Navigation Menu

Pendidik Peduli Literasi demi Mewujudkan Generasi Bangsa Bebas Soceng dan Nasabah Bijak Indonesia


    Sebagai bagian dari bangsa Indonesia kita perlu berefleksi terhadap fenomena mengkhawatirkan saat ini yaitu merejalelanya kejahatan siber. Saya sebagai pendidik mencoba berefleksi menggunakan pola BAGJA yaitu: pertama, saya memulai dengan buat pertanyaan (define) bagaimana kejahatan siber seperti social engineering (Soceng) dengan barbar memanfaatkan teknologi berbasis komputer ataupun telekomunikasi mampu memanipulasi psikologi korban dan membocorkan data pribadi dan data perbankan korban. Kedua, ambil pelajaran (discover) bahwa kita memerlukan sebuah wadah komunitas dengan visi yang mengusung gerakan #NasabahBijak untuk menumbuhkan literasi khususnya literasi finansial atau keuangan dan memperbaiki tingkat pemahaman literasi digital kepada masyarakat Indonesia. Hal tersebut kita lakukan dengan hand-in-hand menggali mimpi (dream)  demi mewujudkan Indonesia bebas Soceng dan seluruh masyarakat Indonesia dapat menjadi nasabah bijak.

Gambar 1: Pendidik Peduli Hoaks sebagai Penyuluh Digital mengajak kita semua menjadi #NasabahBaik

         Selanjutnya saya sebagai pendidik dengan tugas pokok dan fungsi yang melekat pada saya dapat menjabarkan rencana (design) sebuah pembelajaran yang saya mulai dari ruang-ruang kelas yaitu mengembangkan literasi di kalangan peserta didik dan mensosialisasikan digital skill kepada rekan sejawat,orang tua/ wali murid dan masyarakat luas melalui berbagai forum dan komunitas praktisi. Terakhir saya mengatur eksekusi (deliver) dengan aksi nyata saya di bidang yang saya geluti dan dengan tulisan ini saya ingin menjadi bagian dari penyuluh digital bagi masyarakat Indonesia agar semakin tercerahkan dengan selalu sigap untuk menjadi #NasabahBijak khususnya Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang telah melayani dengan sepenuh hati masyarakat Indonesia. 

Mengembangkan Literasi adalah Tanggung Jawab Pendidik

          Meningkatan kualitas pendidikan yang saat ini menjadi prioritas, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memang merupakan salah satu tanggung jawab seorang guru. Salah satu komponen yang menjadi fokus perhatian adalah peningkatan minat baca. Dewasa ini, buku belum menjadi kebutuhan karena literasi masyarakat juga belum meningkat. Sehingga salah satu penyakit masa kini yang berkembang di masyarakat adalah ketidakmampuan menganalisis dan memfilter apakah sebuah informasi fakta atau hoaks. 

Seorang pemerhati literasi, Maman Suherman mengatakan bahwa kita berada di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam minat baca. Survei minat baca dunia menunjukkan perbandingan buku dengan manusia di Indonesia adalah 1: 1.000. Bandingkan dengan negara tetangga, Singapura dengan perbandingan 2:1. Sungguh jauh tertinggal. Melalui GLN kita mampu bersama-sama meningkatkan literasi warga negara dalam menghadapi era globalisasi dengan tantangan-tantangan yang menggunung. Lewat buku siapapun akan tergerak, terinspirasi, terakselerasi dan berubah kehidupannya. Menanamkan 6 (enam) kemampuan literasi dasar  yaitu literasi bahasa dan sastra, literasi sains, literasi TIK ( Teknologi Informasi dan Komunikasi), literasi keuangan (finansial), literasi numerasi dan literasi budaya dan kewarganegaraan akan menjadi penjaga gawang lapisan utama bagi diri kita dalam menghadapi pendidikan abad 21.

Anti Hoaks Sang Pendidik, Memberi Makna Indonesia

Media sosial yang menjadi sasaran empuk media penyebar informasi akhir-akhir ini acapkali tidak menyertakan konfirmasi atas kebenaran faktanya alias bohong atau hoaks. Hoaks yang kini menjadi tren secara tidak langsung telah memproklamirkan diri sebagai musuh terbesar pengguna internet dan jejaring sosial. Begitu mudahnya hoaks atau informasi bohong disebarluaskan (shareability) di media sosial telah menjadi persoalan tersendiri bagi para pengguna, generasi penerus bangsa, pendidik Indonesia dan pemerintah. Kita sadari bersama, sejalan dengan pertumbuhan transaksi digital ternyata berbanding lurus dengan semakin meningkatnya fraud digital.

Tanggung jawab pendidik atau guru di Indonesia khususnya adalah mencetak manusia-manusia the thinker yaitu manusia yang belajar melihat setiap peristiwa tidak sebagai sebuah ketunggalan dalam ruang hampa. Menciptakan manusia yang tidak mudah termakan oleh informasi yang picik, sepihak, sempit, dan sepenggal melalui cara yaitu menghidupkan literasi.

Pendidik masa kini dituntut untuk mampu melakukan pengawasan dan menumbuhkan wawasan terhadap peserta didik sebagai upaya menangkal hoaks. Guru berkolaborasi dengan orang tua wali dan masyarakat dapat membatasi siswa-siswa dalam menggunakan gawai (gadget) dan mengontrol aktivitas mereka di media sosial. Siswa-siswa kita adalah generasi millennial yaitu generasi yang lahir pada era 1980-an hingga 2000-an merupakan generasi yang dinilai paling rentan “termakan” oleh berita bohong atau hoaks.

Tentu akan menjadi hal yang sangat disayangkan jika negara kita Indonesia yang seharusnya mampu menikmati “bonus” demografi pada 2030 nanti, malah dipenuhi oleh orang-orang yang tidak cerdas dalam bermedia sosial di tengah kecanggihan teknologi komputer dan telekomunikasi. Guru atau pendidik dapat menjalin kemitraan dengan orang tua wali dalam hal ini keluarga peserta didik, satuan pendidikan dan masyarakat sebagai tri sentra pendidikan untuk bersama-sama mendukung gerakan Masyarakat Indonesia Anti Hoaks melalui edukasi literasi.   Apabila dilandasi semangat gotong-royong dan saling bahu-membahu maka dapat dipastikan akan terciptanya ekosistem pendidikan yang menumbuhkan karakter dan budaya prestasi. Memang untuk bisa membendung serbuan hoaks diperlukan strategi dari semua pihak mulai dari komunitas, tokoh masyarakat atau agama, lembaga atau institusi (korporasi), pemerintah dan media. Dalam hal ini guru dapat berperan sebagai katalisator dari semua pihak untuk bergerak atas nama pendidik untuk membumikan edukasi literasi.

Bapak pendiri bangsa (founding father), Bung Karno telah mengumandangkan seruan tentang budaya literasi bangsa. Guru yang notabene berada di garda terdepan dalam upaya mencerdaskan bangsa memikul tanggung jawab untuk menanamkan minat baca atau budaya literasi dari bangku-bangku sekolah. Saat ini banyak peserta didik yang lebih percaya pada berita di media sosial daripada media arus utama seperti koran atau majalah. Lebih dari 43.000 media tersebar di seluruh Indonesia, tetapi hanya kurang dari 5.000 media dan situs daring yang tercatat resmi dengan akurasi yang kredibel. Literasi media sejak dini bagi peserta didik adalah harga mati dan inilah yang akan memberi makna bagi Indonesia. 

Baca Koran Dulu 15 Menit

Program Baca Koran Dulu 15 Menit   sebagai upaya untuk menumbuhkan minat baca dapat dilakukan dengan mengajak peserta didik membaca buku bersama-sama di aula, lapangan, dan taman-taman sekolah. Membaca dilakukan secara maraton atau biasa disebut dengan readathon. Selain itu, penulis sebagai guru menerapkan 15 (lima belas) menit membaca koran atau surat kabar sebelum pelajaran. Program membaca buku non-pelajaran 15 menit ini merupakan program GLS (Gerakan Literasi Sekolah).  Di Jepang program 10 (sepuluh) menit membaca di awal pelajaran telah dilaksanakan sekitar 35 (tiga puluh lima) tahun yang lalu atau sekitar era 1980 –an. Sekarang kita bisa menyaksikan kemajuan negara Jepang yang begitu melesat jauh meninggalkan Indonesia.

Ketika anak-anak mau membaca koran atau surat kabar pagi, rata-rata mereka kemudian banyak mengetahui informasi-informasi aktual di sekitar mereka dan terinspirasi dengan kehidupan nyata orang-orang yang ada dalam berita. Wawasan mereka pun akan semakin terbuka luas. Horizon dan cakrawala berpikir mereka juga semakin lebar dan tidak seperti katak dalam tempurung. Mereka tergerak untuk menjadi seperti sosok idola atau figur inspiratif yang ada di dalam koran yang mereka baca dan akan meneladani sikap-sikap dan kiprah serta perjuangan mereka. Sebaliknya mereka akan mengambil pelajaran terhadap orang-orang yang terjerat kasus, bernasib kurang baik atau peristiwa-peristiwa yang penuh hikmah. Program ini bisa menjadikan mereka lebih mampu untuk menganalisis dan memfilter apakah sebuah berita fakta atau hoaks (berita bohong).

Baca Koran Dulu 15 Menit dapat menjawab masalah keterlambatan siswa-siswa dalam membaca dan memahami teks yang masih tergolong rendah dibawah standar minimal seperti yang kita bersama ketahui dari EGRA (Early Grade Reading Assessment) (Laporan hasil pengukuran dan upaya peningkatan literasi dan numerasi Program Pintar Tanoto Foundation, 23 September 2019). Sekolah yang aktif memfasilitasi siswa-siswa untuk membaca rata-rata kecepatan membaca siswa lebih cepat daripada yang tidak ada kegiatan membaca di dalamnya. Dua ratus kata per menit (kpm) adalah kecepatan baca rata-rata anak sekolah sekolah dasar. Siswa-siswa yang telah duduk di bangku SMP meskipun berada di pedalaman dapat mencapai target untuk memiliki kecepatan membaca yang lebih dari itu.

Dengan menggalakkan program ini di sekolah, kita ikut mendukung GLS (Gerakan Literasi Sekolah). GLS akan menjadi mesin penggerak suksesnya GLN (Gerakan Literasi Nasional) yang hadir di garda terdepan sebagai pemberantas maraknya hoaks. Menjamurnya konten di media sosial yang sarat dengan berita bohong atau hoaks, ujaran kebencian atau SARA serta radikalisme dan terorisme menuntut pencegahan atau tindakan preventif melalui literasi sebagai benteng paling imun terhadap serbuan hoaks atau lebih spesifik misalnya dapat menangkal manipulasi psikologi dari pelaku untuk mendapatkan data rahasia korban.

Gambar 2: Siap menjadi Penyuluh Digital, Menuju Indonesia Bebas Soceng

Menghidupkan Taman Bacaan Masyarakat dengan Cangkruk Literasi

Membaca adalah kunci belajar. Jika warga Indonesia dapat membaca atau melek aksara fungsional, mereka akan menjadi pembelajar sepanjang hayat yang otonom. Menghadapi era society 5.0 memiliki kemampuan membaca (melek huruf) saja memang tidak cukup.  Oleh karena itu, perlu dikembangkan pula program literasi (melek informasi). Program keaksaraan atau melek huruf perlu disinergikan dengan program literasi atau melek informasi agar lebih bertuah.  Gerakan pendidikan keaksaraan yang telah berjalan lebih dari 7 (tujuh) tahun juga mengalami perkembangan mulai dari konsep pemberantasan buta huruf sampai pengembangan literasi. Hal ini bertujuan agar program keaksaraan bukan hanya sekadar menuntaskan buta huruf tetapi juga memberantas buta informasi.

Pengembangan literasi dalam upaya memerangi buta informasi dapat dilaksakan dari level individu. Pegiat literasi dapat memulai dari tingkat rukun tetangga (RT), rukun warga (RW) dan desa. Terinspirasi dari budaya cangkrukan (budaya di Jawa Timur) yaitu duduk santai dengan kawan, tetua atau siapa saja tanpa memandang kasta dan hirarki, duduk sama rendah berdiri sama tinggi sambil membincangkan hal-hal santai tentang hal-hal remeh temeh, rasan-rasan atau malah debat kusir mencetuskan ide saya agar cangkrukan dapat menjadi lebih berdampak positif. Inisiasi cangkruk literasi lahir dan bisa memberi wadah pengembangan literasi dari tingkat desa. Kegiatan cangkruk literasi dapat diisi dengan membacakan buku kepada para penyandang buta aksara, penduduk berusia 45 tahun ke atas yang memiliki kendala fisik dan daya ingat untuk belajar membaca atau anak-anak yang masih duduk di bangku pendidikan anak usia dini (PAUD), bedah buku, mengapresiasi karya sastra, menelaah gambar, mendiskusikan isu-isu hangat, coaching, atau berbagi pendapat tentang permasalahan bersama bagi semua warga desa maupun anak usia sekolah lainnya.  Pendidikan keaksaraan juga diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking skills) atau berpikir kritis.  Memberaksarakan warga berarti memberikan “mata” bagi warga agar dapat membaca dunia kehidupan dan memainkan perannya yang berguna bagi sesama di dunia.

Gambar 3: Saya bangga menjadi #NasabahBijak BRI

Lewat cangkruk literasi yang dikembangkan di setiap desa, satu desa satu cangkruk literasi, dapat dilanjutkan dengan pembentukan komunitas literasi atau bahkan komunitas praktisi sehingga menjadi referensi dan menginspirasi regulasi pemerintah daerah dan pembuatan kebijakan yang berpihak pada pendidikan keaksaraan dan pengembangan literasi. Skema piramida terbalik yang bergerak dari bottom-up line juga sukses dipakai dalam program sekolah penggerak dan guru penggerak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbud Ristek RI). Cangkruk literasi yang memberikan ruang diskusi tentang literasi baik literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi keuangan serta literasi budaya dan kewargaan di setiap desa dapat didampingi oleh minimal satu pendamping atau ketua dari kalangan pendidik, mahasiswa, pegiat literasi, praktisi pendidikan, mahasiswa, pakar literasi, tokoh literasi, sastrawan, kaum profesional atau masyarakat umum yang ingin berdedikasi bagi pendidikan keaksaraan dan pengembangan literasi.

Cangkruk literasi menggerakkan warga dari desa-desa atau wilayah 3T (Terdepan Terpencil dan Tertinggal) untuk mengenyam pendidikan pertama bagi masyarakat Indonesia yaitu pendidikan keaksaraan. Sejalan dengan pendidikan keaksaraan yang dikembangkan oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yaitu pendidikan keaksaraan untuk pemberdayaan masyarakat (literacy initiative for empowerment).  Gerakan internasional ini menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak asasi untuk mendapatkan pendidikan keaksaraan. Setali tiga uang dengan langkah Kemendikbud Ristek RI dalam upaya mensukseskan pendidikan keaksaraan sebagai medium pengembang literasi dan pemberdayaan masyarakat seperti melakukan inovasi pada pendidikan untuk buta aksara dan berfokus pada daerah yang buta aksaranya masih tinggi.

Daerah terpencil dan sulit dijangkau menjadi kendala pemerintah dalam memberantas buta aksara. Oleh karena itu cangkruk literasi di setiap desa dapat dikembangkan untuk mengatasi kendala geografis seperti desa-desa di keenam provinsi prioritas penangan buta huruf yaitu Papua, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat serta desa-desa lain di Indonesia. Cangkruk literasi dengan kegiatan seperti diskusi tentang isu-isu terkini seperti menghadapi gurita soceng hingga berbagai berbagai bentuk pembelajaran bagi penyandang buta aksara berperan signifikan dalam mendorong masyarakat lebih cerdas dan dalam praktik kehidupan dapat menjadi nasabah bijak, bahkan ikut andil menyukseskan program multiaksara yang mendorong penderita buta huruf tersebut agar mereka mau belajar dan tergerak mencintai membaca.

Target Kemendikbud Ristek RI akan menuai sukses dalam menuntaskan buta aksara jika masyarakat mau bergerak dari level bawah mengusung skema piramida terbalik. Setidaknya pada 2023 sudah tidak ada lagi wilayah dengan tingkat buta aksara yang masih tinggi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2020 menunjukkan bahwa tingkat buta huruf di Indonesia saat ini sebanyak 1,93 persen. Artinya, porsentase penduduk yang sudah tidak buta huruf sebesar 98,07 persen. Saiyeg saeka praya, saiyeg saeka kapti (kebulatan tekad dengan semangat gotong-royong dan kolaborasi) setiap kita adalah pemimpin pembelajaran yang dapat mengajarkan orang-orang terdekat di sekeliling kita agar mereka bisa membaca atau kita dapat membacakan buku untuk mereka lewat kegiatan yang berdampak positif yaitu cangkruk literasi yang dihidupkan menjadi taman-taman pendidikan layaknya Taman Siswa. Buta aksara adalah sumber buta informasi dan "buta aksara" masa kini di era internet of things (revolusi industri 4.0) adalah jika tidak mampu menguasai informasi di tengah booming Artificial Intelligence (AI) yang kini diterapkan oleh perbankan.  

Gambar 4: Tips Menghindari Soceng

Akhirnya, penulis sebagai pendidik yakin dengan mengembangkan praktik baik (best practice) literasi baik dari lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat, generasi bangsa akan menjadi cerdas  (digitally literate) sehingga dapat berpikir analitis, evaluatif dan kritis dalam menghadapi kejahatan siber perbankan yang marak saat ini dan masa depan yang modusnya diprediksi akan semakin beraneka macam.  Bahkan generasi bangsa yang melek digital akan mampu berperan menjadi penyuluh digital yang dapat membuka horizon berpikir masyarakat menghadapi berbagai jenis kejahatan siber perbankan yang menjalankan aksi dengan modus seperti pretexting dan phising (mengelabuhi calon korban), pharming (mengalihkan dari situs resmi ke situs palsu), vishing (melalukan modus melalui sambungan telepon), sniffing (menyadap), spoofing (menggunakan perangkat keras seperti mesin ATM palsu)  maupun baiting (memanfaatkan rasa penasaran calon korban).  Saya, Anda, Kita, siap menjadi penyuluh digital. 💪😊🙏

Referensi:

Cnbcindonesia.com

Instagram Bank BRI

Instagram Nasabah Bijak

Instagram OJK Indonesia

***

0 comments: