Perkembangan teknologi informasi di
era pendidikan generasi ke empat (4.0) menuntut adanya transformasi pola pikir
guru dari sumber ilmu pengetahuan menjadi fasilitator. Posisi guru bukan lagi
sebagai pemberi materi, tetapi mengarahkan peserta didik agar mampu mencari
materi atau informasi secara mandiri. Itulah jawaban atas pertanyaan: ada
dimana guru sekarang di tengah berjangkitnya Covid-19 di tengah masyarakat Indonesia
yang sepenuhnya telah menjadi mesin (baca: artificial
intelligent)? Pada pendidikan 4.0 di tengah masyarakat yang teknologis tentu bukan eranya lagi jika proses
pembelajaran masih mengandalkan guru di ruang-ruang kelas. Metode pembelajaran
yang diterapkan adalah siswa dapat belajar mandiri dan mengelola kelas yang
kreatif di rumah, khususnya ditengah merebaknya pandemi Covid-19.
Guru harus piawai menjadi nahkoda
sekaligus arsitek pembelajaran yang bekerja dengan bantuan peranti-peranti
digital. Banyak situs maupun aplikasi media sosial atau mobile yang dapat dipakai sebagai media pembelajaran. Blackboard
K-12 melakukan survey terhadap 90 persen administrator Mobile Learning Explorer
dan menyatkan bahwa komputer mobile meningkatkan potensi siswa untuk sukses
(Speak Up 2009 Survey). Guru saatnya
membuka mata bahwa bahwa perkembangan teknologi dan artificial intelligent adalah sebuah keniscayaan. Guru harus
“dipaksa” untuk segera melek digital dan menggunakan aplikasi mobile atau gawai
dalam pengembangan pembelajaran.
Kecanggihan teknologi informasi dan
komunikasi seperti komputer tablet, smartphone, ipods dan lain-lain bisa
dimanfaatkan untuk mendukung proses belajar peserta didik yang dilakukan secara
mobile (bergerak). Digitalisasi pendidikan tak bisa dihindari dan dunia virtual
bisa menjadi sekolah. Kita memiliki tantangan dalam menghadapi Programme
for International Student Assesment (PISA). Skor PISA Indonesia yang masih
rendah merupakan cermin kegagalan pendidikan kita dalam menjalankan UU No.
20/2003 yang merupakan amanah rakyat. PISA sebagai hajatan internasional yang
menguji kemampuan peserta didik usia 15 tahun melibatkan 600 ribu peserta didik
yang mewakili 32 juta peserta didik seluruh dunia dari 79 negara. Skor
Indonesia pada 2018 dalam kemampuan membaca, matematika, dan sains secara
berurutan adalah 371, 379 dan 396. Ini masih berada di bawah rata-rata peserta
negara OECD (The Organisation for
Economic Co-operation and Development).
Peserta didik saat ini adalah
bagian komunitas dunia yang berbasis digital dan akan menyumbang peran bagi
Indonesia agar berkesempatan untuk
menjadi Trully Digital Economic Super
Power. Namun budaya penggunaan teknologi dalam dunia pendidikan harus
berkelindan dengan budaya ilmu kemanusiaan agar penggunakan teknologi di
sekolah tidak menjadi menyebabkan kenakalan
pada peserta didik. Inovasi-inovasi dalam pendidikan 4.0 tetap berlandaskan
nilai-nilai kemanusiaan. Formulasi STEM yaitu sains, teknologi, engineering dan matematika tidak boleh
mengabaikan humanities, arts, and social sciences atau HASS. Hanya dengan seni, budaya dan kerohanian
peserta didik tidak akan terjerumus pada kenakalan remaja dan tidak akan
kehilangan nilai-nilai kemanusiaan di tengah gempuran teknologi. Toomas Hendrik Ilves, Prseiden
Estonia mengatakan bahwa minimnya dialog di antara dua budaya, budaya
sains-teknologi dengan budaya kemanusiaan, akan memunculkan permasalahan
keamanan di zaman digital ini.
Dengan semangat merdeka belajar, siapapun kita dan apapun profesi kita sejatinya adalah guru pembelajar, guru merdeka dan guru berdaulat. Kemauan kita untuk mengonstruksikan kreativitas, pemikiran kritis, semangat gotong-royong serta literasi digital di era pendidikan 4.0 sangat berarti bagi generasi millenials yang akan segera masuk dalam kelas Emerging Affluent.
#cerdasberkarakter #merdekabelajar
0 comments: