Sebagai bagian dari bangsa Indonesia kita perlu
berefleksi terhadap fenomena mengkhawatirkan saat ini yaitu merejalelanya kejahatan
siber. Saya sebagai pendidik mencoba berefleksi menggunakan pola BAGJA yaitu: pertama,
saya memulai dengan buat
pertanyaan (define)
bagaimana kejahatan siber seperti social engineering (Soceng) dengan
barbar memanfaatkan teknologi berbasis komputer ataupun telekomunikasi mampu
memanipulasi psikologi korban dan membocorkan data pribadi dan data perbankan
korban. Kedua, ambil
pelajaran (discover)
bahwa kita memerlukan sebuah wadah komunitas dengan visi yang mengusung gerakan
#NasabahBijak untuk menumbuhkan literasi khususnya literasi finansial atau
keuangan dan memperbaiki tingkat pemahaman literasi digital kepada masyarakat
Indonesia. Hal tersebut kita lakukan dengan hand-in-hand menggali mimpi (dream) demi mewujudkan Indonesia
bebas Soceng dan seluruh masyarakat Indonesia dapat menjadi nasabah bijak.
Gambar 1: Pendidik Peduli Hoaks sebagai Penyuluh Digital mengajak kita semua menjadi #NasabahBaik |
Mengembangkan Literasi adalah Tanggung Jawab Pendidik
Meningkatan
kualitas pendidikan yang saat ini menjadi prioritas, baik oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah memang merupakan salah satu tanggung jawab seorang
guru. Salah satu komponen yang menjadi fokus perhatian adalah peningkatan minat
baca. Dewasa ini, buku belum menjadi kebutuhan karena literasi masyarakat juga
belum meningkat. Sehingga salah satu penyakit masa kini yang berkembang di
masyarakat adalah ketidakmampuan menganalisis dan memfilter apakah sebuah
informasi fakta atau hoaks.
Seorang pemerhati literasi, Maman Suherman mengatakan bahwa kita berada di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam minat baca. Survei minat baca dunia menunjukkan perbandingan buku dengan manusia di Indonesia adalah 1: 1.000. Bandingkan dengan negara tetangga, Singapura dengan perbandingan 2:1. Sungguh jauh tertinggal. Melalui GLN kita mampu bersama-sama meningkatkan literasi warga negara dalam menghadapi era globalisasi dengan tantangan-tantangan yang menggunung. Lewat buku siapapun akan tergerak, terinspirasi, terakselerasi dan berubah kehidupannya. Menanamkan 6 (enam) kemampuan literasi dasar yaitu literasi bahasa dan sastra, literasi sains, literasi TIK ( Teknologi Informasi dan Komunikasi), literasi keuangan (finansial), literasi numerasi dan literasi budaya dan kewarganegaraan akan menjadi penjaga gawang lapisan utama bagi diri kita dalam menghadapi pendidikan abad 21.
Anti Hoaks Sang Pendidik, Memberi Makna Indonesia
Media sosial
yang menjadi sasaran empuk media penyebar informasi akhir-akhir ini acapkali
tidak menyertakan konfirmasi atas kebenaran faktanya alias bohong atau hoaks.
Hoaks yang kini menjadi tren secara tidak langsung telah memproklamirkan diri
sebagai musuh terbesar pengguna internet dan jejaring sosial. Begitu mudahnya
hoaks atau informasi bohong disebarluaskan (shareability)
di media sosial telah menjadi persoalan tersendiri bagi para pengguna, generasi
penerus bangsa, pendidik Indonesia dan pemerintah. Kita sadari bersama, sejalan
dengan pertumbuhan transaksi digital ternyata berbanding lurus dengan semakin
meningkatnya fraud digital.
Tanggung
jawab pendidik atau guru di Indonesia khususnya adalah mencetak manusia-manusia
the thinker yaitu manusia yang
belajar melihat setiap peristiwa tidak sebagai sebuah ketunggalan dalam ruang
hampa. Menciptakan manusia yang tidak mudah termakan oleh informasi yang picik,
sepihak, sempit, dan sepenggal melalui cara yaitu menghidupkan literasi.
Pendidik
masa kini dituntut untuk mampu melakukan pengawasan dan menumbuhkan wawasan
terhadap peserta didik sebagai upaya menangkal hoaks. Guru berkolaborasi dengan
orang tua wali dan masyarakat dapat membatasi siswa-siswa dalam menggunakan
gawai (gadget) dan mengontrol
aktivitas mereka di media sosial. Siswa-siswa kita adalah generasi millennial
yaitu generasi yang lahir pada era 1980-an hingga 2000-an merupakan generasi
yang dinilai paling rentan “termakan” oleh berita bohong atau hoaks.
Tentu akan
menjadi hal yang sangat disayangkan jika negara kita Indonesia yang seharusnya
mampu menikmati “bonus” demografi pada 2030 nanti, malah dipenuhi oleh
orang-orang yang tidak cerdas dalam bermedia sosial di tengah kecanggihan
teknologi komputer dan telekomunikasi. Guru atau pendidik dapat menjalin
kemitraan dengan orang tua wali dalam hal ini keluarga peserta didik, satuan
pendidikan dan masyarakat sebagai tri sentra pendidikan untuk bersama-sama
mendukung gerakan Masyarakat Indonesia Anti Hoaks melalui edukasi literasi. Apabila dilandasi semangat gotong-royong dan
saling bahu-membahu maka dapat dipastikan akan terciptanya ekosistem pendidikan
yang menumbuhkan karakter dan budaya prestasi. Memang untuk bisa membendung
serbuan hoaks diperlukan strategi dari semua pihak mulai dari komunitas, tokoh
masyarakat atau agama, lembaga atau institusi (korporasi), pemerintah dan
media. Dalam hal ini guru dapat berperan sebagai katalisator dari semua pihak
untuk bergerak atas nama pendidik untuk membumikan edukasi literasi.
Bapak pendiri bangsa (founding father), Bung Karno telah mengumandangkan seruan tentang budaya literasi bangsa. Guru yang notabene berada di garda terdepan dalam upaya mencerdaskan bangsa memikul tanggung jawab untuk menanamkan minat baca atau budaya literasi dari bangku-bangku sekolah. Saat ini banyak peserta didik yang lebih percaya pada berita di media sosial daripada media arus utama seperti koran atau majalah. Lebih dari 43.000 media tersebar di seluruh Indonesia, tetapi hanya kurang dari 5.000 media dan situs daring yang tercatat resmi dengan akurasi yang kredibel. Literasi media sejak dini bagi peserta didik adalah harga mati dan inilah yang akan memberi makna bagi Indonesia.
Baca Koran Dulu 15 Menit
Program Baca
Koran Dulu 15 Menit sebagai
upaya untuk menumbuhkan minat baca dapat dilakukan dengan mengajak peserta
didik membaca buku bersama-sama di aula, lapangan, dan taman-taman sekolah.
Membaca dilakukan secara maraton atau biasa disebut dengan readathon. Selain itu, penulis sebagai guru menerapkan 15 (lima
belas) menit membaca koran atau surat kabar sebelum pelajaran. Program membaca
buku non-pelajaran 15 menit ini merupakan program GLS (Gerakan Literasi
Sekolah). Di Jepang program 10 (sepuluh)
menit membaca di awal pelajaran telah dilaksanakan sekitar 35 (tiga puluh lima)
tahun yang lalu atau sekitar era 1980 –an. Sekarang kita bisa menyaksikan
kemajuan negara Jepang yang begitu melesat jauh meninggalkan Indonesia.
Ketika
anak-anak mau membaca koran atau surat kabar pagi, rata-rata mereka kemudian
banyak mengetahui informasi-informasi aktual di sekitar mereka dan terinspirasi
dengan kehidupan nyata orang-orang yang ada dalam berita. Wawasan mereka pun
akan semakin terbuka luas. Horizon dan cakrawala berpikir mereka juga semakin
lebar dan tidak seperti katak dalam tempurung. Mereka tergerak untuk menjadi
seperti sosok idola atau figur inspiratif yang ada di dalam koran yang mereka
baca dan akan meneladani sikap-sikap dan kiprah serta perjuangan mereka.
Sebaliknya mereka akan mengambil pelajaran terhadap orang-orang yang terjerat
kasus, bernasib kurang baik atau peristiwa-peristiwa yang penuh hikmah. Program
ini bisa menjadikan mereka lebih mampu untuk menganalisis dan memfilter apakah
sebuah berita fakta atau hoaks (berita bohong).
Baca Koran
Dulu 15 Menit
dapat menjawab masalah keterlambatan siswa-siswa dalam membaca dan memahami
teks yang masih tergolong rendah dibawah standar minimal seperti yang kita
bersama ketahui dari EGRA (Early Grade
Reading Assessment) (Laporan hasil pengukuran dan upaya peningkatan literasi
dan numerasi Program Pintar Tanoto Foundation,
23 September 2019). Sekolah yang aktif memfasilitasi siswa-siswa untuk
membaca rata-rata kecepatan membaca siswa lebih cepat daripada yang tidak ada
kegiatan membaca di dalamnya. Dua ratus kata per menit (kpm) adalah kecepatan
baca rata-rata anak sekolah sekolah dasar. Siswa-siswa yang telah duduk di
bangku SMP meskipun berada di pedalaman dapat mencapai target untuk memiliki
kecepatan membaca yang lebih dari itu.
Dengan menggalakkan program ini di sekolah, kita ikut mendukung GLS (Gerakan Literasi Sekolah). GLS akan menjadi mesin penggerak suksesnya GLN (Gerakan Literasi Nasional) yang hadir di garda terdepan sebagai pemberantas maraknya hoaks. Menjamurnya konten di media sosial yang sarat dengan berita bohong atau hoaks, ujaran kebencian atau SARA serta radikalisme dan terorisme menuntut pencegahan atau tindakan preventif melalui literasi sebagai benteng paling imun terhadap serbuan hoaks atau lebih spesifik misalnya dapat menangkal manipulasi psikologi dari pelaku untuk mendapatkan data rahasia korban.
Gambar 2: Siap menjadi Penyuluh Digital, Menuju Indonesia Bebas Soceng |
Menghidupkan Taman Bacaan Masyarakat dengan Cangkruk Literasi
Membaca adalah kunci belajar. Jika warga Indonesia
dapat membaca atau melek aksara fungsional, mereka akan menjadi pembelajar
sepanjang hayat yang otonom. Menghadapi era society 5.0 memiliki
kemampuan membaca (melek huruf) saja memang tidak cukup. Oleh karena itu, perlu dikembangkan pula
program literasi (melek informasi). Program keaksaraan atau melek huruf perlu
disinergikan dengan program literasi atau melek informasi agar lebih
bertuah. Gerakan pendidikan keaksaraan
yang telah berjalan lebih dari 7 (tujuh) tahun juga mengalami perkembangan
mulai dari konsep pemberantasan buta huruf sampai pengembangan literasi. Hal
ini bertujuan agar program keaksaraan bukan hanya sekadar menuntaskan buta
huruf tetapi juga memberantas buta informasi.
Pengembangan literasi dalam upaya memerangi buta
informasi dapat dilaksakan dari level individu. Pegiat literasi dapat memulai
dari tingkat rukun tetangga (RT), rukun warga (RW) dan desa. Terinspirasi dari
budaya cangkrukan (budaya di Jawa Timur) yaitu duduk santai dengan
kawan, tetua atau siapa saja tanpa memandang kasta dan hirarki, duduk sama
rendah berdiri sama tinggi sambil membincangkan hal-hal santai tentang hal-hal
remeh temeh, rasan-rasan atau malah debat kusir mencetuskan ide saya
agar cangkrukan dapat menjadi lebih berdampak positif. Inisiasi cangkruk
literasi lahir dan bisa memberi wadah pengembangan literasi dari tingkat desa.
Kegiatan cangkruk literasi dapat diisi dengan membacakan buku kepada para
penyandang buta aksara, penduduk berusia 45 tahun ke atas yang memiliki kendala
fisik dan daya ingat untuk belajar membaca atau anak-anak yang masih duduk di
bangku pendidikan anak usia dini (PAUD), bedah buku, mengapresiasi karya
sastra, menelaah gambar, mendiskusikan isu-isu hangat, coaching, atau
berbagi pendapat tentang permasalahan bersama bagi semua warga desa maupun anak
usia sekolah lainnya. Pendidikan
keaksaraan juga diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat
tinggi (high order thinking skills) atau berpikir kritis. Memberaksarakan warga berarti memberikan
“mata” bagi warga agar dapat membaca dunia kehidupan dan memainkan perannya
yang berguna bagi sesama di dunia.
Gambar 3: Saya bangga menjadi #NasabahBijak BRI |
Lewat cangkruk literasi yang dikembangkan di setiap
desa, satu desa satu cangkruk literasi, dapat dilanjutkan dengan pembentukan
komunitas literasi atau bahkan komunitas praktisi sehingga menjadi referensi
dan menginspirasi regulasi pemerintah daerah dan pembuatan kebijakan yang
berpihak pada pendidikan keaksaraan dan pengembangan literasi. Skema piramida
terbalik yang bergerak dari bottom-up line juga sukses dipakai dalam
program sekolah penggerak dan guru penggerak Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbud Ristek RI). Cangkruk literasi yang memberikan ruang diskusi tentang literasi baik literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi keuangan serta literasi budaya dan kewargaan di setiap desa dapat didampingi oleh
minimal satu pendamping atau ketua dari kalangan pendidik, mahasiswa, pegiat
literasi, praktisi pendidikan, mahasiswa, pakar literasi, tokoh literasi,
sastrawan, kaum profesional atau masyarakat umum yang ingin berdedikasi bagi
pendidikan keaksaraan dan pengembangan literasi.
Cangkruk literasi menggerakkan warga dari desa-desa
atau wilayah 3T (Terdepan Terpencil dan Tertinggal) untuk mengenyam pendidikan
pertama bagi masyarakat Indonesia yaitu pendidikan keaksaraan. Sejalan dengan
pendidikan keaksaraan yang dikembangkan oleh The United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yaitu pendidikan keaksaraan
untuk pemberdayaan masyarakat (literacy initiative for empowerment). Gerakan internasional ini menegaskan bahwa
setiap orang memiliki hak asasi untuk mendapatkan pendidikan keaksaraan. Setali
tiga uang dengan langkah Kemendikbud Ristek RI dalam upaya mensukseskan pendidikan
keaksaraan sebagai medium pengembang literasi dan pemberdayaan masyarakat
seperti melakukan inovasi pada pendidikan untuk buta aksara dan berfokus pada
daerah yang buta aksaranya masih tinggi.
Daerah terpencil dan sulit dijangkau menjadi kendala
pemerintah dalam memberantas buta aksara. Oleh karena itu cangkruk literasi di
setiap desa dapat dikembangkan untuk mengatasi kendala geografis seperti
desa-desa di keenam provinsi prioritas penangan buta huruf yaitu Papua, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat,
Kalimantan Barat serta desa-desa lain di Indonesia. Cangkruk
literasi dengan kegiatan seperti diskusi tentang isu-isu terkini seperti menghadapi gurita soceng hingga berbagai berbagai bentuk pembelajaran bagi penyandang buta aksara
berperan signifikan dalam mendorong masyarakat lebih cerdas dan dalam praktik kehidupan dapat menjadi nasabah bijak, bahkan ikut andil menyukseskan program multiaksara yang mendorong penderita buta
huruf tersebut agar mereka mau belajar dan tergerak mencintai membaca.
Target Kemendikbud Ristek RI akan menuai sukses dalam
menuntaskan buta aksara jika masyarakat mau bergerak dari level bawah mengusung
skema piramida terbalik. Setidaknya pada 2023 sudah tidak ada lagi wilayah
dengan tingkat buta aksara yang masih tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik
(BPS) 2020 menunjukkan bahwa tingkat buta huruf di Indonesia saat ini sebanyak
1,93 persen. Artinya, porsentase penduduk yang sudah tidak buta huruf sebesar
98,07 persen. Saiyeg saeka praya, saiyeg saeka kapti (kebulatan tekad
dengan semangat gotong-royong dan kolaborasi) setiap kita adalah pemimpin
pembelajaran yang dapat mengajarkan orang-orang terdekat di sekeliling kita
agar mereka bisa membaca atau kita dapat membacakan buku untuk mereka lewat
kegiatan yang berdampak positif yaitu cangkruk literasi yang dihidupkan menjadi
taman-taman pendidikan layaknya Taman Siswa. Buta aksara adalah sumber buta informasi dan "buta aksara" masa kini di era internet of things (revolusi industri 4.0) adalah jika tidak mampu menguasai informasi di tengah booming Artificial Intelligence (AI) yang kini diterapkan oleh perbankan.
Gambar 4: Tips Menghindari Soceng |
Akhirnya, penulis sebagai pendidik yakin dengan
mengembangkan praktik baik (best practice) literasi baik dari lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat,
generasi bangsa akan menjadi cerdas (digitally
literate) sehingga dapat berpikir analitis, evaluatif dan kritis dalam
menghadapi kejahatan siber perbankan yang marak saat ini dan masa depan yang
modusnya diprediksi akan semakin beraneka macam. Bahkan generasi bangsa yang melek digital
akan mampu berperan menjadi penyuluh digital yang dapat membuka horizon
berpikir masyarakat menghadapi berbagai jenis kejahatan siber perbankan yang menjalankan aksi dengan modus seperti
pretexting dan phising (mengelabuhi calon korban), pharming
(mengalihkan dari situs resmi ke situs palsu), vishing (melalukan modus
melalui sambungan telepon), sniffing (menyadap), spoofing (menggunakan
perangkat keras seperti mesin ATM palsu)
maupun baiting (memanfaatkan rasa penasaran calon korban). Saya, Anda, Kita, siap menjadi penyuluh digital. 💪😊🙏
Referensi:
Cnbcindonesia.com
Instagram
Bank BRI
Instagram
Nasabah Bijak
Instagram
OJK Indonesia
***
0 comments: