Navigation Menu

Kritik Film, Nyai Ahmad Dahlan

       
                                                                                 photo: www.thepicta.com

      Nyai Ahmad Dahlan ,  Sebuah Biopik Motivasional Religius

                                                                                                                                                

    Nyai Ahmad Dahlan (2017) adalah sebuah karya drama-biopik Indonesia yang telah dirilis pada 24 Agustus 2017 yang lalu dan tayang perdana secara terbatas (gala premier) di XXI Epicentrum, Jakarta. Mengangkat tokoh yang mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 10 November 1971, Nyai Ahmad Dahlan. Film besutan sang sutradara Olla Ata Adonara, spesialis sutradara film-film festival ini diproduksi oleh Rumah Produksi Film Iras Film berdasarkan naskah skenario Surga Menanti yang ditulis oleh seorang penulis bernama Dyah Kalsitorini. Film ini diproduseri oleh Dyah Kalsitorini Widyastuti dengan para pemain film yang turut berperan, yaitu antara lain Tika Bravani, David Chalik, Egy Fedly, Rara Nawangsih, Silsila Suwandi, Inne Azri, Malvino Fajaro, Cok Simbara dan Della Puspita.
    Nyai Ahmad Dahlan The Movie menambah daftar panjang film biopik tokoh nasional yang telah tayang di Indonesia sebelumnya. Kisah tentang perjuangan pahlawan nasional Siti Walidah a.k.a Nyai Ahmad Dahlan, tokoh emansipasi perempuan sekaligus istri pendiri Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan. Perempuan yang dilahirkan di Kauman, sebuah kampung santri di Yogyakarta pada 1872 tersebut adalah perempuan pertama yang pernah memimpin Kongres Muhammadiyah tahun 1926 dan pendiri organisasi gerakan perempuan Sapa Tresna yang kemudian berubah nama menjadi Aisyiyah.  Nyai Walidah yang diperankan oleh Tika Bravani, pemeran Fatmawati dalam film Soekarno ini sejak kecil mempunyai cita-cita menjadi perempuan yang terpelajar. Ia adalah anak seorang Kyai terkemuka dan berpengaruh pada zamannya. Ketika beranjak dewasa, ia dinikahkan dengan seorang Kyai bernama Darwis atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ahmad Dahlan. Nyai Ahmad Dahlan bersama suaminya dengan segala kemampuannya membangun dan membesarkan Muhammadiyah.
    Wawasan dan pandangan Nyai Ahmad Dahlan semakin luas sejalan dengan luasnya pergaulannya dengan para tokoh seperjuangan suaminya yang merupakan para pemimpin bangsa seperti Bung Karno, Bung Tomo, Jenderal Sudirman, KH Mas Mansyur dan lain-lain. Ia rajin mengikuti rapat demi rapat, pengajian demi pengajian untuk memperjuangkaan kesetaraan gender, menentang londo-londo perusak akidah dan penjajah Jepang, membasmi takhayul, bidah, dan berbagai penindasan yang dialami kaum perempuan khususnya. Ia ingin mengangkat harkat dan martabat perempuan namun tidak melalaikan fitrahnya sebagai seorang wanita.
    Namun sayang film dengan kemegahan musik garapan Tya Subiakto yang demikian menggelegar menjadi terkesan seperti sebuah video klip motivasional religious. Seharusnya film ini lebih mendedahkan realitas-realitas dengan mereduksi image sekedar berkhotbah. Kezaliman endemik yang merajalela pada waktu itu dapat diatasi melalui kekuatan body language dan ekspresi atau mimik serta tindakan-tindakan kecil pemain yang tentu lebih berefek besar daripada sekedar menonjolkan eksposisi demi eksposisi verbal yang begitu mendominasi. Tindakan kecil akan tetapi pada hakekatnya adalah soal makro atau universal. Terlalu fokus pada bagaimana caranya bercerita dengan menyampaikan pesan melalui ceramah daripada mengemasnnya dalam visualisasi adegan-adegan yang lebih menyentuh dan menggores. Kiprah Nyai Ahmad Dahlan menjadi kolaborator dengan dasar perjuangan telah berhasil memberikan impuls dan denyut pada kita namun  deliverinya dapat dibuat lebih subtil sehingga sungguh jauh dari sekedar  permukaan.
    Film adalah pergulatan antara teknik dan gagasan. Dari segi teknik, yang hampir menjadi problem klasik film-film Indonesia pada umumnya adalah keberadaan para pemain figuran yang barangkali masih terlalu sadar kamera, terlihat seperti dalam adegan warga yang ngobrol di pasar harusnya lebih meyakinkan dan mempertegas kekuatan cerita sampai pada detail-detail terkecil. Perlu mengambil pemain-pemain figuran yang lebih profesional agar tidak menodai akting beberapa pemain yang sudah outstanding. Namun untungnya cukup terselamatkan dari segi pencahayaan dan perpaduan warna yang enak dipandang berkat tangan dingin sinematografi Zeta Alpha Maphalindo bersama pewarnaan yang diemban tim Super 8mm Studio. Film dengan gagasan yang hebat dari Olla Atta Adonara, selaku sutradara dalam memperjuangkan hak dari semua orang, tak terkecuali wanita dan anak-anak untuk memperoleh pendidikan formal dan agama, menjadi sebuah cerita atau parabel yang cukup menghibur dan reflektif.
    Sayangnya, ploting poin yang menghantarkan kita dari satu adegan ke adegan lainnya terasa melompat-lompat, dan struktur bercerita yang linear menjadi begitu lugu. Even, dengan begitu mudahnya film ini bisa ditambah atau dikurangi setiap gambarnya, musiknya atau kepingan dialognya tanpa kehilangan keutuhannya. Kejelian sutradara dalam mengalirkan plot sehingga dramaturgi terbentuk yang menjadi penanda emosi penonton hanyut, cukup mengena. Lebih-lebih saat musik latar berkumandang menjadi mind-blowing setiap ucapan “megah” Nyai Ahmad Dahlan dan juga pada adegan saat mereka melelang barang atau perkelahian di tepi pantai. Salah satu ucapannya adalah: “Kalian harus berani mengorbankan harta, jiwa dan raga untuk berjuang di jalan Allah.” Film ini sungguh mampu berbicara kepada siapapun di wilayah konteks sosial dan pemikiran apapun yang mengantarkan pada kesadaran akan adanya sisi transedental dan abadi dalam kehidupan.
    Meskipun begitu, struktur kisah yang kurang logis ditambah karakter tokoh-tokohnya yang belum memenuhi hukum sebab akibat telah menetralkan sebagus apapun penggunaan idiom-idiom yang hidup dikalangan kita untuk sangat bisa berbicara dengan kita.    Tidak naïf jika kemudian dikatakan film ini belum mampu duduk sama tinggi dengan seni sastra atau teater. Dalam film sepanjang 102 menit ini kesan drama keluarga dan sepak terjang Nyai Ahmad Dahlan sebagai aktivis sosial pejuang emansipasi perempuan telah berhamburan menjadi satu. Sampai pada babak ketiga barulah klimaksnya berkobar menyiratkan gejolak yang utuh dan tangguh sosok Nyai Ahmad Dahlan yang berjuang sendirian.
    Terlepas dari wardrobe error, editing yang kurang ciamik atau minimnya properti (buktinya Charlie Chaplin mampu membuat film yang bagus dengan peralatan minim), film Nyai Ahmad Dahlan telah beritikad membantu pemerintah untuk memajukan pendidikan mental dan spiritual melalui penguatan pendidikan formal dan agama. Semoga.
                                                                               
                                        
                                                                                 

0 comments: