Navigation Menu

Guru Berbagi: Koneksi Antar Materi Modul 1.4 Program Pendidikan Guru Penggerak (PPGP)


Saya sangat bersyukur menjadi bagian dalam program PGP (Pendidikan Guru Penggerak) Rekognisi Angkatan 7 Tahun 2022. Hingga detik ini saya telah mencapai salah satu alur MERDEKA yaitu Koneksi Antar Materi Modul 1.4. Paket Modul 1 sendiri dimulai dengan Pretes Paket Modul 1 pada 21 Oktober 2022. Kemudian saya mengikuti sesi Belajar Mandiri Asinkron Paket Modul 1 dari tanggal 22 Oktober hingga 20 November 2022. Saya juga mengikuti Elaborasi Pemahaman bersama Instruktur sebanyak 4 (empat) kali dan Ruang Kolaborasi bersama Fasilitator Pemandu, Ibu Iswatun Khoiriyah, M.Pd, Pengawas Sekolah pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor, pada 16 November 2022. Saat ini saya sedang membuat rancangan Aksi Nyata yang batas pengumpulan dokumentasi Aksi Nyata Modul 1.4 pada 09 Maret 2023.


Keterkaitan Konsep

Pada Koneksi Antar Materi Modul 1.4 saya sebagai CGP Rekognisi perlu memahami keterkaitan konsep budaya positif dengan materi pada modul 1.1 Refleksi Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara, modul 1.2 Nilai dan Peran Guru Penggerak dan modul 1.3 Visi Guru Penggerak. Saya percaya bahwa sebagai CGP Rekognisi saya perlu menerapkan visi guru penggerak, menanamkan nilai-nilai kebajikan universal dan menciptakan lingkungan positif dalam rangka mewujudkan budaya positif sehingga dapat melahirkan pemelajar sepanjang hayat. Bagi saya menjadi CGP artinya kita mempersiapkan diri menjadi pemimpin sekolah (instructional leader) yang fokus pada pembelajaran dengan menyinergikan berbagai elemen yang berpihak pada murid agar murid kita dapat berkembang baik dalam cipta (kognitif), rasa, karsa (afektif) dan karya (psikomotorik). Oleh karena itu, melalui pendekatan siklus inkuri dengan banyak melakukan refleksi dan praktik langsung, saya belajar untuk melakukan pengembangan terhadap diri dan orang lain, pengembangan pembelajaran, pengembangan manajemen sekolah dan pengembangan sekolah. Hal-hal tersebut dilandaskan pada Standar Nasional Pendidikan (SNP) seperti Standar Kompetensi kelulusan, Standar Pengelolaan Pendidikan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan dan Standar Proses.


Modul 1.1 Refleksi filosofis pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara adalah refleksi kritis untuk menjadi pemimpin pembelajaran yang mengajarkan kepada kita bagaimana mengidentifikasi kebutuhan peningkatan kompetensi dan kematangan diri demi mendukung pembelajaran murid. Pemimpin pembelajaran yang dimaksudkan adalah yang mengupayakan terwujudnya sekolah sebagai pusat pengembangan karakter. Relevansinya terhadap penerapan pendidikan abad ke-21 adalah pada konteks budaya lokal yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur sosial dan budaya di tempat asal. Kontekstualisasi filosofi pendidikan KHD mengajarkan tentang budi pekerti, Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani.

Maka pada Modul 1.2 Nilai dan Peran Guru Penggerak menekankan pada nilai-nilai kebajikan yang sifatnya universal yang dapat dijadikan landasan bersama (common ground). Nilai-nilai yang perlu ditanamkan dalam diri guru penggerak antara lain berpihak pada murid, reflektif (daya saing), mandiri (daya lenting), kolaboratif (daya sanding) dan inovatif (daya lentur). Berbekal nilai-nilai yang telah dimiliki akan membuat manusia atau guru penggerak dapat menjalankan peran sebagai guru penggerak serta menjadi tergerak dan bergerak sehingga semakin menghayati bagaimana menggerakkan manusia lainnya. CGP dapat tergerak dengan memahami cara kerja otak, 5 (lima) kebutuhan manusia dan tahap tumbuh kembang anak. CGP dapat bergerak dengan memahami teori pilihan, motivasi intrinsik, nilai-nilai guru penggerak dan profil pelajar Pancasila. Selanjutnya CGP dapat menggerakkan manusia dengan kemampuan berpikir strategis dengan menguatkan lingkaran pengaruh.


Selanjutnya pada Modul 1.3 Visi Guru Penggerak, CGP menggunakan paradigma sekaligus model manajemen perubahan dalam mewujudkan visi guru penggerak dalam menggerakkan hati lebih banyak pihak hingga kemudian mengundang upaya kolaboratif demi terwujud perubahan penting dan berkesinambungan melalui inkuiri apresiatif. Salah satunya adalah upaya membawa perubahan budaya sekolah yang berarti merujuk pada kebiasaan-kebiasaan yang selama ini dilakukan di sekolah. Sekolah diibaratkan sebagai tanah tempat bercocok tanam sehingga seorang guru perlu mengusahakan agar sekolah dapat menjadi lingkungan yang menyenangkan, aman, nyaman untuk bertumbuh dan melindungi murid dari hal-hal yang kurang bermanfaat atau bahkan mengganggu perkembangan potensi murid.


Pada Modul 1.4 Budaya Positif dijelaskan bahwa peraturan kelas yang selanjutnya bertransformasi menjadi keyakinan kelas dapat mendukung terwujudnya  lingkungan positif dan akhirnya dapat menciptakan budaya yang positif. Keyakinan kelas dapat menumbuhkan disiplin positif karena motivasi yang timbul tidak terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah melainkan timbul karena tujuan mulia. Motivasi yang dimunculkan adalah motivasi intrinsik yaitu nilai-nilai kebajikan universal. Pemberian hukuman dan penghargaan dalam upaya menegakkan disiplin disebut sebagai identitas gagal dan mengganti dengan  restitusi yaitu proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi dari masalah mereka sendiri, seperti menanyakan tentang apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain disebut sebagai identitas sukses.


Langkah dan Strategi Budaya Positif

Sebagai CGP saya memiliki beberapa langkah dan strategi yang efektif, konkret dan realistis untuk mewujudkan budaya positif di sekolah. Peran yang dapat saya lakukan adalah dengan menerapkan konsep-konsep inti seperti disiplin positif, motivasi perilaku manusia, posisi kontrol diri, keyakinan sekolah atau kelas dan segitiga restitusi. Saya memulai dari diri dengan membiasakan diri mengambil kontrol diri sebagi manajer atau among. Selanjutnya saya akan menciptakan lingkungan yang memfasilitasi bagi para pemelajar sepanjang hayat dengan berperan dalam menggerakkan komunitas sekolah. Selain itu saya akan merubah paradigma stimulus respon yang masih menjadi miskonsepsi yang terjadi di kehidupan sehari-hari menjadi teori kontrol yang berlandaskan nilai-nilai kebajikan universal.


Pada ruang kolaborasi bersama fasilitator pemandu telah dijelaskan tentang konsep-konsep dalam disiplin positif yang dapat menjadi standar tindak lanjut kasus pelanggaran disiplin di sekolah dan selanjutkan pada aksi nyata,saya akan menerapkan strategi disiplin positif di sekolah demi terwujudnya keselamatan dan kebahagian bersama dari warga sekolah.  Langkah-langkah dan strategi dalam mewujudkan lingkungan positif atau sekolah impian diantaranya:

1.   Saya perlu memastikan bahwa “tanah” atau sekolah tempat tumbuhnya tanaman (murid) adalah tanah (sekolah) yang cocok untuk ditanami (tempat belajar yang baik).

2. Saya perlu memupuk karakter-karakter baik warga sekolah melalui pembiasaan-pembiasaan yang baik.

Tentu kita sadari bersama selama seseorang merasakan tekanan-tekanan dari lingkungannya, maka proses pembelajaran akan sulit terjadi.

3. Saya akan menghapus ilusi-ilusi seperti; guru mengontrol murid, penguatan melalui bujukan, kritik menguatkan karakter dan orang dewasa memilki hak untuk memaksa.

4. Saya akan menguatkan pemahaman bahwa kebutuhan setiap orang berbeda, semua perilaku memiliki tujuan, hanya kita sendiri yang dapat mengontrol diri kita, penanaman disiplin yang kuat (positif), dan tidak berusaha mengubah orang agar berpandangan sama dengan kita.

5. Saya akan menciptakan keyakinan kelas yang berlandaskan nilai-nilai kebajikan universal untuk mewujudkan budaya positif. Selain itu visi,misi dan tujuan sekolah perlu mengacu pada nilai-nilai kebajikan universal. Keyakinan kelas selanjutnya dapau diuji dengan menggunakan pendalaman Tampak Seperti/ Tidak Tampak Seperti, Tabel T, dan Tabel Y.

6. Saya akan membangun interaksi yang memberdayakan dan memerdekakan murid sehingga murid berada dalam dunia berkualitas.

7. Saya akan menerapkan disiplin restitusi di posisi manajer dan menggunakan lingkaran kebutuhan dasar untuk membuat perubahan pada diri murid. Saya perlu melakukan identifikasi yaitu kira-kira kebutuhan dasar yang mana yang belum terpenuhi pada seorang murid yang melakukan pelanggaran peraturan misalnya, sehingga dapat membuatnya berubah.


Refleksi Pemahaman Modul

         Alhamdulillah, saya dapat memahami dengan baik Modul 1.4 Budaya Positif yang menekankan pada disiplin yang kuat yang ditandai dengan adanya atmosfer kemerdekaan, suasana yang merdeka, kecakapan memerintah diri sendiri, susana belajar, motivasi yang sifatnya intrinsik, penghargaan terhadap diri, kemampuan mengontrol diri dan menguasai diri serta adanya nilai-nilai kebajikan universal. Saya juga mendapatkan hal menarik yang berada diluar dugaan seperti penerapan disiplin saja tidak cukup. bentuk-bentuk penghargaan, hukuman, imbalan, tata tertib, peraturan, keteraturan, motivasi eksternal yang kesemuanya menimbulkan ketidaknyamanan perlu di-switch menjadi motivasi intrinsik yang menjadikan seseorang menjadi orang yang mereka inginkan dan dapat menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai mereka.

Pengalaman dan Perubahan

     Salah satu pengalaman yang telah saya praktikkan dalam menerapkan perilaku kontrol diri sebagai manajer adalah restitusi. Berikut video praktik segitiga restitusi: 


Disini guru berperan sebagai among yang meletakkan murid di dunia berkualitas. Restitution triangle (segitiga restitusi) meliputi menstabilkan identitas (stabilize the identity), memvalidasi tindakan (validate the misbehaviour) dan menanyakan keyakinan (seek the belief).


        Pengalaman tersebut mengajarkan kepada saya bahwa ketika murid merasa sedih dan emosional, mereka tidak bisa mengakses bagian otak yang berfungsi untuk berpikir rasional. Selain itu jika kita menolak murid yang sedang berbuat salah, murid tersebut akan tetap menjadi bagian dari masalah, tetapi bila kita memahami alasan murid melakukan sesuatu maka murid akan mersa dipahami. Restitusi juga bukan tentang mencari siapa yang salah atau benar tetapi sebagai upaya mencari penyelesaian bersama-sama yang membuat murid dapat lebih menghormati orang lain dan lingkungannnya.


    Perubahan yang saya dapatkan muncul dari pemahaman bahwa perilaku manusia adalah buah dari pilihan yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Beberapa kebiasaan buruk yang mengganggu relasi seperti menghukum, menyuap, mengkritik, menyalahkan, mengeluh, mengancam dan menjengkelkan dapat  saya rubah menjadi kebiasaan yang mempedulikan orang lain seperti mendukung, mendorong, mendengarkan, menerima, mempercayai, menghormati, menegosiasi perbedaan dan bersabar.

Hal yang Sudah Baik dan yang Perlu Diperbaiki

      Hal yang sudah baik yang terjadi adalah konsep-konsep inti seperti kebutuhan dasar, teori disiplin positif, posisi kontrol guru dan segitiga restitusi dapat dijadikan sebagai pisau analisis dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di sekolah. Hal-hal baik lain diantaranya rekan-rekan guru di sekolah dapat belajar mengambil kontrol diri yang tepat,  suka cita dan antusiasme rekan-rekan  guru dalam belajar usaha menciptakan budaya positif, dan menerapkan segitiga restitusi yang dapat menumbuhkan budaya positif. Hal-hal yang perlu diperbaiki diantaranya masih adanya hukuman yang berlaku pada sebuah institusi (sekolah) yang membuat sistem tidak akan berjalan bila murid tidak takut. Keberadaan hukuman juga mengontrol murid dengan penguatan negatif atau seperti membayar impas. Selain itu masih berlakunya pola konsekuensi dengan supervisi berkelanjutan, yang menuntut murid menghormati peraturan. Meskipun konsekuensi mengontrol murid dengan penguatan yang positif, hal ini belum mencapai tahapan yang kita harapkan yaitu kontrol guru sebagai manajer.


        Saya sebagai guru saat ini kadang-kadang masih menurunkan daya tawar ke posisi kontrol guru sebagai pemantau atau teman. Bagi saya hal tersebut menandakan posisi kita masih berada di lingkaran perhatian (di luar kendaraan) atau lingkaran kepedulian (di kursi penumpang) dan belum berada di lingkaran pengaruh. Lingkaran perhatian dan lingkaran kepedulian sejatinya belum dapat dikatakan mampu membuat sebuah perubahan. Oleh karena itu, saya akan memperkuat relasi, komunikasi, kolaborasi dan kontribusi baik dari atau dengan diri sendiri, orang lain, institusi dan masyarakat agar saya dapat memiliki lingkaran pengaruh yang bersifat menggerakkan. Murid dengan guru sebagai pemantau hanya kan menyesuaikan bila mendapat pengawasan. Posisi kontrol guru sebagai pemantau juga masih meletakkan guru dan peraturan di dunia berkualitas. Sedangkan kontrol guru sebagai teman hanya akan menimbulkan ketergantungan murid terhadap guru.


        Setelah mempelajari Modul 1.4,semakin terbuka cara berpikir saya untuk semakin konsisten dengan keteladanan, nilai atau identitas dan keyakinan, perilaku atau softskill (88% bawah sadar) serta kebiasaan yang secara sadar (12 %) sebagaimana tercantum dalam Diagram Identitas Gunung Es untuk menerapkan perilaku kontrol diri sebagai among atau manajer. Selanjutnya apabila ditemukan adanya kasus pelanggaran peraturan oleh murid atau perilaku murid yang bertentangan dengan nilai-nilai kebajikan maka dapat diidentifikasi bahwa murid tersebut gagal memenuhi salah satu dari kelima kebutuhan dasar manusia (modul 1.2) sehinga dapat  diterapkan segitiga restitusi. Pendekatan restitusi sendiri berpusat pada murid, bersifat memerdekakan dan memandirikan murid. Menurut saya ada bebrapa hal yang penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif selain merujuk pada konsep-konsep yang disampaikan dalam modul diantaranya:

1. Konsep pendidikan Inklusif. Berikut link tulisan saya yang terkait pendidikan inklusif

https://mediaindonesia.com/opini/395523/sekolah-inklusi

https://www.harianbhirawa.co.id/sonata-peserta-didik-tunarungu/

https://prokalteng.co/berita/92945/Pembelajaran-Berdiferensiasi-di-Sekolah-yang-Inklusif

2. Konsep penguatan literasi. Berikut link tulisan saya yang terkait dengan literasi. https://mediaindonesia.com/opini/288977/karakter-dan-literasi-dalam-pedagogi-siber

https://poskita.co/2021/10/06/apresiasi-sastra-lahirkan-profil-pelajar-pancasila/

https://www.harianbhirawa.co.id/guru-literat-meroketkan-literasi-murid/

     Akhirnya, semoga pendidikan kita dapat diarahkan untuk pengembangan kepribadian, bakat, mental dan fisik murid sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 ayat 1 United Nations Convention on the Rights of Child. Salam Guru Penggerak, Salam Selamat dan Bahagia. 


Referensi: 

Paket Modul Pendidikan Guru Penggerak,Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi

Lampiran: 

Rancangan Tindakan untuk Aksi Nyata

           

 

                    

Meroket dari Zero to Hero, Rumah Belajar Menjangkau Kita dari Remote Area hingga Dunia, Membuat Kita dari Bukan Siapa-Siapa Menjadi Guru Juara

 

Saya sangat bersyukur mendapatkan kesempatan mengakses simpatik.belajar.kemdikbud.go.id dengan menggunakan akun belajar.id. Bagi saya mendapatkan kesempatan belajar bersama Pusat data Teknologi dan Informasi Pendidikan dan Kebudayaan (PUSDATIN) adalah sebuah karunia. PembaTIK (Pembelajaran Berbasis TIK) Tahun 2022 dibagi menjadi beberapa tahap yang harus kita lalui dengan baik dan menguji keseriusan kita dalam belajar yaitu pada bulan Juni – Agustus tahap Literasi, bulan Juli – Agustus tahap Implementasi, bulan Sepetember tahap Kreasi, dan bulan Oktober- November tahap Berbagi dan Berkolaborasi.  Itulah salah satu manfaat yang saya rasakan yaitu memudahkan saya sebagai pendidik mengakses berbagai platform dari Kemendikbudristek. Selain itu akun belajar.id juga banyak membantu saya dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar dan yang tidak kalah penting adalah dapat menyimpan dokumen secara daring dengan ruang penyimpanan lebih aman tanpa batas. 

                            Video 1: Vlog Berbagi dan Berkolaborasi

Pada tahun 2022 ini saya terdaftar sebagai peserta PembaTIK Level 1 2022 gelombang 48 yang banyak membuat saya memiliki self-efficay, work readiness dan work motivation yang lebih baik. Banyak gagasan-gagasan baru yang saya dapat ketika mengikuti PembaTIK, salah satunya saya semakin bijak dalam memilih media pembelajaran yang saya pertimbangkan dengan lebih matang berdasarkan beberapa aspek seperti tujuan, sasaran didik, karakteristik media, waktu pengoperasian, biaya, ketersediaan, konteks penggunaan dan mutu teknis. Pada PembaTIK Level 1 saya berada pada tahap literasi yaitu saya belajar tentang Ekosistem Digital Merdeka Belajar. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim mengemukakan tentang Merdeka Belajar sebagai emancipated learning yang free the mind, free their potential dan free every level of institution. Merdeka Belajar sejatinya memang memberi kita otonomi (autonomy), fleksibilitas (flexibility) dan penghargaan terhadap keberagaman (respect diversity). Saya yakin kita hanya dapat berbagi apabila diri kita juga mau meningkatkan kompetensi diri dan semangat belajar. Oleh karena itu saya tergerak untuk mengikuti PembaTIK dan CS50 Digital Skill untuk tenaga pendidik.

Foto 1: Mengikuti PembaTIK untuk meningkatkan kompetensi diri di bidang TIK

Pada PembaTIK Level 4 saya melakukan kegiatan berbagi dan berkolaborasi baik secara luring di beberapa sekolah maupun daring dengan sesama Sahabat Rumah Belajar (SRB) melalui kegiatan webinar. Sebagaimana di tengah kesibukan para SRB, saya juga bergelut dengan waktu dalam mengikuti PembaTIK. Pada Level Berbagi dan Berkolaborasi merupakan saat-saat banyak kegiatan lain sedang on process. Namun bagi saya selalu ada hikmah yang saya dapat petik. Saat saya bertugas sebagai narasumber Bimtek Guru Pembimbing Khusus (GPK) saya dapat sekaligus melaksanakan sosialisasi tentang Rumah Belajar.  Demikian juga saat saya menjalankan tugas sebagai fasilitator Calon Guru Penggerak (CGP) saya juga sekaligus dapat mengajak CGP memanfaatkan Platform Rumah Belajar. Selain melaksanaakan kegiatan sosialisasi di sekolah sendiri yaitu SMPN 4 Muara Teweh saya juga melaksanakan sosialisasi di beberapa sekolah di di desa tempat saya mengajar. Tidak hanya berhenti sampai disitu saya juga melaksanakan sosialisasi di beberapa sekolah  lintas desa,kecamatan dan kabupaten.

Lebih-lebih saat ini, kita dapat meyelenggarakan sosialisasi dengan mudah menggunakan moda daring yaitu webinar. Webinar tentang praktik baik penyelenggaraan pembelajaran berbasis TIKyang memanfaatkan Rumah Belajar juga saya lakukan baik interen dengan sesama SBR di dalam 1 (satu) kabupaten/kota,maupun dengan beberapa SRB yang berada dalam satu provinsi maupun dari provinsi lainnya. Ada kelebihan melakukan sosialisasi dengan moda daring yaitu seperti kita lebih safety dari terjangkit virus Covid-19 yang saat ini belum mereda dan kegitaan sosialisasi dapat dilakukan di rumah sendiri. Namun melalui moda daring interaksi antara pemateri dengan peserta menjadi kurang inten dan keterbatasan waktu menjadi kendala juga untuk belajar lebih mendalam tentang pembelajaran berbasis TIK dan Rumah Belajar. Namun untuk mengatasi permasalahan tersebut saya juga menyelenggarakan sosialisasi tentang pemanfaat TIK dan Rumah Belajar secara luring. Bahkan saya menyertakannya dalam kegiatan coaching, pendampingan,diskusi maupun ngobrol santai  dengan banyak guru lainnya. 

Kita ketahui  bersama, Kurikulum Merdeka yang diluncurkan tanggal 11 Februari 2022 menggunakan kerangka dasar Sistem Pendidikan Nasional atau SISDIKNAS, Standar Nasional Pendidikan atau SNP dan Profil Pelajar Pancasila. Dengan mengikuti PembaTIK saya menjadi memiliki cakrawala berpikir yang lebih luas tentang berbagai hal menyangkut struktur kurikulum yang menggunakan Jam Pelajaran (JP) pertahun dan proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila atau PPPP (20-30 % JP) dan penerapan bembelajaran yang terdiferensiasi. Selain itu jika pada Kurikulum 2013 kita masih menggunakan Kompetensi Dasar (KD) maka pada Kurikulum Merdeka kita menggunkan Capaian Pembelajaran dengan menekankan pada penilaian formatif dan penilaian sikap, pengetahuan dan keterampilan tanpa ada pemisahan.

Foto 2: Mengikuti Program Pilot CS50 Harvard University untuk meningkatkan kompetensi di bidang TIK

Mengapa Rumah Belajar Sangat Relevan Sebagai Sahabat Belajar?

Foto 3: Memanfaatkan Portal Rumah Belajar untuk Penyelenggaraan Pembelajaran Berdiferensiasi

Saya telah lama tertarik memanfaatkan Rumah Belajar dalam mendukung praktik-praktik baik dalam pembelajaran. Hal ini karena Portal Rumah belajar sangat user friendly bagi kita para pendidik maupun peserta didik. Salah satu yang saya lakukan adalah memanfaatkan portal Rumah Belajar untuk menyelenggarakan pembelajaran yang berdiferensiasi. Kita telah ketahui bersama bahwa elemen utama Merdeka Belajar adalah kemerdekaan dan kemandirian. Pembelajaran sedapatnya deselenggarakan secara inovatif, konstektual (contextual teaching and learning) dan mandiri. Portal Rumah Belajar hadir untuk menjawab tantangan yang muncul di era education 4.0 tersebut yaitu dengan menyediakan sumber belajar digital. Masih ada lagi layanan berbasis TIK Kemendikbudristek yang dapat kita manfaatkan seperti Akun Pembelajaran (belajar.id), Platform Merdeka Mengajar, dan SIM-PKB GTK. Kemerdekaan belajar dalam pembelajaran mandiri dapat mengasah cognitive skills seperti menyelesaikan masalah secara logis, metacognitive skills seperti keterampilan menulis dan affective skills seperti membangkitkan motivasi. Oleh karena itu, untuk turut serta mensukseskan kemerdekaan belajar saya mengikuti PembaTIK 2022 yang banyak menambah ilmu pengetahuan dan mengembangkan literasi saya tentang perangkat TIK untuk pembelajaran, perangkat pembelajaran kolaboratif, pemanfaatan media sosial untuk pembelajaran dan lain-lain.  Saya merasa semakin terakselerasi untuk menjadi pendidik yang kekinian dan dapat mengikuti perkembangan zaman dalam mendidik (student-centered) karena peserta didik dapat belajar dengan lebih efektif bersama Rumah Belajar. Hal ini juga selaras dengan program Sembilan Belas Episode Merdeka Belajar diantarnya Merdeka Belajar dan Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar tentang mengajar, belajar dan berkarya.

Foto 4:  Semangat Menyukseskan Pembelajaran Berbasis TIK Bersama Rumah Belajar

Platform edukasi seperti Platform Merdeka Mengajar membuat guru dapat membagikan pengalaman mengajar, belajar, dan berkarya serta menggunkan perangkat ajar sampai melakukan assessmen murid lalu membagikannya video inspirasi lewat bukti karya saya adalah sebuah bentuk implementasi dari pendidik yang memiliki digital competence. Kompetensi digital yang baik dari pendidik akan berpengaruh pada kemampuan mereka dalam mendesain pembelajaran (self-regulated learning) (Dig Comp 2.1). Selain itu penguasaan teknologi digital akan membantu pendidik dalam mendesain pembelajaran yang inklusif, personalized, melibatkan (engaging), komunikatif, kolaboratif dan profesional.

Belajar menjadi semakin seamless dan immersive dengan adanya Portal Rumah Belajar karena belajar dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja. Fitur-fitur yang ada di Rumah Belajar juga semakin lengkap yang membuat peserta didik dan saya sendiri sebagai pendidik semakin tertarik belajar bersama Rumah Belajar seperti Sumber Belajar, Buku Sekolah Elektronik, Bank Soal, Laboratorium Maya, Peta Budaya, Wahana Jelajah Angkasa, Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), Kelas Maya, Karya Komunitas, Karya Guru, Karya Bahasa dan Sastra, Augmented Reality dan Edugame Rumah Belajar. Fitur-fitur di Portal Rumah Belajar memfasilitasi kita sebagai pendidik dan peserta didik dapat melakukan self-organized learning environment. Selain itu pembelajaran berbasis digital melalui Rumah Belajar dapat berperan sebagai technology enhanced learning dengan menggunakan pendekatan TPACK (Technological Knowledge, Pedagogical Knowledge and Content Knowledge). Fungsi pembelajaran digital sendiri dapat menjadi suplemen,komplemen dan juga berperan sebagai subtitusi. Pembelajaran digital seperti penggunaan Rumah Belajar sebagai a large collection of computers in networks that are tied together so that many users can share their vast resources (William, 1999).

Pola belajar di era society 5.0 seperti sekarang memang diharapkan dapat think globally act locally yaitu dengan menggali pengetahuan sebanyak mungkin dari berbagai sumber referensi namun dapatr menerapkan sesuai dengan kubutuhan dan kondisi lokal. Pembelajaran berdiferensiasi sangat terdukung dengan adanya Rumah Belajar. Pembelajaran digital yang semakin beragam seperti M-Learning dengan menggunakan handphone dan lain-lain, social media, Games Based Learning atau Cloud Computing (google drive) semakin mengakomodasi kebutuhan, keberagaman dan profil belajar peserta didik. Pembelajaran digital bersama Rumah Belajar dapat menyesuaikan kebutuhan perseta didik sehingga penyelenggaraan pembelajaran menjadi relevan dan konstektual. Peserta didik juga dapat belajar di luar jam belajar di sekolah dengan rumah belajar seperti untuk pembelajaran pengayaan maupun remedial. Sebagai komplemen dalam belajar dapat pula dilakukan secara asinkron atau sinkron menggunakan Learning Management System (LMS) yang mengacu pada technological dan content knowledge. Contohnya dapat dilakukan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning) yang hasilnya dipresentasikan oleh kelompok peserta didik melalui aplikasi vicon.

Praktik Baik Penggunaan Aplikasi Pintar dalam Pembelajaran (Edu-Game Learning)

Salah satu tugas guru yang tidak kalah penting adalah melaksanakan proses penilaian kepada peserta didik. Tujuannya untuk melihat perkembangan peserta didik, baik dari segi pengetahuan (kognitif), sikap maupun keterampilan. Selama ini masih banyak guru yang melaksanakan penilaian dengan mode konvensional, yakni mengerjakan soal di kertas. Cara ini dianggap paling praktis dan terjangkau karena guru hanya perlu menggandakan soal sejumlah siswa. Di era teknologi yang semakin canggih ini, hampir semua kegiatan dapat dilakukan melalui handphone yang kita genggam sehari-hari, termasuk melakukan penilaian kepada siswa secara formal. Sudah saatnya institusi pendidikan berbenah untuk mengurangi penggunaan kertas dan beralih kepada mode online untuk setiap kegiatan pembelajaran. Aplikasi Pintar hadir untuk membantu guru mempermudah pelaksanaan penilaian. Hasil kerja siswa tersimpan di dalam data aplikasi dan dapat dicetak di akhir semester sebagai laporan untuk sekolah dan siswa.

Penilaian merupakan proses penting dalam pembelajaran peserta didik. Kegiatan ini hendaknya dilakukan secara sistematis, terencana baik dalam bentuk tes formatif maupun tes sumatif. lebih-lebih kita perlu memperbanyak porsi tes formatif sehingga penggunaan aplikasi pintar menjadi begitu relevan. Dengan demikian diharapkan penilaian menjadi proses yang mampu menggambarkan hasil belajar siswa dan guru dapat secara berkesinambungan meningkatkan kualitas mengajarnya. Di era teknologi yang serba canggih ini, hampir semua kegiatan dapat dilaksanakan secara online, terlebih di era new normal setelah pandemi. Pembelajaran yang terbiasa dilakukan secara tatap muka kini beralih ke pembelajaran online atau dalam jaringan (daring). Begitu pula dengan penilaian, guru dapat melaksanakan kegiatan ini secara daring melalui website maupun aplikasi. Saya perkenalkan aplikasi pintar yang akan membantu guru menyelenggarakan penilaian secara sistematis dan terencana. Siswa dapat mengakses soal dengan mudah dan mereka dapat melihat hasilnya di akhir.

Dengan adanya aplikasi Pintar, manfaat secara umum yang akan diperoleh yaitu pertama, membantu guru dalam melaksanakan proses penilaian kepada siswa. Kedua, menjangkau kegiatan penilaian dan lebih fleksibel. dan ketiga, melahirkan inovasi yang menarik. Dengan sistem ini proses penilaian pada pembelajaran jarak jauh akan lebih menarik dan menyenangkan. Bagi guru, aplikasi Pintar dapat digunakan sebagai: alat untuk melakukan proses penilaian alat pembuat soal ujian yang disertai batas waktu pengerjaan alat pencetak laporan nilai siswa (dapat berupa laporan individu maupun kolektif) Sementara bagi siswa, aplikasi Pintar digunakan sebagai: media untuk mengerjakan soal ujian secara online, media penyimpan skor ujian dan sebagai tempat melaksanakan ujian untuk semua pelajaran.

Aplikasi Pintar dapat dipasang di semua handphone berbasis android. Sementara guru memegang akun website sebagai tempat untuk mengelola aplikasi, termasuk di antaranya adalah membuat soal, membuat daftar kelas, menambah daftar mata pelajaran, mengelola siswa dan nilai yang masuk. Aplikasi Pintar merupakan alat yang mendukung proses penilaian siswa yang diakses secara elektronik di handphone masing-masing. Untuk guru, masing-masing akan mengelola isi dari aplikasi melalui website. Dengan demikian, setiap guru akan mendapatkan hak akses untuk: mengelola aplikasi di website dengan akun masing-masing membuat soal secara bebas melalui website dan akan diakses oleh siswa melalui aplikasi menambahkan siswa yang masuk mengelola nilai dari hasil siswa mengerjakan soal

Tahapan untuk mengakses Website aplikasi Pintar adalah sebagai berikut:

 1. Buka browser;

2. Ketikkan URL https://pintar.icebeem.com

3. Untuk pengguna baru, Anda diminta untuk membuat akun.

Namun sebelum membuat akun, Anda harus mendaftarkan nama sekolah terlebih dahulu. Seperti pada banyak aplikasi, siswa harus mengisi kolom Nama, Email, Nomor HP, Alamat dan memilih sekolah tempat ia belajar. Kemudian klik "Register" dan peserta didik sudah memiliki akun. Sebagai guru, Anda bisa meminta siswa untuk menuliskan nama lengkap sesuai format yang diinginkan agar data peserta dapat terlihat rapi.

Pembelajaran Berdiferensiasi Menggunakan Portal Rumah Belajar dan Mendiseminasikannnya

Undang-Undang No. 2 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 36 Ayat 2 berbunyi “Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik”. Hal ini menegaskan bahwa sekolah memiliki kemandirian dan kesempatan untuk mengembangkan kurikulum operasional yang disesuaikan dengan potensi daerah dan peserta didik masing-masing. Kurikulum kemudian dapat diimplementasikan dalam bentuk suasana pembelajaran berdiferensiasi yang disesuaikan dengan keadaan, kemampuan, kemauan atau kesukaan, kebutuhan dan perbedaan setiap peserta didik. Fleksibilitas atau keluwesan, kemudahan dan kecepatan kurikulum dalam menyesuaikan diri memberikan peluang juga kepada peserta didik untuk dapat mengelola sendiri proses pembelajaran dan lingkungan belajarnya. Model kurikulum fleksibel dengan kemampuan beradaptasi dan kemudahan akses ini akan akan membentuk bangunan pribadi peserta didik yang memiliki pengetahuan dan keterampilan secara utuh. 

Video 2: Praktik Baik Pembelajaran Berdiferensiasi Berbasis TIK yang Memanfaatkan Rumah Belajar

Ketika peserta didik datang ke sekolah,mereka mempunyai beraneka ragam perbedaan baik secara kemampuan, pengalaman, bakat, minat, bahasa ibu, kebudayaan, latar belakang keluarga, sosial, ekonomi  dan cara belajar. Oleh karena itu, keanekaragaman layanan dari tinjauan perbedaan karakteristik peserta didik pun perlu diterapkan. Peserta didik perlu diberikan ruang untuk memberikan voice (suara), choice (pilihan) dan ownership (kepemilikan) untuk mengambil lebih banyak tanggung jawab dalam pembelajaran mereka sendiri, misalnya, peserta didik diberikan keleluasaan mengerjakan tugas sesuai dengan minat dan pilihannya. Maka pendidik dapat mengimbanginya dengan memberikan layanan pembelajaran yang bervariasi kepada peserta didik disesuaikan dengan tingkat kesiapan belajar (teaching at the right level), minat, bakat dan gaya belajar peserta didik.

Salah satu contoh yang dapat dilakukan pendidik adalah menggunakan bahan atau perangkat ajar berbasis cetak seperti buku teks, modul ajar atau buku bacaan yang lebih bervariasi. Selain itu dalam pembelajaran berdiferensiasi pendidik juga dapat menggunakan bahan ajar bervariasi lain berbasis teknologi dari sumber belajar portal Rumah Belajar seperti siaran audio, televisi, film, edugame (game-based learning), digital video, multimedia interaktif, augmented reality, dan virtual reality atau berbasis praktik, proyek dan melibatkan interaksi manusia seperti alat peraga, lembar observasi, lembar wawancara dan gawai (telepon genggam). Pemilihan bahan ajar mengacu pada pendekatan individual yaitu personalized dan customized.

Pendekatan personal kepada setiap peserta didik juga dilakukan dengan memberikan materi yang esensial dengan capaian pembelajaran sebagai kompetensi yang utuh. Penguatan kompetensi meliputi pengetahuan (knowledge and concepts), keterampilan (mental skills and physical skills) dan karakter (attitude) yang diarahkan kepada pembentukan Profil Pelajar Pancasila. Sekolah tentu diberikan kemerdekaan memilih kurikulum yang digunakan apakah memilih kurikulum nasional, kurikulum dalam kondisi khusus atau kurikulum mandiri. Dalam Kurikulum Merdeka, visi yang dibangun adalah hasil dari pemikiran Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah tujuan pendidikan. Memerdekakan pembelajaran akan menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan bagi pendidik dan peserta didik dan tidak lagi menjadi beban pembelajaran karena pendekatan rigid seperti standarisasi pun dirubah menjadi pendekatan heterogenitas. Memerdekakan pendekatan pedagogi yang diarahkan menjadi berpusat pada peserta didik (student-centered) atau personalisasi dan menghindari pendekatan pendagogi pukul rata (one size fits all) serta setiap pendidik dapat bebas berinovasi tanpa dibebani perangkat administrasi adalah bentuk upaya kita menuju kemerdekaan pendidikan.

Paradigma baru dalam pembelajaran yang memerdekakan pendidikan perlu dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan. Pembelajaran dengan paradigma baru ini kita sebut pembelajaran berdiferensiasi yang mensinergikan antara kurikulum, bentuk pembelajaran sampai pada asesmen. Penyelenggaraan pembelajaran berdiferensiasi dimulai dengan asesmen diagnostik untuk mengukur kesiapan belajar,minat dan cara belajar (profil belajar) peserta didik sebagai asesmen awal (pre-knowledge) sebelum memulai proses belajar yang dilakukan melalui tes tertulis, wawancara, survey, observasi dan atau tes minat dan bakat.  Tidak ada one-size-fits-all untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana peserta didik belajar atau bagaimana pendidik seharusnya mengajar karena peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda seperti visual, audio visual, kinestetik. Honey-Mumford model mengemukakan bahwa beberapa peserta didik memiliki gaya belajar learning by doing dan tidak menyukai belajar dari membaca atau mendengar yang disebut gaya belajar aktivis (activist). Namun beberapa peserta didik yang lain menyukai pencarian pada ide-ide baru (pragmatist), tidak menyukai subjektivitas (theoritist) dan stand-back sebelum melakukan observasi (reflector).

Oleh karena itu, beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pendidik yaitu; pertama, memberikan layanan pembelajaran baik bersifat klasikal maupun individual untuk mengakomodasi peserta didik yang memiliki gaya belajar, keunikan, potensi dan motivasinya yang beraneka ragam. Kedua, memberikan layanan pembelajaran yang sesuai dengan pengalaman langsung peserta didik (direct experiences) sebagai kunci dalam melaksanakan pembelajaran. Pemberian tugas-tugas otentik yang mengaitkan pengalaman pribadi peserta didik baik dari dalam sekolah maupun di luar sekolah (situated learning) akan menarik perhatian dan minat peserta didik sehingga mereka akan merasa terhubung lebih dalam secara fisik, kognitif dan emosional terhadap proses pembelajaran serta rasa keterlibatan atau kepemilikan (ownership) terhadap proses pembelajaran juga akan semakin baik. Kemudian yang ketiga, mendorong proses metakognisi atau kesadaran dan keyakinan peserta didik terhadap proses berpikir mereka sendiri sehingga dapat menghubungkan pengetahuan dan pengalaman belajar yang telah mereka miliki sebelumnya untuk menghasilkan sesuatu baik pengetahuan atau produk baru karena sifat pengetahuan terus berkembang dan berubah. Terakhir yang keempat, memberikan dukungan (scaffolding) kepada peserta didik sesuai dengan tingkat perkembangan, pengalaman dan pengetahuan peserta didik   serta mendorong peserta didik dapat melaksanakan belajar mandiri dan berkolaborasi dalam upaya problem-solving namun tetap di bawah bimbingan pendidik.  Menurut teori Vigotsky tentang Zone of Proximal Development (ZPD), peserta didik akan lebih optimal dalam belajar melalui proses kolaborasi dibawah bimbingan orang dewasa. Disinilah kemudian peran Rumah Belajar begitu signifikan dalam penyelenggaraan pembelajaran yang menarik, relevan dan menantang. 

Berbagi dan Berkolaborasi

Bagi saya dengan berkolaborasi dan berbagi kita akan semakin kuat dan membawa dampak positif yang lebih besar. Saya juga melakukan kolaborasi dengan media baik online:  Merdeka Belajar dalam Rumah Belajar maupun cetak agar semakin besar peluang saya dapat berbagi sebanyak-banyaknya tentang kebermanfaatan Rumah Belajar bagi masyarakat luas. Sebagai pendamping dan fasilitator Calon Guru Penggerak (CGP), saya juga sangat antusias karena memiliki kesempatan yang luas untuk mengenalkan Rumah Belajar kepada para CGP.

Foto 5: Sosialisasi Pedagogi Siber sebagai Bentuk Pembelajaran Berbasis TIK 

Foto 6: Mengenalkan YouTube Rumah Belajar dan YouTube TV Edukasi


Foto 7: Berbagi tentang Kebermanfaatan Rumah Belajar melalui Media Cetak

Semoga visi pendidikan nasional yaitu generasi emas di tahun 2045 dapat terwujud dengan penerapan pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran individual yang dapat menjangkau semua peserta didik serta memberikan keleluasaan semua peserta didik menjadi tutor sebaya baik di kelompok besar, kelompok kecil atau mandiri dalam belajar. Sejatinya kelas berdiferensiasi sangat menghargai kecerdasan majemuk sebagaimana dikemukaan oleh Howard Garner tentang multiple intellegencies sehingga penugasan multi opsi perlu sering diterapkan. Pendidik perlu menyadari bahwa di sekolah mereka bisa jadi terdapat peserta didik yang memiliki hambatan sosial-ekonomi, hambatan penglihatan, hambatan pendengaran, hambatan intelektual, kelainan kecerdasan, hambatan fisik, hambatan perilaku, hambatan emosi, kesulitan belajar spesifik atau hambatan belajar lainnnya. Pendidikan mesti untuk semua. Bersama Rumah Belajar upaya mewujudkan pendidikan untuk semua juga akan semakin optimal. Satu yang menjadi komitmen bahwa  kegiatan berbagi dan berkolaborasi tentang pemanfaatan TIK dan pemanfaatan Rumah Belajar akan terus saya lakukan meskipun tidak lagi berada di Level4 PembaTIK karena bagi saya yakin dan percaya kegiatan berbagi dan berkolaborasi akan memberdayakan dan memperkuat kita semua. Hal ini juga berlaku saat saya tidak berada di Level 4 PembaTIK pada tahun-tahun sebelumnya, semangat berbagi dan berkolaborasi telah saya laksanakan dan   telah  menyala. 

Foto 8: Semangat Calon Guru Penggerak (CGP) Menyambut Rumah Belajar 


Galeri Prestasi

GALERI PRESTASI YOGYANTORO

1.  Juara Harapan Jurnalistik Pendidikan Keluarga Tingkat Nasional, Kemendikbud 2017


2.  Juara 1 Lomba Menulis KORPRI Tingkat Nasional 2017


3.  Terbaik III Guru Inovatif dan Dedikatif Tingkat Nasional, Kemendikbudristek 2020


4.  Guru Berdedikasi Tingkat Nasional, PB PGRI 2020


5.  Juara II Jurnalistik Pendidikan Tingkat Nasional, Kemendikbud 2017

6.  Juara I Kreasi Blog Tingkat Nasional, Diskominfo DIY  2022

7.  Pemenang Sayembara Cerpen Bulan Bahasa 2022 Tingkat International





Pemahaman Konsep Pembekalan Calon Fasilitator Angkatan 11 Pendidikan Guru Penggerak

 

Saya bersyukur dapat mengikuti Pembekalan Calon Fasilitator Angkatan 11 Pendidikan Guru Penggerak (PGP) Tahun 2022 yang diselenggarakan secara daring pada 06 – 19 September 2022. Pembekalan ini menghadirkan banyak pemateri seperti Pak Kasiman, Bu Dwikora Hayuati, Pak Wandy Praginda, Bu Itje Chodidjah, Pak Simon Rafael, Pak Yoki Ariana, Bu Rahmi Yunita, Bu Tista Sandy Rakhmawati, Bu Fadila Mutiarawati, Bu Wahyu Ekawati, Pak Markus Hernoko, Pak Reddison dan Pak Aditya Darma. Ada beberapa keuntungan yang saya dapat jika saya menjadi fasilitator yaitu saya dapat mengetahui lebih awal detail informasi seperti implementasi kurikulum merdeka yang tidak bisa kita peroleh di bangku perkuliahan. Kami melakukan bedah modul 1.1 hingga 3.3 sesuai dengan kurikulum guru penggerak yaitu modul 1. Paradigma dan Visi Guru Penggerak (perubahan diri), modul 2. Praktik Pembelajaran yang Berpihak pada Murid (perubahan rekan) dan modul 3. Pemimpin dalam Pengelolaan Sekolah (perubahan sekolah)


Pada modul 1.1 ini kami belajar tentang Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara (KHD) yang memiliki relevansi dengan Pendidikan abad ke-21. Refleksi filosofi KHD juga disesuaikan dengan konteks lokal yang kaya dengan nilai-nilai luhur sosial dan budaya setempat. Konstektualisasi filosofi Pendidikan KHD yang terkenal adalah tentang budi pekeri (cipta, karsa, karya), Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani yang keempatnya menuntun peserta didik mencapai kekuatan kodratnya. Hal ini karena dasar pendidikan anak berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman sebagaimana yang saya tulis dalam sebuah artikel yang terbit di sebuah harian di Jawa Timur  https://www.harianbhirawa.co.id/guru-penggerak-sang-transformer/ Pada modul 1.1 juga dipelajari  tentang peran sekolah yang bernama Taman Siswa yang didirikan tahun 1922 yang mana makna pendidikan bertujuan memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar mampu mencapai keselamatan dan kebahagian yang setinggi-tingginya. Peserta didik diharapkan dapat merdeka batin yaitu memuliakan dirinya dan orang lain dan merdeka lahir yaitu menjadi mandiri. Selain itu kami dibekali tentang pembelajaran yang berpihak pada murid sebagaimana KHD mengibaratkan peran pendidik seperti petani atau tukang kebun sedangkan anak-anak seperti biji tumbuhan yang ditanam

Pada modul 1.2 yaitu pembelajaran tentang Nilai dan Peran Guru Penggerak. Nilai-nilai kebajikan yang bersifat universal perlu dijadikan common ground bagi seorang guru penggerak.  Guru adalah adalah manusia yang harus dapat tergerak, dan menggerakkan manusia lainnya. Apabila guru memiliki kesadaran bagaimana dirinya tergerak selanjutnya guru dapat menggerakkan orang lain yaitu dengan menuntun sesuai kekuatan kodratnya dan disesuaikan dengan tahap perkembangannya. Dalam tahap tumbuh kembang anak kita mengenal teori Ki Hadjar dewantara yaitu Wiraga-Wirama dan teori tahap perkembangan psikososial Erik Erikson yang dapat dijadikan acuan. Manusia (guru) merdeka bergerak: berdaya dalam memilih, termotivasi dari dalam dan berupaya mewujudkan profil pelajar Pancasila. Oleh karena itu guru penggerak perlu memahami nilai-nilai guru penggerak seperti berpihak pada murid, reflektif, mandiri, kolaboratif,dan inovatif serta dapat berperan menjadi pemimpin pembelajaran, menjadi coach bagi guru lain,mendorong kolaborasi, mewujudkan kepemimpinan murid (student agency) dan menggerakkan komunitas praktisi. Selain itu saya juga belajar tentang diagram identitas gunung es yang menjelaskan tentang pentingnya pengkondisian dan pembiasaan dalam menumbuhkan karakter seseorang. Lalu pembelajaran tentang trapezium usia, Triune Brain, roda emosi Plutchik yang semankin menambah cakrawala berpikir saya semakin luas. Saya juga semakin memahami tentang bagaimana manusia tergerak, bergerak dan menggerakkan.

Modul 1.3 berisi tentang Visi Guru Penggerak. Materi yang dipelajari diantaranya tentang pentingnya visi guru penggerak sebagai representasi visual akan masa depan. Visi berpeluang menghubungkan hati lebih banyak pihak sehingga dapat mengundang upaya kolaboratif. Untuk mewujudkan visi diperlukan jalan kesinambungan, berkelanjutan dan hubungan gotomg-royong, bukan hubungan transaksional atau jalan untuk mencari kemenangan semata. Materi lainnya yaitu tentang paradigma sekaligus model manajemen perubahan yang memegang prinsip psikologi dan pendidikan positif berbasi kekuatan yang disebut Inkuiri Apresiatif (IA). IA sebagai pendekatan manajemen perubahan menggunakan pola BAGJA yaitu buat pertanyaan (define), ambil pelajaran (discover), gali mimpi (dream), jabarkan rencana (design) dan atur eksekusi (deliver). BAGJA adalah gubahan tahapan IA yang merupakan pendekatan dalam manajemen perubahan. Salah satu kekuatan BAGJA yaitu terletak pada proses penggalian jawaban pertanyaan yang didasari oleh rasa ingin tahu, kebaikan dan kebersamaan. Menurut Evans (2001), untuk memastikan bahwa perubahan dapat terjadi secara mendasar dalam operasional sekolah, maka pemimpin sekolah hendaknya mulai dengan memahami dan mendorong perubahan budaya sekolah. Hal ini semakin diperkuat oleh Ki Hadjar Dewantara tentang peralatan pendidikan sebagai cara mendidik anak yaitu dengan: memberi contoh, pembiasaan, pengajaran, perintah,paksaan dan hukuman, laku dan pengalaman lahir dan batin. 

Modul 1.4 adalah Budaya Bositif. Lingkungan yang positif diperlukan agar pembelajaran yang terjadi adalah pembelajaran yang berpihak pada murid sebagaimana yang tertuang dalam standar proses pada Standar Nasional Pendidikan pasal 12. Dalam Budaya positif terdapat nilai-nilai kebajikan universal dan disiplin positif. Disiplin positif adalah motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah karena disiplin positif memiliki tujuan mulia. Disiplin sebagai bentuk kontrol diri yaitu belajar untuk kontroldiri agar dapat mencapai suatu tujuan mulia (Ki Hadjar Dewantara dan Diane Gossen). Sementara itu nilai-nilai universal adalah nilai-nilai kebajikan yang disepakai bersama terlepas dari latar belakang suku,agama dan lain-lain seperti nilai-nilai yang terkandung dalam profil pelajar Pancasila. Selain itu pada modul 1.4 juga dipelajari tentang Segitiga Restitusi. Restitusi sebagai proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah mereka, seperti apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996). Restitusi adalah pendekatan untuk menciptakan disiplin positif, belajar dari kesalahan, memperbaiki hubugan, bersifat “menuntun” dan “menawarkan”., mencari kebutuhan dasar yang mendasari tindakan, fokus pada karakter (bukan tindakan), fokus pada solusi dan mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya.

Selanjutnya, berikut ini adalah hasil resume pemahaman konsep modul 2 dan 3.

Modul 2.1 Pembelajaran untuk Memenuhi Kebutuhan Belajar Murid

Pada modul 2.1 ini kami belajar tentang pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar murid sebagai salah satu sub modul 2 yaitu praktik pembelajaran yang berpihak pada murid. Kami juga belajar tentang profil belajar, pembelajaran berdiferensiasi, teori scaffolding, perspektif equalizer dan strategi penilaian formatif.

Profil belajar merupakan pendekatan yang disukai murid untuk belajar, yang dipengaruhi oleh gaya berpikir/belajar, kecerdasan, budaya, latar belakang, jenis kelamin, dan lain-lain. Sangat penting menerapkan teknik pembelajaran di mana murid diberikan sejumlah bantuan, kemudian perlahan-lahan diadakan pengurangan terhadap bantuan tersebut hingga pada akhirnya, murid dapat menunjukkan kemandirian yang lebih besar dalam proses pembelajaran (scaffolding). Pembelajaran itu perlu memenuhi kebutuhan belajar semua murid, menyesuaikan kebutuhan belajar murid seperti kesiapan belajar murid, minat murid, profil belajar murid dan berdiferensiasi.

Kesiapan belajar murid bukanlah tentang tingkat intelektualitas (IQ). Hal ini lebih kepada informasi tentang apakah pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki murid saat ini, sesuai dengan pengetahuan atau keterampilan baru yang akan diajarkan. Adapun tujuan memperhatikan kebutuhan belajar murid berdasarkan tingkat kesiapan belajar ini adalah untuk memastikan bahwa semua siswa diberikan pengalaman belajar yang menantang secara tepat (Santangelo & Tomlinson (2009) dalam Joseph et.al (2013: 29)). Berikut ini adalah perspektif equalizer (Tomlinson (2001:47).

1.    Mendasar – Transformatif

2.    Konkret – Abstrak

3.    Sederhana – Kompleks

4.    Terstruktur – Terbuka

5.    Tergantung – Mandiri

6.    Lambat – Cepat

Pembelajaran berdiferensiasi adalah usaha guru untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu murid (Tomlinson (1994:14). Pembelajaran berdiferensiasi bukan mengelompokkan yang pintar dengan yang pintar, yang kurang dengan yang kurang, memberikan tuga syang berbeda untuk setiap anak, atau guru yang berlari membatu kesana kemari membantu si A,si B,si C. Pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran dengan kurikulum (tujuan pembelajaran) didefinisikan secara jelas, lingkungan belajar yang mengundang murid untuk belajar dan adanya penilaian berkelanjutan (penilaian formatif).  

Proses pembelajaran berdiferensiasi juga mensyaratkan adanya praktik-praktik penilaian yang baik. Pemerintah sendiri telah menetapkan Standar Penilaian Pendidikan, dimana dijelaskan bahwa tujuan dari standar itu adalah menciptakan proses penilaian yang mengarah pada tercapainya standar kompetensi lulusan. Proses penilaian dilakukan dan digunakan bukan hanya untuk menilai hasil akhir dari proses pembelajaran, namun yang paling penting adalah bagi perbaikan proses pembelajaran sehingga semua murid dapat mencapai kemajuan dalam proses belajarnya. Proses pengumpulan dan pengolahan informasi tentang hasil belajar murid dengan demikian tentunya harus dilaksanakan secara terus menerus. Dalam praktek pembelajaran berdiferensiasi, praktik penilaian yang terus menerus ini menjadi satu hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh guru, karena strategi pembelajaran yang dipilih oleh guru akan sangat bergantung pada informasi yang didapat oleh guru melalui proses penilaian ini.

Terdapat 7 (tujuh) ciri pembelajaran berdiferensiasi yaitu:

1.    bersifat proaktif

2.    mengutamakan kualitas daripada kuantitas

3.    menggunakan penilaian diagnostik

4.    menggunakan pendekatan konten, proses dan produk

5.    berpusat pada murid

6.    memadukan pembelajaran seluruh kelas, individual dan kelompok

7.    bersifat organik dan dinamis

Modul 2.2 Pembelajaran Sosial dan Emosional

Pada modul 2.2 yang mengangkat topik Pembelajaran Sosial dan Emosional ini kami mempelajari 5 (lima) kompetensi sosial dan emosional yang terdiri dari kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi,dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab atau CASEL (Collaborative for Academic and Social Emotional Learning (1995)). Pembelajaran Sosial dan Emosional sendiri meliputi 5 KSE, lingkungan belajar dan sikap.

Kegiatan KSE antara lain melibatkan murid membuat keyakinan kelas, memberi kesempatan murid untuk membaca buku pilihannya, memberikan kesempatan murid-murid untuk merefleksikan proses pembelajaran,dan lain-lain. Selain itu pada modul 2.2 kami belajar tentang praktik mindfulness (STOP), piramida K-For-Catanese, Tri Sentra Pendidikan, dan penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah.

Perkembangan murid disebut holistik jika mencakup perkembangan intelektual, fisik, emosional, sosial dan karakter. Pembelajaran Sosial dan Emosional sendiri adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah yang memungkinkan anak dan pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai 5 Kompetensi Sosial dan Emosional. Mulai dari pengajaran secara eksplisit di kelas hingga kemitraan dengan keluarga dan komunitas untuk terus mengupayakan proses kolaboratif dan berkelanjutan.

Pembelajaran Sosial dan Emosional berupaya menciptakan lingkungan dan pengalaman belajar yang menumbuhkan 5 kompetensi sosial dan emosional yaitu kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Pembelajaran 5 KSE tersebut akan dapat menghasilkan murid-murid yang berkarakter, disiplin, santun, jujur, peduli, responsif, proaktif, mendorong anak untuk memiliki rasa ingin tahu tentang ilmu pengetahuan, sosial, budaya, dan humaniora. Semua ini selaras dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi dalam Standar Nasional Pendidikan.

Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE) adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah. Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai aspek sosial dan emosional agar dapat:

1. Memahami, menghayati, dan mengelola emosi (kesadaran diri)

2. Menetapkan dan mencapai tujuan positif (pengelolaan diri)

3. Merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain (kesadaran                 sosial)

4. Membangun dan mempertahankan hubungan yang positif (keterampilan berelasi)

5. Membuat keputusan yang bertanggung jawab. (pengambilan keputusan yang bertanggung jawab)

Kerangka kompetensi pembelajaran sosial dan emosional CASEL menggunakan pendekatan yang sistematis yang menekankan pada pentingnya menciptakan lingkungan belajar yang tepat serta terkoordinasi untuk meningkatkan pembelajaran akademik, sosial, dan emosional semua murid. Kesadaran Penuh (mindfulness) berperan sebagai dasar penguatan 5 (lima) Kompetensi Sosial dan Emosional. Pada prinsipnya praktik kesadaran penuh merupakan segala aktivitas yang kita lakukan secara sadar. Apapun bentuk aktivitasnya - yang ditekankan adalah perhatian yang diberikan saat melakukan aktivitas tersebut. Meski demikian, terdapat juga praktik-praktik terpadu yang dikemas secara khusus untuk membantu kita. Praktik paling mendasar dan sederhana adalah melatih dan menyadari napas. Salah satu teknik melatih napas adalah Teknik STOP. Teknik ini dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja, dan tanpa membutuhkan peralatan. STOP terdiri dari stop,take a breath, observe and proceed.

Kerangka Pembelajaran Sosial Emosional berbasis kesadaran penuh dalam mewujudkan kesejahteraan psikologis (well-being) yang diadaptasi dari piramida K-For-Catanese (dalam Hawkins, 2017) yang menjelaskan bahwa kesadaran penuh dapat menciptakan kesejahteraan sosial dan emosional.  Kesejahteraan sosial dan emosi akan membuahkan well-being. Implementasi pembelajaran sosial emosional di kelas dan sekolah melalui 4 indikator, yaitu: pengajaran eksplisit, integrasi dalam praktek mengajar guru dan kurikulum akademik, penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah, dan penguatan pembelajaran sosial emosional pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) di sekolah.  Penerapan pembelajaran sosial dan emosional tidak hanya mencakup ruang lingkup kelas dan sekolah, namun juga melibatkan keluarga dan komunitas. Hal ini sejalan dengan prinsip pendidikan Tri Sentra (Tiga Pusat Pendidikan) salah satu gagasan Ki Hajar Dewantara yang menerangkan bahwa pendidikan berlangsung di tiga lingkungan yaitu, keluarga, sekolah, dan masyarakat.

             Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik

Pada Modul.2.3 kami mempelajarai tentang Kompetensi Inti Coaching seperti kehadiran penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot. Kami juga belajar tentang percakapan perencanaan, percakapan pemecahan masalah, percakapan berefleksi dan percakapan kalibrasi. Kemudian kami belajar mendengarkan dengan “RASA” yaitu receive, appreciate, ask dan summarize serta belajar tentang alur TIRTA (Tujuan, Identifikasi, Rencana Aksi, Tanggung Jawab) dan alur GROW (Goal, Reality, Options, Will). Last but not least, kami belajar tentang umpan balik berbasis coaching dengan menggunakan pertanyaan reflektif dan data yang valid dalam supervisi klinik dan supervisi akademik.

Supervisi akademik ini dilakukan untuk memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid sebagaimana tertuang dalam standar proses pada Standar Nasional Pendidikan Pasal 12 yaitu pelaksanaan pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b diselenggarakan dalam suasana belajar yang:

a. interaktif;

b. inspiratif;

c. menyenangkan;

d. menantang;

e. memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif; dan

f. memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis Peserta Didik.

Paradigma berpikir yang memberdayakan mutlak diperlukan agar pengembangan diri dapat berjalan secara berkelanjutan dan terarah. Salah satu pendekatan yang memberdayakan adalah coaching sebagaimana Whitmore (2003) ungkapkan bahwa coaching adalah kunci pembuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999). Sedangkan Whitmore (2003) mendefinisikan coaching sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar daripada mengajarinya. Sejalan dengan pendapat para ahli tersebut, International Coach Federation mendefinisikan coaching sebagai “bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.”

Sistem Among, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, menjadi semangat yang menguatkan keterampilan komunikasi guru dan murid dengan menggunakan pendekatan coaching. Tut Wuri Handayani menjadi kekuatan dalam pendekatan proses coaching dengan memberdayakan (andayani/handayani) semua kekuatan diri pada murid. Sebagai seorang Guru (pendidik/pamong) dengan semangat Tut Wuri Handayani, maka perlulah kita menghayati dan memaknai cara berpikir atau paradigma berpikir Ki Hajar Dewantara sebelum melakukan pendampingan dengan pendekatan coaching sebagai salah pendekatan komunikasi dengan semangat among (menuntun).

Paradigma berpikir coaching yaitu:

1.    fokus pada coachee

2.    terbuka dan ingin tahu

3.    memiliki kesadaran diri kuat

4.    melihat peluang baru

Sedangkan kompetensi inti coaching yaitu:

1.    kesadaran penuh (presence)

2.    mendengarkan aktif

3.    mengajukan pertanyaan berbobot.

Sebagai seorang coach salah satu peran terpentingnya adalah membantu coachee menyadari potensi yang dimiliki untuk mengembangkan kompetensi dirinya, dan menjadi mandiri melalui pendampingan yang mengedepankan semangat memberdayakan. Alur percakapan coaching TIRTA dikembangkan dengan semangat merdeka belajar yang membuat kita memiliki paradigma berpikir, prinsip dan keterampilan coaching untuk memfasilitasi rekan sejawat agar dapat belajar dari situasi yang dihadapi dan membuat keputusan-keputusan bijaksana secara mandiri. Hal ini penting mengingat tujuan coaching yaitu untuk pengembangan diri dan membangun kemandirian. Melalui alur percakapan coaching TIRTA, kita diharapkan dapat melakukan pendampingan baik kepada rekan sejawat maupun muridnya. TIRTA dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.    Tujuan Umum (Tahap awal dimana kedua pihak coach dan coachee menyepakati tujuan pembicaraan yang akan berlangsung. Idealnya tujuan ini datang dari coachee).

2.    Identifikasi (Coach melakukan penggalian dan pemetaan situasi yang sedang dibicarakan, dan menghubungkan dengan fakta-fakta yang ada pada saat sesi)

3.    Rencana Aksi (Pengembangan ide atau alternatif solusi untuk rencana yang akan dibuat)

4.    TAnggungjawab (Membuat komitmen atas hasil yang dicapai dan untuk langkah selanjutnya)

Selain alur TIRTA dapat juga memakai alur GROW (Goal, Reality, OptionsWill) menggunakan percakapan perencanan,pemecahan masalah, berefleksi atau kalibrasi. Coach perlu mendengarkan coachee dengan RASA yaitu receive, appreciate, ask and summarize. Umpan balik berbasis coaching terdiri dari pertanyaan reflektif dan data valid. Supervisi akademik perlu menggunakan kaca mata dan topi seorang coach agar supervisi akademik menjadi proses berkelanjutan yang memberdayakan.

           Modul 3.1 Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-nilai Kebajikan sebagai Pemimpin       

Pada modul 3.1 kami belajar tentang materi Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-nilai Kebajikan sebagai Pemimpin seperti sekolah sebagai institusi moral, etiket, etika, bujukan moral dan dilema etika, pengujian benar atau salah, konsep pengambilan dan pengujian keputusan, dan lain-lain.

Sekolah adalah ‘institusi moral’ yang dirancang untuk membentuk karakter para warganya. Seorang pemimpin di sebuah institusi atau sekolah akan menghadapi situasi di mana pemimpin tersebut perlu mengambil suatu keputusan yang mengandung dilema secara etika, dan berkonflik di antara nilai-nilai kebajikan universal yang sama-sama benar. Seorang pemimpin hendaknya memahami nilai-nilai kebajikan yang tertuang dalam visi dan misi sekolah, berkepribadian serta berkinerja baik dalam melaksanakan tugas kepemimpinan, khususnya dalam mengambil suatu keputusan, hendaknya setiap keputusan yang diambil tersebut selaras dengan nilai-nilai kebajikan yang dijunjung tinggi oleh suatu institusi tersebut, yaitu bertanggung jawab dan berpihak pada murid.

Dalam menjalankan perannya, tentu seorang pemimpin di sekolah akan menghadapi berbagai situasi dimana ia harus mengambil suatu keputusan dimana ada nilai-nilai kebajikan universal yang sama-sama benar, namun saling bertentangan. Situasi seperti ini disebut sebagai sebuah dilema etika. Etika sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno, Ethikos yang berarti kewajiban moral. Sementara moral berasal dari bahasa Latin, mos jamaknya mores yang artinya sama dengan etika, yaitu, ‘adat kebiasaan’.

Moralitas sebagaimana dinyatakan oleh Bertens (2007, hal. 4) adalah keseluruhan asas maupun nilai yang berkenaan dengan baik atau buruk. Jadi moralitas merupakan asas-asas dalam perbuatan etik. Istilah lain yang mirip dengan etika, namun berlainan arti adalah etiket. Etiket berarti sopan santun. Setiap masyarakat memiliki norma sopan santun. Etiket suatu masyarakat dapat sama, dapat pula berbeda. Lain halnya dengan etika, yang lebih bersifat ‘universal’ etiket bersifat lokal (Rukiyanti, Purwastuti, Haryatmoko, 2018). Sedangkan Bujukan Moral yaitu situasi dimana seseorang harus membuat keputusan antara benar atau salah.

Prinsip etika yaitu:

1.      Berpikir berbasis hasil akhir (ended based thinking)

2.      Berpikir berbasis peraturan (rule-based thinking)

3.      Berpikir berbasis peduli (care-based thinking)

Pengujian benar atau salah yaitu:

a.       Uji Legal

b.      Uji Regulasi atau Standar Profesional

c.       Uji Intuisi

d.      Uji Publikasi

e.       Uji Panutan/Idola

Konsep Pengambilan dan Pengujian Keputusan yaitu:

1.      Mengenal nilai-nilai yang saling bertentangan.

2.      Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi.

3.      Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi

4.      Pengujian benar atau salah

5.      Pengujian paradigma benar lawan benar.

6.      Melakukan prinsip resolusi.

7.      Investigasi opsi trilemma.

8.      Buat keputusan.

9.      Lihat lagi keputusan dan refleksikan.

            Modul 3.2 Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya

Pada modul 3.2 ini kami belajar tentang pengembangan komunitas berbasis aset (Aset-Based Community Development/ ABCD). Selain itu kami juga belajar tentang sekolah sebagai ekosistem yang mana terjadi interaksi antar faktor biotik seperti murid, kepala sekolah, guru, staf, pengawas sekolah,orag tua, masyarakat, dinas dan pemda dengan faktor abiotik seperti keuangan, sarana/prasarana dan lingkungan alam. Kemudian kami masih belajar juga tentang paradigma inkuiri apresiatif yaitu upaya kolaboratif menemukan hal-hal positif di masa lalu,masa kini dan masa depan. Karakteristik komunitas yang sehat menurut Bank of I.D.E.A.S (2004) memiliki ciri:

1.      Menghargai keragaman

2.      Memperkuat koneksi warga

3.      membangun koneksi dan kolaborasi.

4.      Melihat kekuatan potensi.

5.      Menghasilkan kepemimpin

6.      Merangkul perubahan.

7.      Membentuk masa depan (visi komunitas) 

Ada 7 (tujuh) aset yang dimiliki sekolah diantaranya: modal manusia, modal sosial, modal politik, modal agama dan budaya,modal fisik,modal lingkungan dan modal finansial. (Green dan Haines (2016))

Sebagai sebuah komunitas, sekolah dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya sama seperti komunitas pada umumnya. Pemanfaatan sumber daya yang dimiliki sekolah dapat memanfaatkan konsep yang digunakan pada pendekatan pengembangan komunitas berbasis aset. Kita dapat meminjam kerangka dari Green dan Haines (2016), yang memetakan 7 aset utama, atau di dalam buku ini disebut sebagai modal utama. Tujuh modal utama ini merupakan salah satu alat yang dapat membantu menemukenali sumber daya yang menjadi aset sekolah. Dalam pemanfaatannya, ketujuh aset ini dapat saling beririsan satu sama lain. JIka diibaratkan sebagai sebuah ekosistem, sekolah adalah sebuah bentuk interaksi antara faktor biotik (unsur yang hidup) dan abiotik (unsur yang tidak hidup). Kedua unsur ini saling berinteraksi satu sama lainnya sehingga mampu menciptakan hubungan yang selaras dan harmonis. Dalam ekosistem sekolah, faktor-faktor biotik akan saling memengaruhi dan membutuhkan keterlibatan aktif satu sama lainnya.

Asset-Based Community Development (ABCD) yang selanjutnya akan kita sebut dengan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) merupakan suatu kerangka kerja yang dikembangkan oleh John McKnight dan Jody Kretzmann, di mana keduanya adalah pendiri dari ABCD Institute di Northwestern University, Amerika Serikat ABCD dibangun dari kemampuan, pengalaman, pengetahuan, dan hasrat yang dimiliki oleh anggota komunitas, kekuatan perkumpulan lokal, dan dukungan positif dari lembaga lokal untuk menciptakan kehidupan komunitas yang berkelanjutan (Kretzman, 2010).

Pendekatan berbasis aset ini juga digunakan sebagai dasar paradigma Inkuiri Apresiatif (IA) yang percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang dapat memberikan kontribusi pada keberhasilan. Inti positif ini merupakan potensi dan aset organisasi. Dalam implementasinya, IA dimulai dengan menggali hal-hal positif, keberhasilan yang telah dicapai dan kekuatan yang dimiliki organisasi, sebelum organisasi menapak pada tahap selanjutnya dalam melakukan perencanaan perubahan. Menurut Cooperrider & Whitney (2005). Inkuiri Apresiatif adalah suatu filosofi, landasan berpikir, yang berfokus pada upaya kolaboratif menemukan hal positif dalam diri seseorang, organisasi, dan dunia sekitarnya, baik dari masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Merekapun mengatakan bahwa saat ini kita hidup pada zaman yang membutuhkan mata yang dapat melihat dan mengungkap hal yang baik dan benar.

Pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) muncul sebagai kritik terhadap pendekatan konvensional atau tradisional yang menekankan pada masalah, kebutuhan, dan kekurangan yang ada pada suatu komunitas. Pendekatan tradisional tersebut menempatkan komunitas sebagai penerima bantuan, dan dengan demikian dapat menyebabkan anggota komunitas menjadi merasa tidak berdaya, pasif, dan selalu bergantung dengan pihak lainnya.

         Modul 3.3 Pengelolaan Program yang Berdampak Positif pada Murid

Pada Modul 3.3 Pengelolaan Program yang Berdampak Positif pada Murid, kami belajar tentang student agency (kepemimpinan murid) yaitu kemampuan murid untuk mengarahkan pembelajaran mereka sendiri, membuat pilihan-pilihan, berkontribusi pada komunitas belajar dan lain-lain. Kami juga belajar tentang 4 (empat) sifat inti dari human agency seperti intensi, visi,aksi dan refleksi. Kepemimpinan murid bukan bebas sepeenuhnya tetapi tetap membutuhkan bimbingan guru dan bukan berarti mengganti peran guru.  Kepemimpinan murid artinya murid memiliki voice, choice dan ownership. Cara mempromosikan ownership murid dapat dilakukan dengan: memosting ide siswa, memajang pekerjaan-pekerjaan di kelas, melakukan penilaian diri sendiri (self-assessment) dan lain-lain.
Landasan bagi visi sekolah adalah profil pelajar Pancasila (beriman, bertakwa dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong-royong,mandiri,bernalar kritis dan kreatif). Murid “berada” dalam lintas komunitas yaitu: keluarga, kelas/antar kelas,sekolah, sekitar sekolah dan komunitas yang lebih luas.  Selain yang tersebut diatas CGP juga belajar tentang Tri Sentra Pendidikan dan karakteristik lingkungan yang menumbuhkembangkan kepemimpinan murisd seperti: lingkungan yang melatih keterampilan yang dibutuhkan murid, lingkungan yang melatih murid untuk menerima dan memahamikekuatan diri,lingkungan yang menempatkan murid sedemikian rupa sehingga terlibat aktif dalam proses belajarnya sendiri,dan lain-lain.
          

    Jika kita mengacu pada OECD (2019:5), ‘kepemimpinan murid’ berkaitan dengan pengembangan identitas dan rasa memiliki. Ketika murid mengembangkan agency, mereka mengandalkan motivasi, harapan, efikasi diri, dan growth mindset (pemahaman bahwa kemampuan dan kecerdasan dapat dikembangkan) untuk menavigasi diri mereka menuju kesejahteraan lahir batin (wellbeing). Hal inilah yang kemudian memungkinkan mereka untuk bertindak dengan memiliki tujuan, yang membimbing mereka untuk berkembang di masyarakat. Konsep kepemimpinan murid sebenarnya berakar pada prinsip bahwa murid memiliki kemampuan dan keinginan untuk secara positif mempengaruhi kehidupan mereka sendiri dan dunia di sekitar mereka.

          Kepemimpinan murid dapat dilihat sebagai kapasitas untuk menetapkan tujuan, melakukan refleksi dan bertindak secara bertanggung jawab untuk menghasilkan perubahan. Kepemimpinan murid adalah tentang murid yang bertindak secara aktif, dan membuat keputusan serta pilihan yang bertanggung jawab, daripada hanya sekedar menerima apa yang ditentukan oleh orang lain. Ketika murid menunjukkan agency dalam pembelajaran mereka sendiri, yaitu ketika mereka berperan aktif dalam memutuskan apa dan bagaimana mereka akan belajar, maka mereka cenderung menunjukkan motivasi yang lebih besar untuk belajar dan lebih mampu menentukan tujuan belajar mereka sendiri. Lewat proses yang seperti ini, murid-murid akan secara alamiah mempelajari keterampilan belajar (belajar bagaimana belajar).

Melalui filosofi dan metafora “menumbuhkan padi”, Ki Hajar Dewantara mengingatkan kita bahwa dalam mewujudkan pembelajaran yang berpusat pada murid, kita harus secara sadar dan terencana membangun ekosistem yang mendukung pembelajaran murid sehingga mampu memekarkan mereka sesuai dengan kodratnya. Dengan demikian, saat kita merancang sebuah program/kegiatan pembelajaran di sekolah, baik itu intrakurikuler, ko-kurikuler, atau ekstrakurikuler, maka murid juga seharusnya menjadi pertimbangan utama.

Program/kegiatan intrakurikuler merupakan merupakan program/kegiatan utama sekolah yang dilakukan dengan menggunakan alokasi waktu yang telah ditentukan dalam struktur program sekolah. Program/Kegiatan ini dilakukan oleh guru dan murid dalam jam pelajaran setiap hari dan ditujukan untuk mencapai tujuan minimal dari setiap mata pelajaran dalam kurikulum. Sementara itu, program/kegiatan kokurikuler merupakan program/kegiatan yang dilaksanakan sebagai penguatan atau pendalaman kegiatan intrakurikuler. Program/kegiatan ini meliputi kegiatan pengayaan mata pelajaran, kegiatan ilmiah, pembimbingan seni dan budaya, dan/atau bentuk kegiatan lain yang dapat menguatkan karakter murid. Sedangkan program/kegiatan ekstrakurikuler adalah program/kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik di luar jam belajar kegiatan intrakurikuler dan kegiatan kokurikuler, di bawah bimbingan dan pengawasan sekolah, dan diselenggarakan dengan tujuan untuk mengembangkan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian, kerjasama, dan kemandirian murid.

Saat murid menjadi pemimpin dalam proses pembelajaran mereka sendiri (atau kita katakan: saat murid memiliki agency, maka mereka sebenarnya memiliki suara (voice), pilihan (choice), dan kepemilikan (ownership) dalam proses pembelajaran mereka. Lewat suara, pilihan, dan kepemilikan inilah murid kemudian mengembangkan kapasitas dirinya menjadi seorang pemilik bagi proses belajarnya sendiri.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sendiri, telah mengamanatkan tentang pentingnya kemitraan antara sekolah dengan orang tua dan masyarakat. Kemitraan ini disebut dengan “Tri Sentra Pendidikan”. Kemitraan tri sentra pendidikan adalah kerjasama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat yang berlandaskan pada asas gotong royong, kesamaan kedudukan, saling percaya, saling menghormati, dan kesediaan untuk berkorban dalam membangun ekosistem pendidikan yang menumbuhkan karakter dan budaya prestasi peserta didik. Melalui pemberdayaan, pendayagunaan, dan kolaborasi tri sentra pendidikan ini, maka keterlibatan yang bermakna dari orangtua dan anggota masyarakat dalam proses pembelajaran menjadi fokus yang perlu terus diupayakan oleh sekolah. Sebagai pusat dari proses pendidikan, murid ‘berada’ dalam lintas komunitas. Mereka dapat berada sekaligus pada:

a. komunitas keluarga (anggotanya dapat terdiri orang tua, kakak, adik, pengasuh, dsb)

b. komunitas kelas dan antar kelas (anggotanya dapat terdiri teman sesama murid, guru)

c. komunitas sekolah (anggotanya dapat terdiri dari kepala sekolah, pustakawan, penjaga sekolah, laboran, penjaga keamanan, tenaga kebersihan, petugas kantin, dsb)

d. komunitas sekitar sekolah (anggotanya dapat terdiri dari RT/RW, tokoh masyarakat setempat, puskesmas, tokoh agama setempat, dsb)

e. komunitas yang lebih luas. (anggotanya dapat terdiri dari organisasi masyarakat, dunia usaha, media, universitas, DPR, dsb)

Sebagaimana padi yang hanya akan tumbuh subur pada lingkungan yang sesuai, maka kepemimpinan murid pun akan tumbuh dengan lebih subur jika sekolah dapat menyediakan lingkungan yang cocok. Lingkungan yang menumbuhkembangkan kepemimpinan murid adalah lingkungan di mana guru, sekolah, orangtua, dan komunitas secara sadar mengembangkan wellbeing atau kesejahteraan diri murid-muridnya secara optimal. Menyadur apa yang disampaikan oleh Noble tersebut, maka lingkungan yang menumbuhkembangkan kepemimpinan murid akan memiliki beberapa karakteristik, di antaranya adalah:

1.      Lingkungan yang menyediakan kesempatan untuk murid menggunakan pola pikir positif dan merasakan emosi yang positif.

2.      Lingkungan yang mengembangkan keterampilan berinteraksi sosial secara positif, arif dan bijaksana, di mana murid akan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial positif yang berbasis pada nilai-nilai kebajikan yang dibangun oleh sekolah.

3.      Lingkungan yang melatih keterampilan yang dibutuhkan murid dalam proses pencapaian tujuan akademik maupun non-akademiknya.

4.      Lingkungan yang melatih murid untuk menerima dan memahami kekuatan diri, sesama, serta masyarakat dan lingkungan di sekitarnya.

5.      Lingkungan yang membuka wawasan murid agar dapat menentukan dan menindaklanjuti tujuan, harapan atau mimpi yang manfaat dan kebaikannya melampaui pemenuhan kepentingan individu, kelompok, maupun golongan.

6.      Lingkungan yang menempatkan murid sedemikian rupa sehingga terlibat aktif dalam proses belajarnya sendiri.

    7.      Lingkungan yang menumbuhkan daya lenting dan sikap tangguh murid untuk terus  bangkit di tengah kesempitan dan kesulitan.   

            Referensi:

Paket Modul Pendidikan Guru Penggerak,Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi