Navigation Menu

Belajar Efektif dalam Budaya Sekolah



Oleh : Yogyantoro
Penulis adalah Guru SMPN 4 Muara Teweh dan alumnus Universitas Negeri Malang

          Dunia pendidikan adalah dunia yang menantang dan mulia. Menantang karena pendidikan adalah penentu masa depan anak bangsa. Selain itu, pendidikan disebut mulia karena didalamnya terdapat upaya memanusiakan manusia. Pendidikan yang disandingkan dengan kebudayaan dalam nomenklaturnya ibarat seorang ibu yang sedang hamil. Ibu berharap sang bayi lahir sempurna, tanpa menyandang kecacatan. Namun, bila selama masa kehamilan seorang ibu mengalami kekurangan dalam asupan gizi, sentuhan kasih sayang, atau malah mengalami kekerasan dan pelecehan, maka bayi yang akan lahir kemungkinan besar akan memiliki cacat fisik bahkan mental.
            Pendidikan sepatutnya berada di garda terdepan dalam melahirkan generasi yang memiliki kecerdasan teknis dan kecerdasan sosial. Pendidikan jangan melahirkan generasi yang amoral, cacat sosial (socio-idot) yakni generasi yang tercerabut dari nilai kesantunan dan kesopanan serta tidak memiliki pati, simpati dan empati. Atau bahkan, pendidikan bisa jadi melahirkan generasi yang tidak memiliki kemampuan teknis (technical-idiot), serta generasi yang kehilangan daya kreativitas dan inovasi sehingga kehadirannya hanya akan menambah beban dan persoalan bangsa Indonesia.
            Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.A.P telah menyatakan bahwa sekolah 8 (delapan) jam sehari dalam rangka Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) pada tingkat SD (Sekolah Dasar ) diharapkan porsi terbesar yaitu 70 % adalah pendidikan karakter dan 30% adalah ilmu pengetahuan. Ini dilakukan untuk memperkokoh PPK, sekaligus mensukseskan Nawa Cita Pemerintahan Jokowi tentang revolusi mental. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa pendidikan kita khususnya di bangku SD memerlukan guru-guru yang memiliki kecerdasan relevansi yang luar biasa dalam mengajar. Guru harus mampu membangun jembatan (bridging element) antara tuntutan pengajaran yang berorentasi pada aspek tahu dan laku semata (knowing and doing) dengan sebanyak mungkin menyiram mereka dengan rasa tanggung jawab yang konstektual agar mental anak tumbuh dan berkembang menjadi anak yang berjiwa pemimpin dan berkarakter kuat.
            Prinsip yang menjadi kunci pertama yang harus dimiliki oleh guru SD khususnya,  adalah kemampuan membangun budaya sekolah yang baik dengan menerapkan teknik pembelajaran sebagai tanggung jawab bersama yang mudah untuk dievaluasi bersama-sama. Proses belajar dan mengajar dengan menggunakan teknik pembelajaran yang mampu mengeksplorasi potensi intelektualitas dan  interaksi sosial yang didasarkan atas nilai kasih sayang, saling menghormati, saling menghargai dan bukan justru kekerasan dan anarki yang menjadi budaya dan tradisi. Sekolah dasar sebagai tempat berlangsungnya kegiatan pembelajaran taraf dasar selama ini masih dipercaya sebagai pengembang nilai superioritas seseorang secara kapasitas intelektual, dimana ribuan teks dan buku diajarkan. Tidak mengherankan jika sampai saat ini masih banyak orang meletakkan harapan terhadap eksistensi sekolah dasar. Meskipun begitu, sekolah dasar khususnya kerap dikritik sebagai tempat atau karantina yang membelenggu kebebasan siswa dalam berekspresi (deschooling society) dan mengenal makna budaya sekolah.  Jika kebudayaan dikenalkan kepada siswa sejak di bangku sekolah dasar dalam sebuah rangkaian yang berkelindan, maka para siswa akan memahami dan memaknai budaya dalam spektrum yang luas, mozaik yang sangat indah, penuh warna dan nuansa.
            Budaya sekolah (school culture) adalah kata kunci yang acapkali tidak mendapatkan perhatian serius dari pengelola pendidikan kita. Budaya sekolah perlu dibangun berdasarkan kekuatan karakteristik budaya lokal masyarakat dimana sekolah itu berada. Hal ini akan membantu memperkaya local wisdom atau khazanah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada keunggulan muatan-muatan lokal. Budaya sekolah harus digalakkan karena sangat besar pengaruhnya untuk mencetak para pemimpin bangsa sekaligus menjadi kawah candradimuka lahirnya pemimpin-pemimpin yang tangguh dan berkarakter. Budaya sekolah sangat baik karena memiliki standar isi dan standar kompetensi yang jelas dalam kurikulum. Budaya sekolah akan membangunkan kembali guru-guru yang telah kehilangan ruh dan nilai-nilai kejujuran dan kedisiplinan dalam praktiknya di sekolah. Bukankah musuh utama pendidikan adalah ketidakjujuran dan ketidakdisiplinan? Oleh karena itu, budaya sekolah harus ditegakkan terlebih dahulu diatas kemampuan akademis siswa. 
            Budaya sekolah yang baik juga tercermin melalui hidden curriculum (keteladanan) dari guru-gurunya. Di mulai sejak  dini siswa-siswa di bangku SD diwajibkan untuk mengucapkan “terima kasih” kepada guru setiap selesai pelajaran. Membiasakan menggunakan kata”tolong” jika ingin meminta bantuan kepada guru atau teman. Mengucapkan “maaf” jika melakukan kesalahan kepada siapapun dan mengajarkan kata “selamat” sebagai bentuk rasa hormat (respect) kepada siapa saja.

Teknik Pembelajaran yang Efektif
            Kesadaran tentang pentingnya menerapkan teknik pembelajaran di bangku SD yang saling terjalin dan berhubungan erat dengan kondisi aktual saat ini menjadi sangat relevan dan itulah makna sebenarnya dari akuntabilitas pembelajaran. Dalam prinsip integrasi kurikulum, akuntabilitas dan relevansi memiliki keterkaitan satu sama lain. Keduanya memerlukan keterpautan instructional strategies sekaligus model assessment yang selaras. Siswa-siswa saat ini banyak mengalami degradasi moral  karena semakin jarang bersinggungan dengan kondisi di lingkungan sekitar atau local wisdom.
            Seringkali atas nama akuntabiltas, baik guru maupun otoritas pendidikan kita sangat  gencar dalam mengukur daan menilai kemampuan kognitif siswa melalui Ujian Akhir Sekolah (UAS) dan Ujian Nasional (UN). Sementara itu prinsip relevansi tak pernah diuji melalui sebuah proses yang menumbuhkann rasa empati, kepedulian dan toleransi siswa terhadap keberagaman atau kenyataan yang berlangsung disekitar mereka. Secara sistemik, kurikulum pendidikan kita mulai berubah dengan upaya penumbuhan perilaku anak yang lebih berkarakter, cinta damai dan pro-sosial. Teknik pembelajaran yang menunggang pada proses pembelajaran harus dilaksanakan seefektif mungkin dibangku sekolah dasar dengan menghindari pola-pola yang rigid dan miskin kreativitas. Sehingga, siswa tidak lemah terhadap gempuran informasi di era digital seperti saat ini dan kebal terhadap pengaruh budaya asing yang semakin kompleks.
            Beberapa teknik pembelajaran untuk melibatkan murid secara aktif dalam proses pembelajaran dapat dilakukan dengan cara kegiatan menulis bebas, permainan indoor atau outdoor, siklus belajar, curah gagasan, simulasi, kelompok kerja kooperatif, studi kasus, debat, diskusi berpasangan, laporan satu menit (post-test). Post-test memberikan kesempatan kepada siswa untuk mensintesiskan pengetahuannya dan menanyakan permasalahan yang belum dipahami. Teknik pembelajaran juga dapat dilakukan juga dengan  mini-lektur ( penyampaian materi harus singkat, tidak lebih dari 15 menit), jedah klarifikasi yang memungkinkan seorang guru berkeliling ruang kelas, sementara siswa mereview catatannya, hal ni memungkinkan siswa pemalu yang tidak pernah bertanya secara formal akan memanfaatkan jedah klarifikasi ini untuk bertanya ketika guru menghampirinya.
            Sebagian besar strategi pembelajaran aktif melibatkan kolaborasi dalam kelompok yang membentuk lingkungan belajar yang aman bagi pertumbuhan dan eksplorasi gagasan siswa. Berkenaan dengan kemampuan murid dalam berpikir dan menulis, teknik pembelajaran yang menekankan pada keaktifan siswa (student-centered) jauh mengungguli sistem pembelajaran tradisional yakni kuliah satu arah dari guru ( teacher-centered) karena kemampuan berpikir siswa dapat secara terus menerus diaktivasi dan kemampuan berpikir kritisnya dapat berkembang lebih kuat. McKeachie (1984) menandaskan bahwa 10 menit pertama, perhatian siswa dapat mencapai 70% dan berkurang sampai menjadi 20% pada waktu 20 menit terakhir. Ini adalah rahasia terbesar yang dapat mengungkapkan kenyataan mengapa siswa tidak dapat belajar optimal jika guru menyajikan menu pelajaran hanya dengan metode ceramah ( teacher-centered).

              Gambar, Dongeng, dan Bahasa
            Dalam based learning theory disebutkan bahwa otak kita ketika merespon gagasan, ide atau konsep selalu dalam bentuk gambar. Maka penting bagi guru untuk menggunakan media belajar dalam bentuk grafis, film, gambar dan metafora agar otak siswa menjadi terlatih dalam memahami, mengingat, dan sekaligus melakukan analisis terhadap suatu masalah. Proses belajar yang menggunakan media belajar yang tepat dan berkelanjutan akan dapat meningkatkan apa yang disebut oleh Howard Gardner sebagai kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Jika kita amati buku-buku pelajaran di sekolah memang kurang menarik. Bahkan isi buku untuk SD yang seharusnya berisi banyak gambar dan alur penyampaian yang ringan dan fun, diisi dengan ragam teori dan struktur kalimat yang se-level mahasiswa. Bahkan rata-rata anak SD di Indonesia harus menggendong tas yang berat karena beban buku yang harus dibawa ke sekolah setiap  hari.
            D. Zawawi Imran (2010) menguraikan dengan sangat menarik pendapat Lewis Caroll tentang dongeng sebagai “tanda kasih”. Berkisah dan mendongeng bagi guru SD khususnya sama dengan memberi hadiah tanda kepedulian dan keterbukaan. Dongeng mampu membuka hal-hal yang terselubung dalam benak siswa untuk lebih demokratis dan toleran. Dongeng atau cerita yang baik akan membangkitkan motivasi siswa untuk memiliki semangat berprestasi, kemauan untuk  tidak mudah menyerah dan kemauan untuk berkreasi. David McClelland dalam The Need for Achievement, menyimpulkan bahwa dongeng-dongeng yang berkembang di Inggris pada awal abad ke-16 mengandung semacam virus yang menyebabkan pendengarnya dijangkiti penyakit ingin berprestasi. Hal ini menyebabkan mengapa ekonomi Inggris tumbuh dengan sangat mengesankan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian.
Tugas guru adalah mengantarkan gagasan atau ide ke dalam benak siswa. Dengan menggunakan format seperti ini guru diyakinkan untuk dapat memasukkan dongeng ke dalam semua bentuk mata ajar dari  mulai kesenian, sains, matematika, bahasa dan ilmu sosial lainnya. Selain itu, hampir dapat dipastikan bahwa semua mata pelajaran dan pokok bahasan yang ada dan diajarkan dapat disisipi nilai-nilai Pancasila karena hampir semua mata pelajaran di sekolah memiliki karakteristik hybrid. Guru dapat mengintegrasikan proses pembelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan kedalam satu paket dan rangkaian yang dapat menimbulkan perasaan kebangsaan yang semakin matang. Pelajaran agama sendiri seharusnya diajarkan sebagai praktik dan bukan semata-mata hafalan materi. Pelajaran agama adalah proses menumbuhkan sikap dan perilaku yang baik, toleran ditengah fakta keberagaman dan pro-sosial.
Menurut beberapa Pusat Penelitian Bahasa dan Kebudayaan di beberapa universitas, bahasa sebagai alat komunikasi dan juga bahasa pengantar di sekolah membawa dampak yang serius terhadap keberhasilan dan prestasi siswa ke depan. Kita akan mahfum apa yang terjadi dengan pelajaran berbahasa di SD. Hasil ujian bahasa Indonesia siswa di pedesaan dan perkotaan sangat mencolok perbedaannya. Para guru pengajar bahasa Indonesia di sekolah-sekolah perdesaan tetap menggunakan bahasa daerah sebagai pengantar proses belajar- mengajar. Sudah saatnya guru bahasa Indonesia melakukan proses  transisi berbahasa menuju bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Dengan demikian diharapkan kemampuan artikulatif siswa dalam berbahasa bisa meningkat.
Sebelum menentukan teknik pembelajaran yang akan digunakan, seorang guru harus menentukan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan kapasitas dan kemampuan siswa (objectives dan lesson design), memperbaiki sistem pengelolaan pembelajaran yang berkelanjutan dan efisien, serta membuat rangkaian sistem monitoring dan evaluasi pembelajaran yang efektif dan komprehensif. Evaluasi dan assessment merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dari proses pembelajaran. Proses pendidikan  yang benar seharusnya melihat bakat dan kecedasan siswa dari aspek yang tidak tunggal. Perlu adanya kombinasi antara proses pembelajaran dan proses penilaian.
            Pemanfaatan penilaian bukan sekadar mengetahui pencapaian hasil belajar, justru yang lebih penting adalah bagaimana penilaian mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam proses belajar. Penilaian dapat dilaksanakan  melalui tiga pendekatan yaitu: assessment of learning (penilaian akhir pembelajaran), assessment for learning (penilaian untuk pembelajaran), dan assessment as learning (penilaian sebagai pembelajaran). Selama  ini assessment of learning  paling dominan dilakukan oleh guru dibandingkan assessment for learning dan assessment as learning. Penilaian pencapaian hasil belajar seharusnya lebih mengutamakan assessment as learning dan assessment for learning dibandingkan dengan assessment of learning. Mutu yang baik adalah konsekuensi logis dari proses yang baik. Sehingga mutu yang baik dicapai dengan menjamin prosesnya, bukan dengan mengendalikan hasilnya. Mekanisme pengembangan mutu harus mengacu pada konsep jaminan mutu (quality assurance), bukan kendali mutu (quality control). Artinya guru harus menekankan teknik pembelajaran yang menekankan segi proses dan bukan segi hasil atau pencapaian belaka.
            Akhirnya, mengutip apa yang dikatakan Plutarch, seorang pengikut Socrates. “The mind is not a vessel to be filled out but a fire to be ignited”.  Pikiran manusia bukanlah bejana yang harus diisi  penuh tetapi api yang harus dikobarkan. Ruang kelas yang demokratis adalah tempat terbaik untuk mengobarkan dan menyemai virtue (kebajikan), kepemimpinan dan ilmu pengetahuan. Ruang kelas yang demokratis biasanya dicirikan oleh adanya kesadaan guru akan keunikan masing-masing siswanya. Siswa juga dengan leluasa mengedepankan prinsip untuk selalu bertanya kepada setiap orang sehingga membuka banyak peluang bagi seseorang untuk menjadi seorang otodidak (street smart) atau biasa disebut dengan teknik belajar abad 21 versi Ohmae. Teknik belajar seperti ini biasanya mengandalkan kemauan, keuletan dan kegigihan seseorang untuk belajar dan membangun basis hubungan yang luas dengan siapa saja (network). Teknik belajar ini memungkinkan seseorang menjadi seorang pemimpin yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi dan berkarakter.
                                                                                                               

           

***

0 comments: