Navigation Menu

Tan Malaka, Sisi Kemilau Guru Revolusioner dalam Album Berdebu

Foto     : cdn.jaringnews.com

Tan Malaka, lahir di kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat pada 2 Juni 1897 adalah tokoh revolusioner yang legendaris  dan seorang pejuang militan nasionalis Indonesia yang  telah melahirkan banyak pemikiran berbobot. Nama lengkapnya adalah Sutan Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Ayahnya bernama HM. Rasad adalah seorang karyawan pertanian dan ibunya, Rangkayo Sinah adalah putri orang yang disegani di desanya. Ia tinggal di surau, senang mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat sejak usia 5 (lima) tahun. Ia juga pandai bermain sepak bola. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam di Sumatera Barat.
Pada tahun 1908, ia masuk sekolah Kweekschool (Sekolah Guru Negara) dengan GH Horensma sebagai salah satu gurunya. Menurut GH Horensma, ia adalah murid yang cerdas. Pengetahuannya tentang revolusi meningkat setelah membaca buku de Fransche Revolutie dari GH Horensma. Pada tahun 1913, ia meninggalkan desanya untuk belajar di Belanda yaitu di Rijkskweekschool ( Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah) dengan bantuan dana oleh para engku dari desanya.  
Tahun 1919 Tan Malaka kembali ke desanya. Ia menerima tawaran dari Dr.C.W Jansen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Ia mulai mengajar anak-anak itu berbahasa Melayu. Selama masa ini, ia mengamati dan memahami penderitaan serta keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatera. Disela-sela waktu mengajarnya ia juga menulis untuk media massa. Salah satu karyanya adalah “Tanah Orang Miskin”, yang menceritakan tentang perbedaan mencolok dalam hal kekayaan antara kaum kapitalis dan pekerja. Ia juga menulis mengenai penderitaan para kuli kebun teh di Sumatera Post.
Kiprah dan kontribusi Tan Malaka di bidang pendidikan di Indonesia sungguh besar. Baginya, tujuan pendidikan adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan. Tan Malaka banyak mendirikan sekolah salah satunya untuk anak-anak anggota Sarekat Islam agar mengenal membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, bahasa Jawa, Melayu, Belanda dan lain-lain. Cendekiawan Minangkabau ini mulau terjun ke kancah politik pada tahun 1921 setelah ia pergi ke Semarang.
Tan Malaka adalah tokoh Indonesia yang sangat frontal menentang antikolonialisme di Hindia Belanda, bahkan sebelum Soekarno dan Hatta. Ia dikenal sebagai seorang aktivis yang militan dan radikal dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme Belanda. Ia pun dijuluki sebagai Patjar Merah Indonesia. Pada tahun 1925 Tan Malaka menyusun sebuah gagasan  masa depan bagi Hindia Belanda yang dia bukukan dengan judul “ Naar de ‘Republiek Indonesia” atau Menuju Republik Indonesia. Ini merupakan buku pertama yang menyebut frase Republik Indonesia. Buku inilah yang menginspirasi Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Nasution dan kawan-kawan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bahkan Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya menyatakan bahwa Tan Malaka adalah Bapak Republik Indonesia dan oleh beberapa kalangan ia dianggap sebagai The True Founding Father of Indonesia. 
Karya terpenting lain dari Tan Malaka adalah Madilog. Madilog adalah singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika. Dalam Madilog, ia menyatakan bahwa bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti meskipun belum dapat diterangkan secara rasional dan logika. Tan Malaka dalan Madilog-nya juga menyatakan bahwa bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan tidak pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali. Pemikiran Tan Malaka tentang pendidikan begitu jauh kedepan. Melalui karyanya ini ia juga menyorot tentang kelemahan terbesar sebagian besar rakyat Indonesia pada masa itu yang cenderung belum terbiasa berpikir kritis, tidak logis dan rasional.
Sementara itu karya besar seorang Tan Malaka berikutnya adalah Gerpolek yaitu Gerilya, Politik dan Ekonomi yang meliputi bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran yang ia tulis pada saat kondisi Republik Indonesia begitu genting akibat perjanjian Linggarjati tahun 1947 dan Renville tahun 1948. Setelah mengevaluasi situasi yang amat memprihatinkan bagi bangsa Indonesia tersebut, Tan Malaka merintis pembentukan partai Murba pada 7 November 1948 di Yogyakarta.
Pidato Tan Malaka yang terkenal adalah: “ Hari ini aku masih melihat bahwa kemerdekaan hanyalah milik kaum elit, bukan milik rakyat. Merdeka haruslah 100 persen. Aku akan tetap berjuang untuk merdeka. Barang siapa yang menghendaki kemerdekaan buat umum, maka ia harus sedia dan ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaan dirinya sendiri”. Karena perjuangannya yang sangat frontal melawan Belanda dan tidak pernah kapok berjuang untuk rakyat Hindia Belanda selama 30 ( tiga puluh) tahun maka ia menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia. Senantiasa terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutunya. Puluhan tahun di penjara dan  dibuang dari satu negara ke negara lain tak pernah membuat jera Tan Malaka untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Tan Malaka kembali ke Indonesia pada tahun 1942 dan kembali berjuang menentang kolonialisme hingga tahun 1949.
Tan Malaka ditembak mati tanggal 21 Februari 1949 di Kediri, Jawa Timur. Tidak ada satupun pihak yang tahu pasti dimana makam Tan Malaka dan siapa yang menangkapnya dan menembak mati dirinya. Rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat dalam beberapa kali pemberontakan. Sejak era Orde Baru (1966-1998), keberadaanya seperti dihapus dalam sejarah Indonesia dan hampir tidak pernah dibahas dalam pelajaran sejarah dari tingkat SD sampai SMA bahkan sampai dengan sekarang.
Tokoh besar Indonesia yang terlupakan ini, berjuang sendirian untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan dengan alasan karena perhatiannya yang terlalu besar untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka hidup membujang hingga akhir hayatnya. Beberapa novelis menjadikannya sebagai tokoh utama dalam novel atau roman mereka. Keputusan Presiden RI No.53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional.


0 comments: