(The Quintessence of Education)
Oleh: Yogyantoro
Penulis adalah guru SMPN 4 Muara Teweh,
alumnus Universitas Negeri Malang
Penulis adalah guru SMPN 4 Muara Teweh,
alumnus Universitas Negeri Malang
“ Tuhan, aku merindukan ayah dan ibuku/ Aku hanya punya seorang kakak yang selalu menjagaku/ Aku ingin selalu bersamanya/ Jangan pisahkan kami Tuhan”.
Foto : www.wowkeren.com |
Sebuah film drama keluarga yang diadaptasi dari novel karya Agnes Danovar, dan digarap oleh seorang director, Fajar Bustomi. Film yang dirilis pada 25 Juni 2017 yang lalu dengan running time (durasi) 127 menit ini mengetengahkan kezaliman endemik di ibukota yang mengeksplorasi perspektif anak jalanan dengan menampilkan suatu sindikat yang memanfaatkan anak-anak terlantar menjadi mesin uang. Skenario film tentang pengorbanan sang kakak, Anton (diperankan oleh Bima Azriel) yang bertahan hidup sebagai anak jalanan dan perjuangan seorang adik, Angel (diperankan oleh Izzati Khanza) yang berusaha untuk menemukan kembali masa lalunya yaitu seorang kakak yang dulu selalu menjaganya, setelah guratan nasib secara tragis memisahkan mereka berdua ini ditulis oleh scriptwriter, Upi Avianto. Angel dewasa yang diperankan oleh Bunga Citra Lestari kemudian berhasil menjadi sarjana hukum di Australia dan bertunangan dengan Martin, seorang kardiolog yang diperankan begitu kharismatik oleh Joe Taslim. Menggarap rentang waktu yang panjang, tokoh-tokoh yang sudah lama berpisah bertemu lagi.
Surat Kecil Untuk Tuhan versi 2017 diproduksi oleh Falcon Pictures selaku rumah produksi dengan didukung para pemain yang turut berperan yaitu Teuku Rifnu Wikana, Lukman Sardi, Maudy Kusnaedi, Aura Kasih dan Ben Joshua. Tahun 2011 buku pertama Agnes Donovar telah diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama bercerita tentang seorang gadis yang berjuang melawan kanker ganas di wajahnya. Latar belakang anak jalanan kini menjadi obyek satire dalam film ini yaitu tentang masalah sosial yang menimpa mereka. Latar belakang anak jalanan yang diangkat keluarga di Australia ini memang mirip dengan film Lion (2017), film peraih nominasi Oscar. Bedanya adalah Surat Kecil untuk Tuhan telah terjebak pada sentimentalisme yang berkepanjangan. Film ini akhirnya juga kurang otentik dengan gagasan-gagasan yang baru. Namun mengangkat gagasan brillian berdasarkan ilham dari salah satu masalah besar bangsa Indonesia patut mendapatkan apresiasi two thumbs. Gagasan tentang eksploitasi anak, perdagangan anak dibawah umur, dan organ tubuh illegal memang seharusnya diangkat ke permukaan dan di blow-up oleh berbagai media.
Film ini telah begitu peka menunjukkan proyeksi dari sekian banyak anak-anak terlantar sebagai sebuah gejala sosial yang paling rawan. Meskipun rada berlebihan, melodrama di dalamnya bisa menjadi sangat instrumental dalam memancing kesadaran. Sayup-sayup film ini diinsinuasikan kepada negara kita sekarang. Di negara kita segala sesuatu telah diatur oleh undang-undang. Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Satu hal yang kasat mata adalah masih banyaknya anak-anak mengamen, mengasong, mengemis bahkan mencopet di sepanjang jalan, terminal, lampu merah, kolong-kolong jembatan dan hampir seluruh persendian ibukota.
Memang sangat tematis bahwa kehidupan anak-anak jalanan itu begitu destruktif dan nilai-nilai moral menjadi luntur. Kosmos tentang kehidupan anak jalanan ditampilkan dengan utuh sampai pada adegan anak kecil yang dibedah hidup-hidup off screen dan kita bisa melihat reaksi orang dewasa yang muntah menyaksikan crime thriller yang membuat merinding bulu kuduk. Sayangnya crime thriller dan adegan-adegan kekerasan yang membumbui keseluruhan tone film yang terkesan cengeng tersebut tidak dibarengi dengan gelegar megah musik motivasional yang menegarkan dan menguatkan seperti dalam film Lion. Adegan anak-anak yang menangis dibawah guyuran air hujan dan color grading yang monoton mendung di awal kisah juga terkesan klise dan kurang kreatif dalam memetik heartstring kita. Sebuah pendekatan yang biasa muncul dalam cerita-cerita sinetron. Tone yang diolah seharusnya menjadikan film ini drama yang secara natural memberikan ruang untuk thought-provoking. Alih-alih film ini telah menjadi begitu emosional.
Pada dasarnya film ini tidak hiper-realisme. Fajar Bustomi selaku sineas dan nahkoda film mampu menyiasati kependekan ruang film dengan mengambil adegan-adegan singkat tetapi lugas yang justru berdaya kuat menonjolkan hakiki. Landscape pengambilan gambarnya menjangkau hal-hal terkecil. Jika penyisipan cityscape dan timelapse tidak terlalu over akan membuat film ini makin stunning secara visual. Menerjemahkan novel ke dalam film memang bukan pekerjaan mudah. Novel bisa dengan leluasa memperkenalkan tokoh-tokohnya. Sedangkan film terbatas oleh running time. Penyingkapan karakter antagonisnya misalnya, seharusnya dapat dilakukan dengan lebih efisien. Sosok Om Rudy sebagai pemimpin sindikat anak jalanan yang diperankan oleh Lukman Sardi, dengan beberapa shoot saja seharusnya bisa menyingkap sosoknya dan pergeseran state of mind antagonisnya. Samar namun memberi isyarat-isyarat yang pasti maka terjadilah semacam penelanjangan diri pada tokoh tersebut. Film ini kemudian menyerupai style sinetron-sinetron Indonesia bahwa yang jahat menjadi benar-benar jahat dan yang baik menjadi benar-benar baik. Terlalu hitam putih dan porsi drama yang terlalu di-amplify menjadikan film ini kurang natural.
Di balik kelemahan penggunaan bahasa Angel dewasa (Bunga Citra Lestari) yang kurang men-develop accent Australian-English dan penggunaan bahasa hukum yang kaku sebagai seorang sarjana hukum yang besar di Australia atau lantaran film Indonesia yang cukup sulit menemukan aktor anak kecil yang mampu bermain dengan meyakinkan, dan juga akhir cerita yang mudah ditebak karena banyaknya clue-clue yang tersusun sistematis, film ini telah mengajarkan kepada kita tentang tentang the quintessence of education yang telah dikumandangkan oleh Bapak-bapak pakar pendidikan di masa lalu seperti Ki Hajar Dewantoro, Sigmund Freud, Engkoe Mohammad Syafei, Han Feizi dan Machiavelli. Meskipun kita layaknya pelari yang tidak mengenal medan dan terseok-seok kehabisan tenaga tapi kita harus tetap berjuang menuju garis finish. Surat Kecil untuk Tuhan baik versi 2011 dan 2017 ini membangunkan kembali 4 (empat) esensi pendidikan yaitu penguasaan kemampuan akademik dasar, kemampuan unik tiap individu, self help problem solving dan tetap survive in relationship with fellow humans and nature. Angel dan Anton dalam film ini menjadi refleksi orang yang mampu survive menghadapi kenyataan hidup yang mendera mereka.
Music scoring berupa paduan suara Purwacaraka yang menyayikan lagu-lagu anak diiringi dengan orkestra yang begitu gagah dan chemistry solid serta subtil antara Ningsih yang diperankan oleh Aura Kasih dan Rifnu Wikana sebagai Asep telah menjadi scene stealer tersendiri. Soundtrack film yang sungguh grande ditambah lagu backsound yang menyentuh dan kritik sosial yang terbungkus apik menjadikan film ini layak ditonton. Namun jangan lupa tetap mendampingi anak-anak Anda menonton film ini karena banyak adegan kekerasan di paruh pertama film.
Film ini telah begitu peka menunjukkan proyeksi dari sekian banyak anak-anak terlantar sebagai sebuah gejala sosial yang paling rawan. Meskipun rada berlebihan, melodrama di dalamnya bisa menjadi sangat instrumental dalam memancing kesadaran. Sayup-sayup film ini diinsinuasikan kepada negara kita sekarang. Di negara kita segala sesuatu telah diatur oleh undang-undang. Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Satu hal yang kasat mata adalah masih banyaknya anak-anak mengamen, mengasong, mengemis bahkan mencopet di sepanjang jalan, terminal, lampu merah, kolong-kolong jembatan dan hampir seluruh persendian ibukota.
Memang sangat tematis bahwa kehidupan anak-anak jalanan itu begitu destruktif dan nilai-nilai moral menjadi luntur. Kosmos tentang kehidupan anak jalanan ditampilkan dengan utuh sampai pada adegan anak kecil yang dibedah hidup-hidup off screen dan kita bisa melihat reaksi orang dewasa yang muntah menyaksikan crime thriller yang membuat merinding bulu kuduk. Sayangnya crime thriller dan adegan-adegan kekerasan yang membumbui keseluruhan tone film yang terkesan cengeng tersebut tidak dibarengi dengan gelegar megah musik motivasional yang menegarkan dan menguatkan seperti dalam film Lion. Adegan anak-anak yang menangis dibawah guyuran air hujan dan color grading yang monoton mendung di awal kisah juga terkesan klise dan kurang kreatif dalam memetik heartstring kita. Sebuah pendekatan yang biasa muncul dalam cerita-cerita sinetron. Tone yang diolah seharusnya menjadikan film ini drama yang secara natural memberikan ruang untuk thought-provoking. Alih-alih film ini telah menjadi begitu emosional.
Pada dasarnya film ini tidak hiper-realisme. Fajar Bustomi selaku sineas dan nahkoda film mampu menyiasati kependekan ruang film dengan mengambil adegan-adegan singkat tetapi lugas yang justru berdaya kuat menonjolkan hakiki. Landscape pengambilan gambarnya menjangkau hal-hal terkecil. Jika penyisipan cityscape dan timelapse tidak terlalu over akan membuat film ini makin stunning secara visual. Menerjemahkan novel ke dalam film memang bukan pekerjaan mudah. Novel bisa dengan leluasa memperkenalkan tokoh-tokohnya. Sedangkan film terbatas oleh running time. Penyingkapan karakter antagonisnya misalnya, seharusnya dapat dilakukan dengan lebih efisien. Sosok Om Rudy sebagai pemimpin sindikat anak jalanan yang diperankan oleh Lukman Sardi, dengan beberapa shoot saja seharusnya bisa menyingkap sosoknya dan pergeseran state of mind antagonisnya. Samar namun memberi isyarat-isyarat yang pasti maka terjadilah semacam penelanjangan diri pada tokoh tersebut. Film ini kemudian menyerupai style sinetron-sinetron Indonesia bahwa yang jahat menjadi benar-benar jahat dan yang baik menjadi benar-benar baik. Terlalu hitam putih dan porsi drama yang terlalu di-amplify menjadikan film ini kurang natural.
Di balik kelemahan penggunaan bahasa Angel dewasa (Bunga Citra Lestari) yang kurang men-develop accent Australian-English dan penggunaan bahasa hukum yang kaku sebagai seorang sarjana hukum yang besar di Australia atau lantaran film Indonesia yang cukup sulit menemukan aktor anak kecil yang mampu bermain dengan meyakinkan, dan juga akhir cerita yang mudah ditebak karena banyaknya clue-clue yang tersusun sistematis, film ini telah mengajarkan kepada kita tentang tentang the quintessence of education yang telah dikumandangkan oleh Bapak-bapak pakar pendidikan di masa lalu seperti Ki Hajar Dewantoro, Sigmund Freud, Engkoe Mohammad Syafei, Han Feizi dan Machiavelli. Meskipun kita layaknya pelari yang tidak mengenal medan dan terseok-seok kehabisan tenaga tapi kita harus tetap berjuang menuju garis finish. Surat Kecil untuk Tuhan baik versi 2011 dan 2017 ini membangunkan kembali 4 (empat) esensi pendidikan yaitu penguasaan kemampuan akademik dasar, kemampuan unik tiap individu, self help problem solving dan tetap survive in relationship with fellow humans and nature. Angel dan Anton dalam film ini menjadi refleksi orang yang mampu survive menghadapi kenyataan hidup yang mendera mereka.
Music scoring berupa paduan suara Purwacaraka yang menyayikan lagu-lagu anak diiringi dengan orkestra yang begitu gagah dan chemistry solid serta subtil antara Ningsih yang diperankan oleh Aura Kasih dan Rifnu Wikana sebagai Asep telah menjadi scene stealer tersendiri. Soundtrack film yang sungguh grande ditambah lagu backsound yang menyentuh dan kritik sosial yang terbungkus apik menjadikan film ini layak ditonton. Namun jangan lupa tetap mendampingi anak-anak Anda menonton film ini karena banyak adegan kekerasan di paruh pertama film.
***
0 comments: