Navigation Menu

Stop Keluarga Broken Home untuk Pendidikan Era Kekinian



Oleh: Yogyantoro
       Penulis adalah Guru SMPN 4 Muara Teweh, alumni Universitas Negeri Malang dan sedang menyelesaikan pendidikan Pascasarjana di Universitas Islam Malang


Foto : Telegraph.co.uk
            
Istilah keluarga dan pendidikan ibarat dua sisi mata uang yang tidak mungkin bisa dipisahkan. Dimana ada keluarga maka disitu pasti ada pendidikan. Oleh karena itu muncullah istilah pendidikan keluarga. Akan tetapi menilik kondisi banyak keluarga yang ada di Indonesia saat ini sungguh memprihatinkan. Temuan dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama (Kemenag) mendapatkan kasus perceraian di Indonesia meningkat sebanyak 59-80 persen pada tahun 2010-2015. Cukup tragis jika kita membaca data yang dikeluarkan oleh Kemenag bahwa rata-rata angka perceraian di Indonesia mencapai 40 kasus setiap jamnya. Selama kurun waktu dua tahun saja yaitu dari 2012 sampai 2013, jumlah kasus perceraian di Indonesia mencapai angka 350.000 kasus. Belum lagi jika kita berbicara soal Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), angka menunjukkan bahwa pada tahun 2013 KDRT mencapai 11.719 kasus. Angka yang sangat mencengangkan.



Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, siapkah keluarga-keluarga di Indonesia menyemai benih-benih calon pemimpin Indonesia di masa depan? Orang tua dalam hal ini ayah atau ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Dalam keluarga yang broken home tentu sering ditemukan seorang anak yang kehilangan panutan dan keteladanan. Ketenangan, kenyamanan dan keteduhan yang sangat dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak akan menjadi suatu hal yang langka. Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dan kekurangharmonisan dalam keluarga mengakibatkan kondisi psikis seorang anak terganggu. 



Keluarga merupakan wadah pertama dimana sifat-sifat kepribadian anak tumbuh dan terbentuk. Orang tua dan keluarga membawa implikasi langsung yang kuat terhadap perkembangan kompetensi sosial dan kemampuan belajar anak. Hasil dari PISA 2012 (Programme for International Student Assessment) yaitu program penilaian pelajar internasional menunjukkan bahwa siswa yang dibesarkan oleh single parent mendapatkan nilai rata-rata 4,5 dibawah siswa yang berasal dari keluarga yang orang tuanya lengkap. Sementara itu hasil terbaru evaluasi PISA 2015 menempatkan perfoma siswa-siswi dari Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini menyiratkan kekhawatiran terhadap kemampuan daya saing kita pada masa yang akan datang.

Untuk meningkatkan perfoma siswa-siswi Indonesia bukan hanya tanggung jawab para pendidik, guru, manajemen sekolah atau pemerintah saja, akan tetapi juga merupakan tantangan bagi orang tua dalam keluarga sebagai pondasinya. Bagaimana pendidikan kita bisa maju sedangkan kondisi pondasinya saja rapuh. Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang tertua dan kawah candradimuka pertama bagi anak dimana sifat-sifat kepribadian anak terbentuk. Dari keluargalah dimulai suatu proses pendidikan. Sebagai orang tua kita harus memiliki kualitas yang memadai dan membekali diri dengan ilmu tentang pola pengasuhan yang baik dalam membesarkan anak-anak kita. 


Peran penting dari keluarga adalah menanamkan self-confidence (kepercayaan diri), menghilangkan perasaan cemas, memberikan semangat dan motivasi atau dorongan positif terhadap anak. Pengaruh-pengaruh positif melalui keteladanan dan internalisasi nilai-nilai yang baik agar anak dapat termotivasi untuk memiliki keberanian dan kemampuan menyelesaikamn masalah, mengambil resiko, bertanggungjawab dan memupuk semangat untuk berprestasi dan mempertahankan cita-citanya. 


Peran keluarga terutama untuk anak-anak usia dini sungguh sangat berharga. Sareh Siswo Setyo Wibowo, mahasiswa Pascasarjana IAIN Purwokerto dalam opininya yang berjudul Orang Tua Pendidik Utama Anak https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4522 menyatakan bahwa sesungguhnya tugas pendidikan anak ada di pundak orang tua. Orang tua dapat melibatkan diri dalam dunia anak dengan bermain bersama, memberikan dukungan dan pujian baik secara langsung atau melalui bahasa tubuh kita, berbagi pengalaman bersama dengan meluangkan waktu mendengarkan cerita anak kita dan aktif menanyakan kejadian-kejadian yang dialami anak pada hari itu. Orang tua juga harus siap menjadi pendamping yang baik bagi anak misalnya dalam hal membantu mengerjakan Pekerjaan Rumah (PR), mengatasi masalah-masalah akademis dan pada saat anak-anak menggunakan internet atau menonton tayangan televisi. 


Saat ini televisi telah menjadi jujugan favorit anak-anak kita. Televisi telah menjangkau lebih dari 90 persen penduduk di negara berkembang. Anak-anak bisa menghabiskan waktu sampai 35 jam per minggunya hanya untuk memonton televisi. Tayangannya pun dinilai semakin tidak mendidik. Banyak sekali tayangan sinetron yang mengandung muatan kekerasan, gaya hidup kebarat-baratan, hedonisme dan menampilkan keburukan akhlak yang bisa membangun naluri kekerasan yang terpendam pada setiap jiwa manusia. Tayangan televisi yang mendidik masih sangat sedikit. Ironisnya, yang terkontaminasi tayangan tidak mendidik ditayangkan pada jam tayang prime time yang kurang tepat bagi anak, yaitu antara pukul 15.00 sampai 21.00. 


Tanpa adanya pendampingan (direction control and guidance) dari orang tua, tayangan yang tidak mendidik akan meracuni otak anak-anak. Sudah menjadi kecenderungan anak-anak bahwa mereka selalu ingin tahu dan ingin meniru perilaku orang dewasa dan ingin diterima di dalam masyarakat. Ini persoalannya menjadi lain jika anak-anak kemudian meniru adegan-adegan yang sangat tidak sesuai dengan budaya ketimuran dan bertentangan dengan norma-norma pendidikan budi pekerti. Tayangan televisi mampu mendorong peniruan perilaku sosial bahkan pada tahap akhir akan menciptakan hiperealitas.


Keluarga memainkan peranan yang penting disini untuk berani mengajak anak-anak untuk tidak menonton televisi mulai menjelang magrib sampai usai isyak. Melindungi dan memberi arahan dari serangan tayangan yang destruktif adalah bagian dari pendidikan keluarga. Kesadaran orang tua sangat diperlukan untuk mendampingi dan mengawasi anak-anak ketika menonton televisi agar anak-anak dapat menjadi generasi intelek yang melek media. Orang tua dalam keluarga harus mampu menilai mutu suatu tayangan dengan akurat. Anak-anak perlu diarahkan untuk mencari tayangan yang bersifat edukatif yang mampu menambah wawasan dan pengetahuan. Adalah tugas orang tua untuk lebih mengembangkan potensi mereka melalui kegiatan-kegiatan yang lebih positif seperti membaca koran, majalah atau buku-buku berkualitas serta membekali dengan ketrampilan. Jadi, peranan keluarga dalam pendidikan anak adalah dapat menjadi sahabat, pemandu sorak (penyemangat) maupun guru bagi anak-anak di rumah


Sebuah jajak pendapat yang diselenggarakan oleh Kompas pada 22 -24 April 2015 menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menyadari pentingnya peran orang tua dalam pendidikan anak. Pengumpulan pendapat ini dilakukan terhadap 326 responden yang di dalam keluarganya terdapat anak usia sekolah. Tidak kurang dari 85 persen manjawab bahwa orang tua dan keluarga memiliki peran paling penting dalam proses pendidikan anak. Hanya 15 persen responden yang menganggap bahwa peran ini ada ditangan guru dan lingkungan sekolah. Sementara itu tidak kurang dari 60 persen responden yang mengaku mengalokasikan anggaran khusus untuk meningkatkan kemampuan anak, seperti les tambahan untuk mata pelajaran sekolah, agama maupun hobi.


Mayoritas orang tua murid ( 74 persen) yang terjaring dalam jajak pendapat ini mengaku tidak mengetahui pola pelajaran atau kurikulum yang diterapkan di sekolah. Hal ini mnggambarkan interaksi aktif antara orang tua dan sekolah masih sangat kurang. Hampir separuh responden ( 45 persen) mengaku berkomunikasi dengan gurunya hanya satu atau dua kali dalam setahun, yaitu pada akhir semester atau pada awal tahun ajaran baru.


Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru terkait peran keluarga dalam pendidikan anak. Selain upaya memperbaiki kurikulum pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 11 tahun 2015 tentang Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluaraga. Direktorat baru ini diharapkan mampu mendorong proses peningkatan prestasi belajar siswa, pendidikan karakter dan pendidikan kecakapan hidup. Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga memuliki program penanganan kenakalan remaja, perilaku perundungan (bullying), dan perilaku-perilaku yang destruktif lainnya. Program-program tersebut tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan peran aktif orang tua kandung dari siswa tetapi juga orang dewasa atau wali yang bertanggungjawab terhadap pendidikan anak.


Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan kita pernah menyatakan bahwa keluarga, satuan pendidikan dan masyarakat adalah tri sentra pendidikan. Oleh karena itu, kemitraan yang baik diantara ketiganya yang dilandasi semangat gotong-royong dapat mendukung terciptanya ekosistem pendidikan yang menumbuhkan karakter dan budaya prestasi. Seberapa sering orang tua atau wali aktif berkomunikasi dengan pihak sekolah untuk mengetahui perkembangan anak didik adalah satu keniscayaan. Angka keberhasilan akan semakin tinggi jika terjalin kemitraan antara orang tua dengan sekolah, antara orang tua dengan organisasi profesi atau tenaga kependidikan, dan antara orang tua dengan dewan pendidikan, asalkan orang tua tetap bersikap sesuai dengan porsinya dan tetap memantau setiap perkembangan pendidikan anak serta tidak melepaskan tanggungjawabnya. Jangan sampai peran orang tua atau wali yang diwakili oleh komite sekolah hanya sebagai stempel untuk pengajuan atau persetujuan anggaran dana BOS ( Bantuan Operasional Sekolah) saja.


Akhirnya, penulis sependapat dengan Benyamin White tentang peran keluarga dalam pembentukan pola berpikir seseorang. Dari riset tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara proses sosialisasi dan pendidikan dalam keluarga dengan pola berpikir dan moral seseorang (moral thought). Menjaga keutuhan rumah tangga berarti memberi ruang yang baik untuk pendidikan anak dalam keluarga. Jika kita abai terhadap eksistensi keluarga sebagai penyemai pendidikan yang pertama, kegagalan di dunia pendidikan akan meledak dalam bom waktu. #sahabatkeluarga


***

1 komentar: