksanakan setiap tahun. Bahasa Indonesia berpotensi menjadi bahasa internasional apabila warga negara Indonesia mau menjunjung tinggi bahasa sendiri dan tetap membumi dengan bahasa ibu sebagai bahasa daerah. Siapkah kita menjadi penutur yang berbudaya, beradab dan merdeka? 

*Pendidik, Peserta Program Pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Negara Tujuan Jepang, Kemdikbud 2019 dan Nomine Pemenang Lomba Jurnalistik, Kemdikbud 2019.

Gending Keluarga dalam Surat Kecil untuk Tuhan

(The Quintessence of Education)


Oleh: Yogyantoro
Penulis adalah guru SMPN 4 Muara Teweh,
alumnus Universitas Negeri Malang



“ Tuhan, aku merindukan ayah dan ibuku/ Aku hanya punya seorang kakak yang selalu menjagaku/ Aku ingin selalu bersamanya/ Jangan pisahkan kami Tuhan”.


Foto : www.wowkeren.com
Sebuah film drama keluarga yang diadaptasi dari novel karya Agnes Danovar, dan digarap oleh seorang director, Fajar Bustomi. Film yang dirilis pada 25 Juni 2017 yang lalu dengan running time (durasi) 127 menit ini mengetengahkan kezaliman endemik di ibukota yang mengeksplorasi perspektif anak jalanan dengan menampilkan suatu sindikat yang memanfaatkan anak-anak terlantar menjadi mesin uang. Skenario film tentang pengorbanan sang kakak, Anton (diperankan oleh Bima Azriel) yang bertahan hidup sebagai anak jalanan dan perjuangan seorang adik, Angel (diperankan oleh Izzati Khanza) yang berusaha untuk menemukan kembali masa lalunya yaitu seorang kakak yang dulu selalu menjaganya, setelah guratan nasib secara tragis memisahkan mereka berdua ini ditulis oleh scriptwriter, Upi Avianto. Angel dewasa yang diperankan oleh Bunga Citra Lestari kemudian berhasil menjadi sarjana hukum di Australia dan bertunangan dengan Martin, seorang kardiolog yang diperankan begitu kharismatik oleh Joe Taslim. Menggarap rentang waktu yang panjang, tokoh-tokoh yang sudah lama berpisah bertemu lagi.


Surat Kecil Untuk Tuhan versi 2017 diproduksi oleh Falcon Pictures selaku rumah produksi dengan didukung para pemain yang turut berperan yaitu Teuku Rifnu Wikana, Lukman Sardi, Maudy Kusnaedi, Aura Kasih dan Ben Joshua. Tahun 2011 buku pertama Agnes Donovar telah diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama bercerita tentang seorang gadis yang berjuang melawan kanker ganas di wajahnya. Latar belakang anak jalanan kini menjadi obyek satire dalam film ini yaitu tentang masalah sosial yang menimpa mereka. Latar belakang anak jalanan yang diangkat keluarga di Australia ini memang mirip dengan film Lion (2017), film peraih nominasi Oscar. Bedanya adalah Surat Kecil untuk Tuhan telah terjebak pada sentimentalisme yang berkepanjangan. Film ini akhirnya juga kurang otentik dengan gagasan-gagasan yang baru. Namun mengangkat gagasan brillian berdasarkan ilham dari salah satu masalah besar bangsa Indonesia patut mendapatkan apresiasi two thumbs. Gagasan tentang eksploitasi anak, perdagangan anak dibawah umur, dan organ tubuh illegal memang seharusnya diangkat ke permukaan dan di blow-up oleh berbagai media.

Film ini telah begitu peka menunjukkan proyeksi dari sekian banyak anak-anak terlantar sebagai sebuah gejala sosial yang paling rawan. Meskipun rada berlebihan, melodrama di dalamnya bisa menjadi sangat instrumental dalam memancing kesadaran. Sayup-sayup film ini diinsinuasikan kepada negara kita sekarang. Di negara kita segala sesuatu telah diatur oleh undang-undang. Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Satu hal yang kasat mata adalah masih banyaknya anak-anak mengamen, mengasong, mengemis bahkan mencopet di sepanjang jalan, terminal, lampu merah, kolong-kolong jembatan dan hampir seluruh persendian ibukota.

Memang sangat tematis bahwa kehidupan anak-anak jalanan itu begitu destruktif dan nilai-nilai moral menjadi luntur. Kosmos tentang kehidupan anak jalanan ditampilkan dengan utuh sampai pada adegan anak kecil yang dibedah hidup-hidup off screen dan kita bisa melihat reaksi orang dewasa yang muntah menyaksikan crime thriller yang membuat merinding bulu kuduk. Sayangnya crime thriller dan adegan-adegan kekerasan yang membumbui keseluruhan tone film yang terkesan cengeng tersebut tidak dibarengi dengan gelegar megah musik motivasional yang menegarkan dan menguatkan seperti dalam film Lion. Adegan anak-anak yang menangis dibawah guyuran air hujan dan color grading yang monoton mendung di awal kisah juga terkesan klise dan kurang kreatif dalam memetik heartstring kita. Sebuah pendekatan yang biasa muncul dalam cerita-cerita sinetron. Tone yang diolah seharusnya menjadikan film ini drama yang secara natural memberikan ruang untuk thought-provoking. Alih-alih film ini telah menjadi begitu emosional.

Pada dasarnya film ini tidak hiper-realisme. Fajar Bustomi selaku sineas dan nahkoda film mampu menyiasati kependekan ruang film dengan mengambil adegan-adegan singkat tetapi lugas yang justru berdaya kuat menonjolkan hakiki. Landscape pengambilan gambarnya menjangkau hal-hal terkecil. Jika penyisipan cityscape dan timelapse tidak terlalu over akan membuat film ini makin stunning secara visual. Menerjemahkan novel ke dalam film memang bukan pekerjaan mudah. Novel bisa dengan leluasa memperkenalkan tokoh-tokohnya. Sedangkan film terbatas oleh running time. Penyingkapan karakter antagonisnya misalnya, seharusnya dapat dilakukan dengan lebih efisien. Sosok Om Rudy sebagai pemimpin sindikat anak jalanan yang diperankan oleh Lukman Sardi, dengan beberapa shoot saja seharusnya bisa menyingkap sosoknya dan pergeseran state of mind antagonisnya. Samar namun memberi isyarat-isyarat yang pasti maka terjadilah semacam penelanjangan diri pada tokoh tersebut. Film ini kemudian menyerupai style sinetron-sinetron Indonesia bahwa yang jahat menjadi benar-benar jahat dan yang baik menjadi benar-benar baik. Terlalu hitam putih dan porsi drama yang terlalu di-amplify menjadikan film ini kurang natural.

Di balik kelemahan penggunaan bahasa Angel dewasa (Bunga Citra Lestari) yang kurang men-develop accent Australian-English dan penggunaan bahasa hukum yang kaku sebagai seorang sarjana hukum yang besar di Australia atau lantaran film Indonesia yang cukup sulit menemukan aktor anak kecil yang mampu bermain dengan meyakinkan, dan juga akhir cerita yang mudah ditebak karena banyaknya clue-clue yang tersusun sistematis, film ini telah mengajarkan kepada kita tentang tentang the quintessence of education yang telah dikumandangkan oleh Bapak-bapak pakar pendidikan di masa lalu seperti Ki Hajar Dewantoro, Sigmund Freud, Engkoe Mohammad Syafei, Han Feizi dan Machiavelli. Meskipun kita layaknya pelari yang tidak mengenal medan dan terseok-seok kehabisan tenaga tapi kita harus tetap berjuang menuju garis finish. Surat Kecil untuk Tuhan baik versi 2011 dan 2017 ini membangunkan kembali 4 (empat) esensi pendidikan yaitu penguasaan kemampuan akademik dasar, kemampuan unik tiap individu, self help problem solving dan tetap survive in relationship with fellow humans and nature. Angel dan Anton dalam film ini menjadi refleksi orang yang mampu survive menghadapi kenyataan hidup yang mendera mereka.

Music scoring berupa paduan suara Purwacaraka yang menyayikan lagu-lagu anak diiringi dengan orkestra yang begitu gagah dan chemistry solid serta subtil antara Ningsih yang diperankan oleh Aura Kasih dan Rifnu Wikana sebagai Asep telah menjadi scene stealer tersendiri. Soundtrack film yang sungguh grande ditambah lagu backsound yang menyentuh dan kritik sosial yang terbungkus apik menjadikan film ini layak ditonton. Namun jangan lupa tetap mendampingi anak-anak Anda menonton film ini karena banyak adegan kekerasan di paruh pertama film.


***

Totalitas Hidup dalam Galeri Seni, Sebuah Pengalaman

Oleh: Yogyantoro


It’s not our art, but our heart that’s on display
(Garry Holland)

Indahnya membelah jalanan sambil menikmati suasana klasiknya Batavia (Kota Tua), yang dulunya bernama Jayakarta ketika matahari naik sepenggalah. Amazed banget dan menjadi pengalaman membius yang tak terlupakan. Ini seperti sebuah perjalanan menyusuri filosofi dasar hidup untuk menjawab setumpuk pertanyaan tentang keberadaan sejarah. Aku tak pernah puas. Aku selalu mengutuk dengan yang ada dan bersikeras untuk melakukan eksplorasi. Di kota rintisan yang dahulu kala dibangun oleh Belanda sebagai pusat perdagangan di Asia ini berdiri kokoh Museum Bank Indonesia, Museum Wayang dan Museum Seni Rupa dan Keramik.
Museum Seni Rupa dan Keramik adalah pilihan pertama yang begitu kuat memantik langkahku untuk segera masuk ke dalamnya. You know, they say the best things in life are free. Yes, free admission. Para pegawai atau staf dengan ramah menyambutku. Mereka mahfum it’s best to be kind to all visitors. Memasuki galeri yang mengetengahkan koleksi seni pilihan ini serasa disiram selaksa gambaran tentang eksistensi, kreativitas dan pemikiran yang sungguh inovatif. Karya-karya seni yang sangat berharga dari para seniman terkemuka menghiasi ruangan.  Galeri ini telah mengabadikan seni. Aneka lukisan terpajang di dinding. Selain itu di sisi lain dan di beberapa sudut ruangan kita bisa menjumpai beragam patung, seni dekoratif, seni grafis, foto, seni instalasi, kolase, dan furnitur serba unik. Nampak sekali bakat dari sang pemilik tangan dingin begitu terampil dan sukses membentuk ide  dalam konteks kesadaran makna yang  tinggi.

Gambar 1.  Melihat lukisan yang terpajang di dinding


Melihat-lihat karya seni tidak hanya sekedar melihat. Saat mataku  menyapu aneka karya seni banyak sekali ide-ide menyeruak dalam benakku. Galeri seni juga memunculkan teka-teki tersendiri tentang sejarah dan hidup. I really believe that the benefit of being puzzled are massive. Kreativitas kita seperti dicambuk untuk ikut berkembang. Bahkan mengunjungi galeri seni ternyata mampu menjadi mesin pembangkit kreativitas. Creativity takes courage. Menjelajahi  galeri seni mendorong rasa ingin tahu kita yang akan sangat bermanfaat bagi kita untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Gambar 2. Menunjuk  lukisan karya seniman 

Galeri seni di Museum Seni Rupa dan Keramik ini telah membuatku bertransformasi menjadi manusia seutuhnya.  Manusia seutuhnya yang kumaksud adalah manusia yang hidup dengan hati. Aku tidak sedang bercanda. Seni adalah buah cipta, rasa dan karsa. Dari sanalah bersemayam budi yang halus. Seeing so much art, I’ve seen many heart of human being. I’ve become more tolerant and considerate. Pikiran kita juga menjadi lebih tajam dan  pintar dibalut dengan jiwa yang hangat dan bebas.

Gambar 3.  Duduk santai di selasar Museum Kontemporer Jakarta 

Penataan ruang yang baik di galeri seni ini juga memberikan kesan yang tenang dan santai. Peace of mind and creativity dapat bersemai dengan baik dalam alam pikiran para pengunjungnya. Pengunjung dengan nyaman dapat memilih karya-karya yang menarik untuk dinikmati berlama-lama atau sekejap.  Hidup itu adalah “all you can eat” buffet. Begitu juga galeri seni.  Akhirnya banyak sekali museum dan galeri seni lain yang menarik untuk dicumbu seperti Galeri Hadiprana, Nadi Galeri, Edwin’s Galery, Art:1, MACAN, Biasa Artsphere Jakarta dan lain-lain. 


* * *

Kritik Film, Nyai Ahmad Dahlan

       
                                                                                 photo: www.thepicta.com

      Nyai Ahmad Dahlan ,  Sebuah Biopik Motivasional Religius

                                                                                                                                                

    Nyai Ahmad Dahlan (2017) adalah sebuah karya drama-biopik Indonesia yang telah dirilis pada 24 Agustus 2017 yang lalu dan tayang perdana secara terbatas (gala premier) di XXI Epicentrum, Jakarta. Mengangkat tokoh yang mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 10 November 1971, Nyai Ahmad Dahlan. Film besutan sang sutradara Olla Ata Adonara, spesialis sutradara film-film festival ini diproduksi oleh Rumah Produksi Film Iras Film berdasarkan naskah skenario Surga Menanti yang ditulis oleh seorang penulis bernama Dyah Kalsitorini. Film ini diproduseri oleh Dyah Kalsitorini Widyastuti dengan para pemain film yang turut berperan, yaitu antara lain Tika Bravani, David Chalik, Egy Fedly, Rara Nawangsih, Silsila Suwandi, Inne Azri, Malvino Fajaro, Cok Simbara dan Della Puspita.
    Nyai Ahmad Dahlan The Movie menambah daftar panjang film biopik tokoh nasional yang telah tayang di Indonesia sebelumnya. Kisah tentang perjuangan pahlawan nasional Siti Walidah a.k.a Nyai Ahmad Dahlan, tokoh emansipasi perempuan sekaligus istri pendiri Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan. Perempuan yang dilahirkan di Kauman, sebuah kampung santri di Yogyakarta pada 1872 tersebut adalah perempuan pertama yang pernah memimpin Kongres Muhammadiyah tahun 1926 dan pendiri organisasi gerakan perempuan Sapa Tresna yang kemudian berubah nama menjadi Aisyiyah.  Nyai Walidah yang diperankan oleh Tika Bravani, pemeran Fatmawati dalam film Soekarno ini sejak kecil mempunyai cita-cita menjadi perempuan yang terpelajar. Ia adalah anak seorang Kyai terkemuka dan berpengaruh pada zamannya. Ketika beranjak dewasa, ia dinikahkan dengan seorang Kyai bernama Darwis atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ahmad Dahlan. Nyai Ahmad Dahlan bersama suaminya dengan segala kemampuannya membangun dan membesarkan Muhammadiyah.
    Wawasan dan pandangan Nyai Ahmad Dahlan semakin luas sejalan dengan luasnya pergaulannya dengan para tokoh seperjuangan suaminya yang merupakan para pemimpin bangsa seperti Bung Karno, Bung Tomo, Jenderal Sudirman, KH Mas Mansyur dan lain-lain. Ia rajin mengikuti rapat demi rapat, pengajian demi pengajian untuk memperjuangkaan kesetaraan gender, menentang londo-londo perusak akidah dan penjajah Jepang, membasmi takhayul, bidah, dan berbagai penindasan yang dialami kaum perempuan khususnya. Ia ingin mengangkat harkat dan martabat perempuan namun tidak melalaikan fitrahnya sebagai seorang wanita.
    Namun sayang film dengan kemegahan musik garapan Tya Subiakto yang demikian menggelegar menjadi terkesan seperti sebuah video klip motivasional religious. Seharusnya film ini lebih mendedahkan realitas-realitas dengan mereduksi image sekedar berkhotbah. Kezaliman endemik yang merajalela pada waktu itu dapat diatasi melalui kekuatan body language dan ekspresi atau mimik serta tindakan-tindakan kecil pemain yang tentu lebih berefek besar daripada sekedar menonjolkan eksposisi demi eksposisi verbal yang begitu mendominasi. Tindakan kecil akan tetapi pada hakekatnya adalah soal makro atau universal. Terlalu fokus pada bagaimana caranya bercerita dengan menyampaikan pesan melalui ceramah daripada mengemasnnya dalam visualisasi adegan-adegan yang lebih menyentuh dan menggores. Kiprah Nyai Ahmad Dahlan menjadi kolaborator dengan dasar perjuangan telah berhasil memberikan impuls dan denyut pada kita namun  deliverinya dapat dibuat lebih subtil sehingga sungguh jauh dari sekedar  permukaan.
    Film adalah pergulatan antara teknik dan gagasan. Dari segi teknik, yang hampir menjadi problem klasik film-film Indonesia pada umumnya adalah keberadaan para pemain figuran yang barangkali masih terlalu sadar kamera, terlihat seperti dalam adegan warga yang ngobrol di pasar harusnya lebih meyakinkan dan mempertegas kekuatan cerita sampai pada detail-detail terkecil. Perlu mengambil pemain-pemain figuran yang lebih profesional agar tidak menodai akting beberapa pemain yang sudah outstanding. Namun untungnya cukup terselamatkan dari segi pencahayaan dan perpaduan warna yang enak dipandang berkat tangan dingin sinematografi Zeta Alpha Maphalindo bersama pewarnaan yang diemban tim Super 8mm Studio. Film dengan gagasan yang hebat dari Olla Atta Adonara, selaku sutradara dalam memperjuangkan hak dari semua orang, tak terkecuali wanita dan anak-anak untuk memperoleh pendidikan formal dan agama, menjadi sebuah cerita atau parabel yang cukup menghibur dan reflektif.
    Sayangnya, ploting poin yang menghantarkan kita dari satu adegan ke adegan lainnya terasa melompat-lompat, dan struktur bercerita yang linear menjadi begitu lugu. Even, dengan begitu mudahnya film ini bisa ditambah atau dikurangi setiap gambarnya, musiknya atau kepingan dialognya tanpa kehilangan keutuhannya. Kejelian sutradara dalam mengalirkan plot sehingga dramaturgi terbentuk yang menjadi penanda emosi penonton hanyut, cukup mengena. Lebih-lebih saat musik latar berkumandang menjadi mind-blowing setiap ucapan “megah” Nyai Ahmad Dahlan dan juga pada adegan saat mereka melelang barang atau perkelahian di tepi pantai. Salah satu ucapannya adalah: “Kalian harus berani mengorbankan harta, jiwa dan raga untuk berjuang di jalan Allah.” Film ini sungguh mampu berbicara kepada siapapun di wilayah konteks sosial dan pemikiran apapun yang mengantarkan pada kesadaran akan adanya sisi transedental dan abadi dalam kehidupan.
    Meskipun begitu, struktur kisah yang kurang logis ditambah karakter tokoh-tokohnya yang belum memenuhi hukum sebab akibat telah menetralkan sebagus apapun penggunaan idiom-idiom yang hidup dikalangan kita untuk sangat bisa berbicara dengan kita.    Tidak naïf jika kemudian dikatakan film ini belum mampu duduk sama tinggi dengan seni sastra atau teater. Dalam film sepanjang 102 menit ini kesan drama keluarga dan sepak terjang Nyai Ahmad Dahlan sebagai aktivis sosial pejuang emansipasi perempuan telah berhamburan menjadi satu. Sampai pada babak ketiga barulah klimaksnya berkobar menyiratkan gejolak yang utuh dan tangguh sosok Nyai Ahmad Dahlan yang berjuang sendirian.
    Terlepas dari wardrobe error, editing yang kurang ciamik atau minimnya properti (buktinya Charlie Chaplin mampu membuat film yang bagus dengan peralatan minim), film Nyai Ahmad Dahlan telah beritikad membantu pemerintah untuk memajukan pendidikan mental dan spiritual melalui penguatan pendidikan formal dan agama. Semoga.
                                                                               
                                        
                                                                                 

The Truest Love: Sebuah Kado Berpita Mozaik Cinta Sang Bidadari


Oleh: Yogyantoro




            Jika engkau ingin aku menunjukkan satu kekuatan terbesar di alam ini, dengan senang hati aku akan mengatakan: the greatest power in the universe is our mother. Aku masih bisa berdiri tegak hingga saat ini, itu adalah bukti kekuatan dari seorang ibu. Figur yang sangat aku sayangi dan cintai. Begitu juga engkau, dear reader, engkau adalah bukti kekuatan ibumu. Aku mengakui, ketika aku melihat ibu, aku melihat cinta paling murni (the purest love) yang tidak pernah aku sadari. Seorang ibu adalah sahabat sejati yang kita miliki. Selalu ada riwayat atau sejarah dibalik cerita atau kisah apapun. Di belakang semua cerita-cerita indahmu akan selalu ada lukisan seorang ibu karena beliau adalah tempat dimana awal kita mulai berlabuh mengarungi sebuah kehidupan. Ya, ibu adalah dimana kita memulai segalanya.
            Beruntunglah engkau jika masih memiliki seorang ibu. Believe it or not? Tak ada orang yang hidupnya miskin selama masih memiliki seorang ibu yang sholehah di sampingnya. Kasih sayang ibuku bagaikan kemilau abadi permata dan serpihan matahari yang senantiasa menghangatkan jiwaku. Cahaya dari putih jiwanya tak pernah sekalipun pudar. Aku akan menggambarkan bahwa ibuku adalah benar-benar bidadari tak bersayap yang hadir mewarnai hidupku di tengah-tengah mayapada yang luas ini. She is really my confidant. She is my teacher as well. Aku selalu menghubungkan semua kesuksesanku dalam hidup ini berkat pendidikan moral dari ibuku. Rabuk atau pupuk yang telah ditabur oleh beliau telah menumbuhsuburkan diriku ini sebagai pribadi yang sehat secara jasmani dan rohani. Intelektualitas yang saat ini aku miliki adalah warisan dari ibu.
            Sosok terhebat di dunia ini adalah ibu. Tak ada yang mampu menggantikan. Ibu merupakan figur yang paling setia menyayangi kita tanpa syarat. Beliau merupakan orang yang pertama kali bersedih saat aku sakit. Beliau juga yang paling banyak melantunkan doa-doa yang indah untukku. Bulir-bulir air mata beliau yang menetes adalah obat paling ampuh untuk kesembuhanku manakala aku sakit. Tak ada dokter atau perawat terbaik untukku selain seorang ibu dengan mozaik cintanya yang bertebaran bagai ribuan bintang di langit, yang tak akan mungkin engkau menghitungnya. Disaat aku menemukan kebahagiaan atau kesuksesan, ibu adalah orang pertama yang paling bahagia.
            Ibu mengandungku selama sekitar 270 hari atau 6.480 jam. Selama itu ibu membawaku kemanapun beliau pergi dengan menggendong beban sekitar 3,5 kg. Lalu merawat dan membesarkanku dari aku masih bayi, memberiku ASI (Air Susu Ibu) dengan gratis dan ikhlas, merelakan saat nyeyaknya melayang demi menjagaku di malam hari dari gigitan nyamuk pencuri darah dan always ready menggantikan popok setiap saat. Dengan demikian, ibu adalah orang yang paling banyak memelukku. Ibu adalah perpanjangan kasih sayang Tuhan Yang Maha Agung kepadaku.
            Kasih dan sayang ibu adalah barisan kenangan yang panjang  membentang yang tak pernah lekang dimakan zaman. Bahkan, aku tidak tahu mengapa makanan yang selalu ibu sajikan untukku pun selalu memberi kenangan. Masakan ibu khususnya masakan yang kebanyakan orang lain mampu memasaknya juga, entah itu sayur lodeh, sayur bening, ayam goreng rica-rica atau daging bumbu rujak, semua telah membawa memori rasa yang pasti, tak mungkin  mati. Khas rasa pengundang selera dan bulu perindu. Melekat kuat dalam memori dan selalu mengganggu untuk tidak rindu, lalu ingin kembali menikmati.
            Dongeng-dongeng yang dibacakan oleh ibu sebelum tidurku telah melelapkanku kedalam mimpi-mimpi yang penuh makna. Terkenang kembali kisah-kisah negeri Arab yang terkemuka dengan cerita Seribu Satu Malam dan Tembang Perburuan karya Abu Nawas dan dongeng-dongeng binatang atau fabel lainnya. Dongeng-dongeng yang memberi moral value dalam memandang hidup dari sudut pandang yang menurutku sastrawi. Semua telah melukis hidupku sehingga aku menjadi pecinta sastra. Bagiku, ibuku adalah sastrawati.  Sastrawan atau sastrawati identik dengan budi pekerti. Aku merasa belum seperti itu. Aku bukan sastrawan. Tapi aku akan terus belajar dengan menjadi pecinta sastra. Dan ibuku telah mengajarkan banyak sekali ajaran budi pekerti yang adi luhung melalui dongeng-dongeng beliau saat aku masih kecil.
Kirpal Singh pernah mengatakan bahwa sastra mampu mendongkrak olah rasa dan pemikiran seseorang sehingga bisa berkembang ke arah yang lebih baik. Literature is our linguistic heritage and a powerful resource which our school and universities don’t give enough credence to. Namun, ibuku telah mengajarkan kepadaku sejak dini. Tentu kita tidak menutup mata dan telinga bahwa saat ini kita telah dibanjiri banyak sekali grup band dan lagu-lagu dangdut yang mengangkat lirik dengan bahasa yang kurang bermuatan sastra atau mengabaikan norma sastra di syair-syair mereka. Aku yang saat ini mendapat amanah sebagai seorang guru di sekolah formal artinya sebagai civitas academica tentu merasa ikut bertanggung jawab untuk menumbuhkan kecintaan terhadap karya sastra dengan sepenuh hati. Agar aku bisa menyebarkan virus anti kekerasan seperti yang telah dicontohkan oleh bidadariku, ibu. Ibuku telah memberi bekal yang sangat berharga kepadaku melalui dongeng-dongeng atau sastra-sastra beliau. Ibu bagaikan aksara-aksara yang indah yang mengajarkan banyak hal. Tentang kebahagiaan, perjuangan dan kesabaran.
            Ibu adalah bidadari pemilik surga. Nabi umat Islam menempatkan ibu di atas singgasana yang sangat istimewa. Nabi Muhammad SAW memiliki cinta yang besar terhadap sosok ibu. Aku pun akan selalu belajar meneladani sikap beliau. Tak pernah lelah belajar mencintai ibu dengan penuh hormat, anggun, sabar, penuh rasa syukur dan perhatian , baik secara verbal maupun fisik. Love her  honorably. Love her gratefully. Selalu terpatri dalam hati sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Mutafaq’alaih ketika sahabat bertanya: “Ya, Rasulullah. Siapa yang paling berhak memperoleh pelayanan dan persahabatanku?” Nabi menjawab: “Ibumu...Ibumu...Ibumu..., kemudian ayahmu dan kemudian yang lebih dekat kepadamu.”
            Tulisan ini aku persembahkan untuk ibu yang tanpa beliau,  hidupku akan kehilangan denyut nadi. Jasa-jasanya yang tak ternilai oleh uang. Ibu yang telah beranjak senja namun hatinya tetap besar, jiwanya tetap kuat, tabah dan senantiasa bermurah hati seperti matahari. Terima kasih ibu, engkau telah membuka hatiku, membangunkan kesadaranku dan memperluas horizon cara berpikirku. Untuk wanitaku yang paling cantik di dunia yang telah membuatku tetap berdiri tegak menghadapi angkuhnya dunia. Aku akan tetap melihat energi-energimu sepanjang waktu. Tak berlalu waktu tanpa kemilaumu yang abadi. Jejakmu akan selalu membekas dihati. Aku tahu, hadiah terbaik untukmu adalah menjadi sayapmu. Bersama-sama menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Semoga terwujud suatu saat nanti.


***

Tan Malaka, Sisi Kemilau Guru Revolusioner dalam Album Berdebu

Foto     : cdn.jaringnews.com

Tan Malaka, lahir di kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat pada 2 Juni 1897 adalah tokoh revolusioner yang legendaris  dan seorang pejuang militan nasionalis Indonesia yang  telah melahirkan banyak pemikiran berbobot. Nama lengkapnya adalah Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Ayahnya bernama HM. Rasad adalah seorang karyawan pertanian dan ibunya, Rangkayo Sinah adalah putri orang yang disegani di desanya. Ia tinggal di surau, senang mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat sejak usia 5 (lima) tahun. Ia juga pandai bermain sepak bola. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam di Sumatera Barat.
Pada tahun 1908, ia masuk sekolah Kweekschool (Sekolah Guru Negara) dengan GH Horensma sebagai salah satu gurunya. Menurut GH Horensma, ia adalah murid yang cerdas. Pengetahuannya tentang revolusi meningkat setelah membaca buku de Fransche Revolutie dari GH Horensma. Pada tahun 1913, ia meninggalkan desanya untuk belajar di Belanda yaitu di Rijkskweekschool ( Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah) dengan bantuan dana oleh para engku dari desanya.  
Tahun 1919 Tan Malaka kembali ke desanya. Ia menerima tawaran dari Dr.C.W Jansen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Ia mulai mengajar anak-anak itu berbahasa Melayu. Selama masa ini, ia mengamati dan memahami penderitaan serta keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatera. Disela-sela waktu mengajarnya ia juga menulis untuk media massa. Salah satu karyanya adalah “Tanah Orang Miskin”, yang menceritakan tentang perbedaan mencolok dalam hal kekayaan antara kaum kapitalis dan pekerja. Ia juga menulis mengenai penderitaan para kuli kebun teh di Sumatera Post.
Kiprah dan kontribusi Tan Malaka di bidang pendidikan di Indonesia sungguh besar. Baginya, tujuan pendidikan adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan. Tan Malaka banyak mendirikan sekolah salah satunya untuk anak-anak anggota Sarekat Islam agar mengenal membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, bahasa Jawa, Melayu, Belanda dan lain-lain. Cendekiawan Minangkabau ini mulau terjun ke kancah politik pada tahun 1921 setelah ia pergi ke Semarang.
Tan Malaka adalah tokoh Indonesia yang sangat frontal menentang antikolonialisme di Hindia Belanda, bahkan sebelum Soekarno dan Hatta. Ia dikenal sebagai seorang aktivis yang militan dan radikal dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme Belanda. Ia pun dijuluki sebagai Patjar Merah Indonesia. Pada tahun 1925 Tan Malaka menyusun sebuah gagasan  masa depan bagi Hindia Belanda yang dia bukukan dengan judul “ Naar de ‘Republiek Indonesia” atau Menuju Republik Indonesia. Ini merupakan buku pertama yang menyebut frase Republik Indonesia. Buku inilah yang menginspirasi Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Nasution dan kawan-kawan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya menyatakan bahwa Tan Malaka adalah Bapak Republik Indonesia dan oleh beberapa kalangan ia dianggap sebagai The True Founding Father of Indonesia. 
Karya terpenting lain dari Tan Malaka adalah Madilog. Madilog adalah singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika. Dalam Madilog, ia menyatakan bahwa bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti meskipun belum dapat diterangkan secara rasional dan logika. Tan Malaka dalan Madilog-nya juga menyatakan bahwa bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan tidak pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali. Pemikiran Tan Malaka tentang pendidikan begitu jauh kedepan. Melalui karyanya ini ia juga menyorot tentang kelemahan terbesar sebagian besar rakyat Indonesia pada masa itu yang cenderung belum terbiasa berpikir kritis, tidak logis dan rasional.
Sementara itu karya besar seorang Tan Malaka berikutnya adalah Gerpolek yaitu Gerilya, Politik dan Ekonomi yang meliputi bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran yang ia tulis pada saat kondisi Republik Indonesia begitu genting akibat perjanjian Linggarjati tahun 1947 dan Renville tahun 1948. Setelah mengevaluasi situasi yang amat memprihatinkan bagi bangsa Indonesia tersebut, Tan Malaka merintis pembentukan partai Murba pada 7 November 1948 di Yogyakarta.
Pidato Tan Malaka yang terkenal adalah: “ Hari ini aku masih melihat bahwa kemerdekaan hanyalah milik kaum elit, bukan milik rakyat. Merdeka haruslah 100 persen. Aku akan tetap berjuang untuk merdeka. Barang siapa yang menghendaki kemerdekaan buat umum, maka ia harus sedia dan ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaan dirinya sendiri”. Karena perjuangannya yang sangat frontal melawan Belanda dan tidak pernah kapok berjuang untuk rakyat Hindia Belanda selama 30 ( tiga puluh) tahun maka ia menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia. Senantiasa terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutunya. Puluhan tahun di penjara dan  dibuang dari satu negara ke negara lain tak pernah membuat jera Tan Malaka untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Tan Malaka kembali ke Indonesia pada tahun 1942 dan kembali berjuang menentang kolonialisme hingga tahun 1949.
Tan Malaka ditembak mati tanggal 21 Februari 1949 di Kediri, Jawa Timur. Tidak ada satupun pihak yang tahu pasti dimana makam Tan Malaka dan siapa yang menangkapnya dan menembak mati dirinya. Rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat dalam beberapa kali pemberontakan. Sejak era Orde Baru (1966-1998), keberadaanya seperti dihapus dalam sejarah Indonesia dan hampir tidak pernah dibahas dalam pelajaran sejarah dari tingkat SD sampai SMA bahkan sampai dengan sekarang.
Tokoh besar Indonesia yang terlupakan ini, berjuang sendirian untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan dengan alasan karena perhatiannya yang terlalu besar untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka hidup membujang hingga akhir hayatnya. Beberapa novelis menjadikannya sebagai tokoh utama dalam novel atau roman mereka. Keputusan Presiden RI No.53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional.


Butet Manurung, Perempuan Penyala Obor Keabadian

Fotohttp://kanalsatu.com/images/20140901-215737_67.jpeg

             Butet Manurung yang memiliki nama lengkap Saur Marlina Manurung lahir di Jakarta pada 21 Februari 1972 dari seorang ibu bernama Tiur Samosir. Ayahnya yang bernama Victor Manurung berasal dari keluarga miskin di dekat danau Samosir, namun berkat perjuangannya kini menempati posisi tinggi di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Perempuan berdarah Batak tersebut merupakan sulung dari empat bersaudara. Saat masih kecil mengikuti ayahnya tinggal di Belgia dan Belanda selama 4 (empat) tahun. Butet Manurung sangat dekat dengan ayahnya. Saat kecil, ia bercit-cita ingin menjadi dokter di Papua karena ingin mengabdikan hidupnya untuk menolong orang. Ia sangat cinta pada olah raga karate, suka menulis puisi dan cerpen.  Ia juga berhasil memenangkan berbagai perlombaan lari jarak dekat tingkat provinsi di DKI Jakarta. 
            Setelah lulus dari SMA Negeri 14 Jakarta, Butet Manurung berkuliah di jurusan Antropologi Universitas Padjajaran dan lulus tahun 1998. Selain itu ia juga mengambil jurusan Sastra Indonesia di kampus yang sama dan berhasil lulus pada tahun 2002. Sedangkan gelar Magister Antropologi Terapan berhasil diraihnya di Universitas Nasional Australia, Australia.
            Berawal dari sebuah iklan dari LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat) WARSI ( Komunitas Konservasi Indonesia) di harian Kompas yang berbunyi; “ Dicari fasilitator pendidikan alternatif bagi suku asli Orang Rimba, Jambi.”, Butet Manurung merasa terketuk untuk memenuhi panggilan jiwanya. Perempuan penerima “Woman of The Year” tahun 2001 di bidang pendidikan oleh televisi swasta, Anteve tersebut akhirnya berjuang mewujudkan impiannya menjalani profesi sebagai guru di hutan pedalaman. Sejak September 1999 sampai Mei 2000, ia berputar keluar masuk hutan dan terus menerus ditolak dan diusir (Kompas, 2005:39).
            Perintis pendidikan bagi masyarakat terasing dan terpencil di Indonesia ini berhasil memulai sekolah rintisannya yang pertama di Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Butet Manurung pantang menyerah untuk meyakinkan masyarakat Orang Rimba ( Suku Kubu) yang mendiami daerah seluas sekitar 60.000 hektar hutan hujan tropis di dataran Sumatera tersebut. Sekolah rintisannya diberi nama Sokola Rimba berdiri 2004. Sokola adalah sebuah sekolah untuk anak-anak pedalaman yang didirikan bersama teman-temannya. Sokola-nya hanya berbentuk dangau ( gubuk atau rumah kecil di sawah atau ladang)  tak berdinding dan bersifat nomaden. Slogan dari Sokola Rimba adalah “Sokola literasi dan advokasi untuk komunitas adat di Indonesia.”. Misi yang diembannya pun sangatlah ‘sederhana’ yaitu mengentaskan buta huruf bagi anak-anak Orang Rimba.
            Butet Manurung berusaha menolong ketidakberdayaan Orang Rimba yang tidak bisa membaca dan menulis dengan mengajari mereka membaca, menulis, dan berhitung. Ia juga menerapkan pola pendidikan Advance yaitu pengetahuan tentang lingkungan dan dunia luar seperti bagaimana cara berinteraksi dengan dunia luar, melakukan proses jual beli di pasar, membaca akta perjanjian, dan mengakses hak-hak sebagai warga negara seperti puskesmas atau  rumah sakit. Kini mereka sudah bisa mengupayakan diri melalui jejaringnya untuk melakukan dengar pendapat dengan DPR.
            Butet Manurung menerapkan pola pengajaran dengan mengenalkan huruf per huruf berdasarkan bentuk dan cara mengejanya. Metode pengajaran ini membawanya mendapatkan anugerah “ The Man and Biosphere Award” dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan , dan Kebudayaan (LIPI UNESCO).  Ia tidak sungkan untuk berbaur seperti layaknya anak-anak rimba, berpakaian yang sama, makan makanan yang sama, mengikuti gaya hidup di hutan , pandai memanjat pohon, bermain di sungai, membuat jerat binatang dan lain-lain.
            Ilmu yang diajarkan oleh Butet Manurung tidak sekedar teori belaka atau bersifat teoritis, namun lebih banyak yang bersifat aplikatif, sehingga benar-benar terasa kebermanfaatannya bagi Orang Rimba. Ia juga menyelenggarakan  banyak pelatihan yang disebut “Memahami Komunitas” agar masyarakat menjadi mandiri dan mampu bergerak di luar masyarakat adat. Selain itu masyarakatpun bisa memahami pendidikan yang konstektual supaya dapat membantu masyarakat adat sesuai kehidupan mereka. Menurut Butet Manurung, salah satu kelemahan orang-orang Indonesia sekarang adalah keinginannya untuk selalu kerja kantoran setelah lulus sekolah. Hampir tidak ada yang ingin menjadi petani atau berkebun. Padahal yang terpenting adalah menjaga kekuatan dan kekayaan setempat. Indonesia telah kehilangan banyak sekali keragaman tanaman, binatang langka, kekayaan intelektual orang setempat, bahasa ibu, ilmu meracik obat atau rempah-rempah dan pola pertanian padi warisan nenek moyang Indonesia.
            Kini, sokola Butet Manurung sudah menyebar di 10 (sepuluh)  daerah di Indonesia diantaranya Jambi, Aceh, Pulau Besar dan Gunung Egon, Klaten, Halmahera, Makassar, Bulukumba, Bantul , Garut dan bahkan suku Agats di pedalaman Asmat sudah tersentuh oleh tangan dingin Butet Manurung. Butet Manurung meluncurkan novel berjudul “Sokola Rimba: Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba” yang berasal dari catatan hariannya. Novel tersebut kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris “The Jungle School”.  Profit hasil penjualan bukunya merupakan salah satu sumber pendanaan sokola-nya.  Pada tahun 2013, Sokola Rimba diangkat menjadi sebuah film yang disutradarai oleh Riri Reza dari Miles Production.
            Butet Manurung adalah pecinta hutan yang humanis dan menjadi contoh pekerja LSM yang bisa mengatasi dilema antara jiwa untuk melakukan pendampingan dan tuntutan materi. Sosok wanita yang visioner terutama di bidang pendidikan. Merupakan salah satu pahlawan pendidikan di era modern seperti sekarang ini karena telah mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan dan kini menjadi tokoh yang dibahas di dunia Internasional. Ia mendapat anugerah Hero of Asia 2004 versi majalah Time. Ia juga masuk kedalam jajaran perempuan paling berpengaruh di Indonesia versi majalah Globe Asia edisi Oktober 2007 bersama Megawati Soekarno Putri, Presiden RI ke-5 (2011-2014) dan Yenny Wahid, Ketua Partai Kebangkitan Bangsa. Sebagai perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat pedalaman, ia memperoleh penghargaan Ramon Magsaysay di Filipina tahun 2014. Penghargaan ini setara dengan hadiah nobel di Asia.
            Biografi ini penulis tutup dengan kalimat penutup: “ Sekuno apapun manusia peninggalan pra-sejarah, kita harus menyadari bahwa mereka tetap bagian dari keluarga besar bangsa Indonesia” (Butet Manurung).