Era Revolusi Industri 4.0 telah datang dan menuntut inovasi serta gagasan kreatif kita di berbagai sektor agar roda kehidupan terus berputar. Roda penggerak perekonomian rakyat perlu terus dijaga. Demikian juga tulang punggung ekonomi masyarakat yang banyak bertumpu pada sektor pertanian agar selalu menjadi prioritas utama sehingga tidak menjadi masalah nasional di kemudian hari. Lebih-lebih masalah ketahanan pangan semakin krusial mengingat kebutuhan pangan di masa depan akan semakin membengkak. Di sisi lain para pekerja di sektor pertanian jumlahnya semakin menurun.
Pertanian yang tidak didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang profesional di sektor pertanian mustahil akan mampu menjawab kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah. Laju pertumbuhan penduduk seperti deret ukur sedangkan laju pertumbuhan pangan seperti deret hitung. Belum lagi luas lahan pertanian semakin menyempit. Untungnya, pemerintah aktif memberi insentif sehingga ketika sektor lain mengalami kesulitan di tengah pandemi Covid-19, pertanian tetap menjadi penyokong perekonomian. Rilis data terbaru pertumbuhan ekonomi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sektor pertanian tumbuh tinggi di triwulan II-2020. Produk Domestik Bruto (PDB) di sektor pertanian tumbuh 16,2 persen. Indikator kesejahteraan petani seperti nilai tukar petani (NTP) juga naik tajam. Harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani naik 1,44 persen dari bulan sebelumnya menjadi Rp. 4.788.
Petani Indonesia, khususnya yang masih muda sepatutnya tercambuk dan optimis mengembangkan usaha atau berwirausaha dalam bidang pertanian atau agribisnis dengan beragam inovasi. Pertanian 4.0 berada di punggung generasi masa kini karena pertanian zaman sekarang tidak bisa disamakan lagi dengan zaman dahulu. Pertanian 4.0 mesti pertanian yang tanggap alsintan (alat mesin pertanian) dan teknologi digital yaitu dengan menggunakan mesin-mesin otomatis yang terintegrasi dengan jaringan internet.
Proses bisnisnya akan melibatkan information and communication technology (ICT) dan jaringan internet yang terkoneksi ke semua unit operasi dari berbagai instrumen seperti satelit, drone dan sensor maupun peralatan seperti mesin atau robot. Apabila semuanya bekerja secara sinergis maka akan terjadi peningkatan produktifitas pertanian baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, maupun peternakan dengan biaya yang rendah. Pengaplikasian teknologi digital akan meminimalisir biaya produksi dan yang berhubungan dengan proses pemanenan dan pascapanen hingga 60 persen sehingga keuntungan yang didapat petani akan lebih besar.
Teknologi juga mempercepat proses pertanian seperti pengolahan tanah pertanian, teknologi pembibitan, dan pemutakhiran mesin panen. Praktis, teknologi memiliki peran yang besar dalam intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian Sekarang traktor tidak perlu disetir secara langsung tetapi dapat menggunakan remote atau komputer. Pertanian itu tidak hanya sekadar mengolah lahan, menanam dan memanen tetapi juga mengolah hasil panen hingga bisa dipasarkan dengan cara modern dan inovatif yaitu dengan strategi online atau cash on delivery (COD) sehingga hasil pertanian bisa sampai meja makan. Pemasaran produk memang jauh lebih mudah berkat peran teknologi digital.
Oleh karena itu, bangsa Indonesia menaruh harapan besar pada generasi muda milenial yang melek teknologi (techno-literate) yang siap melanjutkan tongkat estafet demi kemajuan pertanian di masa depan. Bung Karno pernah berseru: “Pemuda bertani, berarti memilih untuk merdeka”. Pemuda milenial produk vokasi harus bisa masuk ke dunia usaha atau industri pertanian dan harusnya mampu menjadi qualified job creator yaitu menjadi petani mandiri dan membuka lapangan pekerjaan untuk pemuda-pemuda lainnya. Fenomena saat ini semakin banyak pemuda-pemuda Indonesia yang lebih memilih menjadi job seeker (pencari pekerjaan) sebagai pegawai kantoran atau karyawan.
Kita percaya di kepala pemuda milenial sejatinya tersimpan banyak ide kreatif dan inovatif dalam menghasilkan produk pertanian berdaya saing dan bernilai jual tinggi. Regenerasi pemuda tampan masa kini (baca: petani), masih menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Indonesia. Menjadi petani berarti menjadi ujung tombak kebutuhan pangan di tanah air Indonesia yang konon lahir dari rahim agraris dan maritim. Profesi petani selayaknya ditempatkan pada posisi terhormat dan terpandang.
Kita perlu berkaca dari negara maju seperti Jepang, Amerika, Belanda dan Australia dengan profesi petaninya yang selalu menjadi incaran para pemuda. Bahkan tak jarang mereka yang lulus dari jurusan non-pertanian sangat antusias dan berebut ingin menjadi petani. Berbanding terbalik dengan Indonesia dengan para pemudanya yang minder jika harus menjadi petani. Indonesia sebagai negara berkembang belum bisa menyamai China yang juga masih dalam kategori negara berkembang dalam hal kemakmuran petaninya. Penghasilan rata-rata petani di China sekitar 10 jutaan.
Indonesia pun bisa seperti mereka apabila para pemuda milenial berani membangun desa dengan menjadi pelaku usaha baru. Pemerintah selalu hadir untuk menyejahterakan petani dan meningkatkan produksi. Keberpihakan pemerintah dapat terlihat dari kuatnya bantuan pemerintah seperti melalui program upaya Khusus Peningkatan Produksi Padi, Jagung, dan Kedelai (Upsus Pajale), subsidi pupuk dan benih, pembuatan embung, perbaikan irigasi, pemberian ribuan alsintan dan asuransi pertanian. Pemerintah juga memiliki inisiatif awal yaitu memperluas lahan 1000 hektar untuk dijadikan korporasi pertanian. Semua dilakukan demi menjamin ketahanan, keamanan dan mutu pangan, ketersediaan bahan baku industri, daya saing dan kesejahteraan petani. Jika generasi muda masih tetap enggan mengolah lahan-lahan pertanian maka kebutuhan pangan pasti akan disuplai dari luar.
Meski tak banyak namun ibarat oase di gurun pasir masih ada petani milenial dari Kabupaten Barito Timur, Provinsi Kalimantan Tengah siap menjadi ujung tombak pembangunan pertanian. Krismen namanya, petani milenial yang sukses mengembangkan budidaya tanaman jagung pakan ternak atau jagung kering pipilan di desanya. Omzetnya sekarang mencapai Rp. 25 juta sebulan. Tanah di Kalimantan memang tidak sesubur pulau Jawa yang memiliki banyak tanah entisol dan grumusol karena memiliki gunung berapi. Selain tanah inceptisol, Kalimantan terdiri dari lahan kering, rawa lebak, lahan irigasi, rawa pasang surut, dan lahan hujan yang membutuhkan sentuhan teknologi agar tidak sekadar menjadi lahan tidur.
Sedangkan tanah aluvial di Kalimantan juga berkurang tingkat kesuburannya. Penurunan kesuburan akibat penambangan batubara dapat diatasi dengan pemberian bahan organik dan introduksi cacing tanah. Banyaknya lahan di Kalimantan yang terbengkalai bahkan menjadi rawan terbakar di musim kemarau menuntut kepedulian para pemuda milenial agar mengikuti jejak Krismen yang telah memulai bisnisnya di bidang pertanian sejak remaja. Bila pemuda-pemuda milenial mau berkiprah dengan teknologi dan mekanisasi mesin serta mengkombinasikannya dengan kearifan lokal pertanian tentu akan tercapai ketahanan pangan nasional yang kuat.
Tanah Barito yang notabene berdekatan dengan calon ibukota negara (IKN) Indonesia yang baru di sebagian Kabupeten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur bisa menjadi lumbung pangan. Untuk menuju pertanian masa depan kolaborasi dengan bidang lain (transdisiplin) seperti bidang pariwisata sehingga terwujud agrowisata di tanah Barito merupakan sebuah peluang di tengah masyarakat perkotaan yang semakin modern. Masyarakat perkotaan cenderung menerapkan gaya hidup (life style) ketofastofis dan vegetarian. Oleh karena itu, diperlukan pembentukan komunitas pengomposan agar senantiasa tersedia pupuk organik demi keberlangsungan pertanian organik.
Tentu, tangan-tangan pemuda milenial yang adaptif terhadap teknologi yang siap menjadi wirausaha agribisnis adalah kuncinya. Pemuda milenial yang adaptif terhadap teknologi dapat membentuk jejaring kerjasama dengan mitra atau pemangku kepentingan di sektor pertanian dan mengoptimalisasi Balai Penyuluh Pertanian (BPP) dengan lebih mudah melalui teknologi digital. Akhirnya, peran petani muda masa kini yang berani berlaga di dunia pertanian sangat dibutuhkan dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Ini seirama dengan detak perjuangan Bung Karno bahwa pangan adalah hidup matinya suatu bangsa. Bung Karno yang begitu memahami hal itu kemudian meletakkan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia yang berganti nama menjadi Institut Pertanian Bogor dan bukan Institut Perbankan Bogor, Institut Pewartaan Bogor, atau Institut Pesantren Bogor seperti yang (justru) diplesetkan oleh pemuda milenial Indonesia sendiri. Sarkastik!
0 comments: