Bangsa Indonesia membutuhkan banyak sekali perubahan. Untuk melalukan perubahan diperlukan keberanian dan usaha yang keras, bahkan pengorbanan yang cukup besar. Reformasi birokrasi yang lama digadang-gadang kini sedang ditabuh. Genderang nilai-nilai dasar profesi ASN ( Aparatur Sipil Negara) kian ramai berkumandang. Nilai-nilai dasar profesi ASN yang secara profesional sebagai pelayan publik, pelaksana kebijakan publik dan perekat serta pemersatu bangsa kian ramai ditanamkan. Akuntabilitas, nasionalisme, etika publik, komitmen mutu dan anti korupsi menjadi obat baru terhadap banyaknya penyakit yang menjangkiti kebanyakan ASN atau pegawai pemerintah selama ini. Ini selanjutnya diakronimkan menjadi ANEKA.
Menjadi ASN ( Aparatur Sipil Negara) yang profesional artinya adalah menjadi pegawai yang rajin memperbaiki diri dari sistem yang penuh intrik dan kecurangan. Untuk mencapai hal tersebut tentunya membutuhkan pendidikan dan pelatihan khusus. Pendidikan itu berbeda dengan pelatihan dan pengajaran. Setiap orang bisa mengikuti kursus menyetir. Disana ada proses transfer pengetahuan bagaimana cara menyetir yang benar. Ini artinya, proses pengajaran telah dilakukan oleh instruktur kepada peserta kursus. Mengajar, artinya ada proses transfer ilmu pengetahuan dari tidak tahu menjadi tahu cara menyetir, dan menambah ilmu tentang teknik menyetir. Ilmu yang diperoleh peserta kursus kemudian dipraktikkan atau diaktualisasikan secara berulang-ulang, itulah pelatihan. Pendidikan hanya akan berhasil jika ada pembiasaan dan action di lapangan.
Selanjutnya, jika Anda telah mahir menyetir, pasti mudah bagi Anda untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi ( SIM). Itulah yang terjadi di Indonesia. Namun, Kanada berbeda. Kanada mempunyai cerita yang menarik tentang hal ini. Meskipun Anda telah pandai menyetir , tetapi perilaku berlalu lintas Anda tidak disiplin ( baca : Akuntabilitas) sudah dapat dipastikan Anda tak akan pernah mendapatkan SIM.
Di Kanada, seseorang yang sudah pandai menyetir, belum tentu dia akan memperoleh SIM jika pada saat dilakukan tes mengemudi, orang tersebut hanya mendemonstrasikan keterampilannya menyetir tanpa mengindahkan kedisiplinan dalam berlalu lintas. Sebaliknya, seseorang yang belum begitu mahir menyetir, dia bisa mendapatkan SIM bila pada saat dites sudah memperlihatkan perilaku yang baik dengan mengedepankan sikap disiplin berlalu lintas. Mental seperti inilah yang seharusnya dimiliki oleh pegawai ASN di Indonesia. Membangun budaya disiplin lebih diutamakan daripada sekedar tahu atau menimba ilmu dan menambah kompetensi tapi lupa bagaimana proses bekerja yang sesungguhnya. Sebuah ilustrasi tentang pentingnya kedisiplinan dan tanggung jawab bagi pegawai ASN saat ini.
Tahu teori tentang kedisiplinan belum tentu membuat seseorang akan berperilaku disiplin jika dia tidak paham mengapa harus berlaku disilplin. Memberhentikan kendaraan ketika melihat lampu merah, itu tindakan disiplin. Namun jika kita berhenti kalau ada polisi yang sedang berjaga saja, kita layak mempertanyakan sikap kedisiplinannya. Bagaimana pula jadinya jika polisi memberi contoh tidak terpuji dengan melabrak lampu merah atau menyalip kendaraan dari bahu jalan. Jika tidak ada proses pembiasaan dan peneladanan, sejatinya proses pendidikan akan nonsense.
ANEKA, sebagai amunisi utama perubahan di dunia birokrasi. Sehebat apapun prakondisi untuk mewujudkan visi negara, semegah apapun gedung balai diklat dan pelatihan atau kantor pemerintahan, secanggih apapun peraturan pemerintah nomor 101 Tahun 2000 tentang pendidikan dan pelatihan jabatan Pegawai Negeri Sipil ( PNS), tanpa lahirnya sosok ASN yang profesional dan berkarakter, pelayanan prima seperti apa yang akan dihasilkan? Dalam buku Mengenang Bung Hatta, kita bisa mengutip tulisan Bung Hatta (1954) tentang karakter. Bahwa seseorang boleh jadi jenius atau berbakat, tetapi apabila tidak memiliki karakter sama dengan tidak memiliki kemauan untuk membela bangsanya. Jika seseorang jenius, mungkin kehebatannya hanya cukup dinikmati dirinya sendiri. Bagi seseorang yang berkarakter, manfaat bagi sesama adalah fokus utamanaya. Menjadi pegawai ASN yang berkarakter adalah menjadi pegawai yang menjunjung tinggi Etika Publik.
Saat ini begitu kuatnya penetrasi kata “korupsi” di telinga kita dan di ruang-ruang publik. Tentu ini tidak lepas dari adagium tak ada asap jika tak ada api. Tanpa disadari disinilah cikal bakal pembunuhan karakter ( character assassination) pada diri anak sebagai tunas bangsa dimulai sejak dini. Jika kita sebagai orang tua melakukan tindakan korupsi ( bahasa latin: corruptio) yang artinya kerusakan, kebusukan atau kebobrokan, apa yang akan terjadi pada diri anaknya? Setiap hari anak kita akan diberi asupan makanan dari hasil korupsi. Sangat sering pandangan dan perilaku curang yang dicontohkan orang tua membentuk peilaku serupa pada diri anak. Sudah saatnya kita hapus ciri dan karakter manusia Indonesia seperti yang pernah dikatakan oleh Muchtar Lubis yaitu selalu menggemari jalan pintas dan kurang gigih dalam berusaha. Skema-skema pendidikan anti korupsi di lingkungan kerja kita perlu ditata ulang. Sistem bisa dikatakan bebas dari korupsi jika ada kesetaraan, tercapainya keadilan dalam unsur pelayanan , transparansi serta mengikat etika dan moral ( Stephen P. Heynemen, 2002)
Akhirnya benar ujar Bruce Lee “ Knowing is not enough. We must apply. Willing is not enough. We must do”. Dipertegas oleh Conficius hal serupa : “ Saya dengar, saya lupa. Saya lihat, saya ingat. Saya lakukan, saya paham. Hanya dengan mengimplementasikan dan mengaktualisasikan nilai nilai dasar profesi ASN maka reformasi birokrasi akan terwujud. Aktualisasi lebih menekankan pada segi proses dan bukan hasil atau pencapaian belaka. Mutu yang baik bukan semata hasil. Mutu yang baik adalah konsekuensi logis dari proses yang baik. Mutu yang baik dicapai dengan menjamin prosesnya bukan mengendalikan hasilnya. Semangat ini harus mendasari konsep pengembangan mutu dimanapun. Sehingga dengan terciptanya ASN yang ber- ANEKA maka kemajuan bangsa ada didepan mata.
2 comments: