Foto: http://kanalsatu.com/images/20140901-215737_67.jpeg |
Butet Manurung yang memiliki nama
lengkap Saur Marlina Manurung lahir di Jakarta pada 21 Februari 1972 dari
seorang ibu bernama Tiur Samosir. Ayahnya yang bernama Victor Manurung berasal
dari keluarga miskin di dekat danau Samosir, namun berkat perjuangannya kini
menempati posisi tinggi di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Perempuan
berdarah Batak tersebut merupakan sulung dari empat bersaudara. Saat masih
kecil mengikuti ayahnya tinggal di Belgia dan Belanda selama 4 (empat) tahun.
Butet Manurung sangat dekat dengan ayahnya. Saat kecil, ia bercit-cita ingin
menjadi dokter di Papua karena ingin mengabdikan hidupnya untuk menolong orang.
Ia sangat cinta pada olah raga karate, suka menulis puisi dan cerpen. Ia juga berhasil memenangkan berbagai
perlombaan lari jarak dekat tingkat provinsi di DKI Jakarta.
Setelah lulus dari SMA Negeri 14
Jakarta, Butet Manurung berkuliah di jurusan Antropologi Universitas Padjajaran
dan lulus tahun 1998. Selain itu ia juga mengambil jurusan Sastra Indonesia di
kampus yang sama dan berhasil lulus pada tahun 2002. Sedangkan gelar Magister
Antropologi Terapan berhasil diraihnya di Universitas Nasional Australia,
Australia.
Berawal dari sebuah iklan dari LSM (
Lembaga Swadaya Masyarakat) WARSI ( Komunitas Konservasi Indonesia) di harian
Kompas yang berbunyi; “ Dicari fasilitator pendidikan alternatif bagi suku asli
Orang Rimba, Jambi.”, Butet Manurung merasa terketuk untuk memenuhi panggilan
jiwanya. Perempuan penerima “Woman of The
Year” tahun 2001 di bidang pendidikan oleh televisi swasta, Anteve tersebut
akhirnya berjuang mewujudkan impiannya menjalani profesi sebagai guru di hutan
pedalaman. Sejak September 1999 sampai Mei 2000, ia berputar keluar masuk hutan
dan terus menerus ditolak dan diusir (Kompas, 2005:39).
Perintis pendidikan bagi masyarakat
terasing dan terpencil di Indonesia ini berhasil memulai sekolah rintisannya
yang pertama di Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Butet Manurung pantang
menyerah untuk meyakinkan masyarakat Orang Rimba ( Suku Kubu) yang mendiami
daerah seluas sekitar 60.000 hektar hutan hujan tropis di dataran Sumatera
tersebut. Sekolah rintisannya diberi nama Sokola Rimba berdiri 2004. Sokola
adalah sebuah sekolah untuk anak-anak pedalaman yang didirikan bersama
teman-temannya. Sokola-nya hanya berbentuk dangau ( gubuk atau rumah kecil di
sawah atau ladang) tak berdinding dan
bersifat nomaden. Slogan dari Sokola Rimba adalah “Sokola literasi dan advokasi
untuk komunitas adat di Indonesia.”. Misi yang diembannya pun sangatlah
‘sederhana’ yaitu mengentaskan buta huruf bagi anak-anak Orang Rimba.
Butet Manurung berusaha menolong
ketidakberdayaan Orang Rimba yang tidak bisa membaca dan menulis dengan
mengajari mereka membaca, menulis, dan berhitung. Ia juga menerapkan pola
pendidikan Advance yaitu pengetahuan
tentang lingkungan dan dunia luar seperti bagaimana cara berinteraksi dengan
dunia luar, melakukan proses jual beli di pasar, membaca akta perjanjian, dan
mengakses hak-hak sebagai warga negara seperti puskesmas atau rumah sakit. Kini mereka sudah bisa
mengupayakan diri melalui jejaringnya untuk melakukan dengar pendapat dengan
DPR.
Butet Manurung menerapkan pola
pengajaran dengan mengenalkan huruf per huruf berdasarkan bentuk dan cara
mengejanya. Metode pengajaran ini membawanya mendapatkan anugerah “ The Man and Biosphere Award” dari
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan , dan Kebudayaan (LIPI UNESCO). Ia tidak sungkan untuk berbaur seperti
layaknya anak-anak rimba, berpakaian yang sama, makan makanan yang sama,
mengikuti gaya hidup di hutan , pandai memanjat pohon, bermain di sungai,
membuat jerat binatang dan lain-lain.
Ilmu yang diajarkan oleh Butet
Manurung tidak sekedar teori belaka atau bersifat teoritis, namun lebih banyak
yang bersifat aplikatif, sehingga benar-benar terasa kebermanfaatannya bagi
Orang Rimba. Ia juga menyelenggarakan
banyak pelatihan yang disebut “Memahami Komunitas” agar masyarakat
menjadi mandiri dan mampu bergerak di luar masyarakat adat. Selain itu
masyarakatpun bisa memahami pendidikan yang konstektual supaya dapat membantu
masyarakat adat sesuai kehidupan mereka. Menurut Butet Manurung, salah satu
kelemahan orang-orang Indonesia sekarang adalah keinginannya untuk selalu kerja
kantoran setelah lulus sekolah. Hampir tidak ada yang ingin menjadi petani atau
berkebun. Padahal yang terpenting adalah menjaga kekuatan dan kekayaan
setempat. Indonesia telah kehilangan banyak sekali keragaman tanaman, binatang
langka, kekayaan intelektual orang setempat, bahasa ibu, ilmu meracik obat atau
rempah-rempah dan pola pertanian padi warisan nenek moyang Indonesia.
Kini, sokola Butet Manurung sudah
menyebar di 10 (sepuluh) daerah di
Indonesia diantaranya Jambi, Aceh, Pulau Besar dan Gunung Egon, Klaten,
Halmahera, Makassar, Bulukumba, Bantul , Garut dan bahkan suku Agats di
pedalaman Asmat sudah tersentuh oleh tangan dingin Butet Manurung. Butet
Manurung meluncurkan novel berjudul “Sokola Rimba: Pengalaman Belajar Bersama
Orang Rimba” yang berasal dari catatan hariannya. Novel tersebut kemudian
diterbitkan dalam bahasa Inggris “The
Jungle School”. Profit hasil
penjualan bukunya merupakan salah satu sumber pendanaan sokola-nya. Pada tahun 2013, Sokola Rimba diangkat menjadi
sebuah film yang disutradarai oleh Riri Reza dari Miles Production.
Butet Manurung adalah pecinta hutan yang
humanis dan menjadi contoh pekerja LSM yang bisa mengatasi dilema antara jiwa
untuk melakukan pendampingan dan tuntutan materi. Sosok wanita yang visioner
terutama di bidang pendidikan. Merupakan salah satu pahlawan pendidikan di era
modern seperti sekarang ini karena telah mendedikasikan hidupnya untuk
pendidikan dan kini menjadi tokoh yang dibahas di dunia Internasional. Ia
mendapat anugerah Hero of Asia 2004
versi majalah Time. Ia juga masuk
kedalam jajaran perempuan paling berpengaruh di Indonesia versi majalah Globe Asia
edisi Oktober 2007 bersama Megawati Soekarno Putri, Presiden RI ke-5
(2011-2014) dan Yenny Wahid, Ketua Partai Kebangkitan Bangsa. Sebagai perintis
dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat pedalaman, ia memperoleh
penghargaan Ramon Magsaysay di Filipina tahun 2014. Penghargaan ini setara
dengan hadiah nobel di Asia.
Biografi ini penulis tutup dengan kalimat penutup: “ Sekuno
apapun manusia peninggalan pra-sejarah, kita harus menyadari bahwa mereka tetap
bagian dari keluarga besar bangsa Indonesia” (Butet Manurung).
0 comments: