Navigation Menu

The Truest Love: Sebuah Kado Berpita Mozaik Cinta Sang Bidadari


Oleh: Yogyantoro




            Jika engkau ingin aku menunjukkan satu kekuatan terbesar di alam ini, dengan senang hati aku akan mengatakan: the greatest power in the universe is our mother. Aku masih bisa berdiri tegak hingga saat ini, itu adalah bukti kekuatan dari seorang ibu. Figur yang sangat aku sayangi dan cintai. Begitu juga engkau, dear reader, engkau adalah bukti kekuatan ibumu. Aku mengakui, ketika aku melihat ibu, aku melihat cinta paling murni (the purest love) yang tidak pernah aku sadari. Seorang ibu adalah sahabat sejati yang kita miliki. Selalu ada riwayat atau sejarah dibalik cerita atau kisah apapun. Di belakang semua cerita-cerita indahmu akan selalu ada lukisan seorang ibu karena beliau adalah tempat dimana awal kita mulai berlabuh mengarungi sebuah kehidupan. Ya, ibu adalah dimana kita memulai segalanya.
            Beruntunglah engkau jika masih memiliki seorang ibu. Believe it or not? Tak ada orang yang hidupnya miskin selama masih memiliki seorang ibu yang sholehah di sampingnya. Kasih sayang ibuku bagaikan kemilau abadi permata dan serpihan matahari yang senantiasa menghangatkan jiwaku. Cahaya dari putih jiwanya tak pernah sekalipun pudar. Aku akan menggambarkan bahwa ibuku adalah benar-benar bidadari tak bersayap yang hadir mewarnai hidupku di tengah-tengah mayapada yang luas ini. She is really my confidant. She is my teacher as well. Aku selalu menghubungkan semua kesuksesanku dalam hidup ini berkat pendidikan moral dari ibuku. Rabuk atau pupuk yang telah ditabur oleh beliau telah menumbuhsuburkan diriku ini sebagai pribadi yang sehat secara jasmani dan rohani. Intelektualitas yang saat ini aku miliki adalah warisan dari ibu.
            Sosok terhebat di dunia ini adalah ibu. Tak ada yang mampu menggantikan. Ibu merupakan figur yang paling setia menyayangi kita tanpa syarat. Beliau merupakan orang yang pertama kali bersedih saat aku sakit. Beliau juga yang paling banyak melantunkan doa-doa yang indah untukku. Bulir-bulir air mata beliau yang menetes adalah obat paling ampuh untuk kesembuhanku manakala aku sakit. Tak ada dokter atau perawat terbaik untukku selain seorang ibu dengan mozaik cintanya yang bertebaran bagai ribuan bintang di langit, yang tak akan mungkin engkau menghitungnya. Disaat aku menemukan kebahagiaan atau kesuksesan, ibu adalah orang pertama yang paling bahagia.
            Ibu mengandungku selama sekitar 270 hari atau 6.480 jam. Selama itu ibu membawaku kemanapun beliau pergi dengan menggendong beban sekitar 3,5 kg. Lalu merawat dan membesarkanku dari aku masih bayi, memberiku ASI (Air Susu Ibu) dengan gratis dan ikhlas, merelakan saat nyeyaknya melayang demi menjagaku di malam hari dari gigitan nyamuk pencuri darah dan always ready menggantikan popok setiap saat. Dengan demikian, ibu adalah orang yang paling banyak memelukku. Ibu adalah perpanjangan kasih sayang Tuhan Yang Maha Agung kepadaku.
            Kasih dan sayang ibu adalah barisan kenangan yang panjang  membentang yang tak pernah lekang dimakan zaman. Bahkan, aku tidak tahu mengapa makanan yang selalu ibu sajikan untukku pun selalu memberi kenangan. Masakan ibu khususnya masakan yang kebanyakan orang lain mampu memasaknya juga, entah itu sayur lodeh, sayur bening, ayam goreng rica-rica atau daging bumbu rujak, semua telah membawa memori rasa yang pasti, tak mungkin  mati. Khas rasa pengundang selera dan bulu perindu. Melekat kuat dalam memori dan selalu mengganggu untuk tidak rindu, lalu ingin kembali menikmati.
            Dongeng-dongeng yang dibacakan oleh ibu sebelum tidurku telah melelapkanku kedalam mimpi-mimpi yang penuh makna. Terkenang kembali kisah-kisah negeri Arab yang terkemuka dengan cerita Seribu Satu Malam dan Tembang Perburuan karya Abu Nawas dan dongeng-dongeng binatang atau fabel lainnya. Dongeng-dongeng yang memberi moral value dalam memandang hidup dari sudut pandang yang menurutku sastrawi. Semua telah melukis hidupku sehingga aku menjadi pecinta sastra. Bagiku, ibuku adalah sastrawati.  Sastrawan atau sastrawati identik dengan budi pekerti. Aku merasa belum seperti itu. Aku bukan sastrawan. Tapi aku akan terus belajar dengan menjadi pecinta sastra. Dan ibuku telah mengajarkan banyak sekali ajaran budi pekerti yang adi luhung melalui dongeng-dongeng beliau saat aku masih kecil.
Kirpal Singh pernah mengatakan bahwa sastra mampu mendongkrak olah rasa dan pemikiran seseorang sehingga bisa berkembang ke arah yang lebih baik. Literature is our linguistic heritage and a powerful resource which our school and universities don’t give enough credence to. Namun, ibuku telah mengajarkan kepadaku sejak dini. Tentu kita tidak menutup mata dan telinga bahwa saat ini kita telah dibanjiri banyak sekali grup band dan lagu-lagu dangdut yang mengangkat lirik dengan bahasa yang kurang bermuatan sastra atau mengabaikan norma sastra di syair-syair mereka. Aku yang saat ini mendapat amanah sebagai seorang guru di sekolah formal artinya sebagai civitas academica tentu merasa ikut bertanggung jawab untuk menumbuhkan kecintaan terhadap karya sastra dengan sepenuh hati. Agar aku bisa menyebarkan virus anti kekerasan seperti yang telah dicontohkan oleh bidadariku, ibu. Ibuku telah memberi bekal yang sangat berharga kepadaku melalui dongeng-dongeng atau sastra-sastra beliau. Ibu bagaikan aksara-aksara yang indah yang mengajarkan banyak hal. Tentang kebahagiaan, perjuangan dan kesabaran.
            Ibu adalah bidadari pemilik surga. Nabi umat Islam menempatkan ibu di atas singgasana yang sangat istimewa. Nabi Muhammad SAW memiliki cinta yang besar terhadap sosok ibu. Aku pun akan selalu belajar meneladani sikap beliau. Tak pernah lelah belajar mencintai ibu dengan penuh hormat, anggun, sabar, penuh rasa syukur dan perhatian , baik secara verbal maupun fisik. Love her  honorably. Love her gratefully. Selalu terpatri dalam hati sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Mutafaq’alaih ketika sahabat bertanya: “Ya, Rasulullah. Siapa yang paling berhak memperoleh pelayanan dan persahabatanku?” Nabi menjawab: “Ibumu...Ibumu...Ibumu..., kemudian ayahmu dan kemudian yang lebih dekat kepadamu.”
            Tulisan ini aku persembahkan untuk ibu yang tanpa beliau,  hidupku akan kehilangan denyut nadi. Jasa-jasanya yang tak ternilai oleh uang. Ibu yang telah beranjak senja namun hatinya tetap besar, jiwanya tetap kuat, tabah dan senantiasa bermurah hati seperti matahari. Terima kasih ibu, engkau telah membuka hatiku, membangunkan kesadaranku dan memperluas horizon cara berpikirku. Untuk wanitaku yang paling cantik di dunia yang telah membuatku tetap berdiri tegak menghadapi angkuhnya dunia. Aku akan tetap melihat energi-energimu sepanjang waktu. Tak berlalu waktu tanpa kemilaumu yang abadi. Jejakmu akan selalu membekas dihati. Aku tahu, hadiah terbaik untukmu adalah menjadi sayapmu. Bersama-sama menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Semoga terwujud suatu saat nanti.


***

0 comments: