Saya bersyukur dapat mengikuti Pembekalan Calon Fasilitator Angkatan 11
Pendidikan Guru Penggerak (PGP) Tahun 2022 yang diselenggarakan secara daring
pada 06 – 19 September 2022. Pembekalan ini menghadirkan banyak pemateri seperti
Pak Kasiman, Bu Dwikora Hayuati, Pak Wandy Praginda, Bu Itje Chodidjah, Pak
Simon Rafael, Pak Yoki Ariana, Bu Rahmi Yunita, Bu Tista Sandy Rakhmawati, Bu Fadila
Mutiarawati, Bu Wahyu Ekawati, Pak Markus Hernoko, Pak Reddison dan Pak Aditya
Darma. Ada beberapa keuntungan yang saya dapat jika saya menjadi fasilitator
yaitu saya dapat mengetahui lebih awal detail informasi seperti implementasi
kurikulum merdeka yang tidak bisa kita peroleh di bangku perkuliahan. Kami
melakukan bedah modul 1.1 hingga 3.3 sesuai dengan kurikulum guru penggerak
yaitu modul 1. Paradigma dan Visi Guru Penggerak (perubahan diri), modul
2. Praktik Pembelajaran yang Berpihak pada Murid (perubahan rekan) dan
modul 3. Pemimpin dalam Pengelolaan Sekolah (perubahan sekolah)
Pada modul 1.1 ini kami
belajar tentang Refleksi Filosofi Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara (KHD) yang memiliki relevansi
dengan Pendidikan abad ke-21. Refleksi filosofi KHD juga disesuaikan dengan
konteks lokal yang kaya dengan nilai-nilai luhur sosial dan budaya setempat.
Konstektualisasi filosofi Pendidikan KHD yang terkenal adalah tentang budi
pekeri (cipta, karsa, karya), Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya
Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani yang keempatnya menuntun peserta
didik mencapai kekuatan kodratnya. Hal ini karena dasar pendidikan anak
berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman sebagaimana yang saya tulis
dalam sebuah artikel yang terbit di sebuah harian di Jawa Timur https://www.harianbhirawa.co.id/guru-penggerak-sang-transformer/ Pada modul 1.1 juga
dipelajari tentang peran sekolah yang
bernama Taman Siswa yang didirikan tahun 1922 yang mana makna pendidikan
bertujuan memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak
agar mampu mencapai keselamatan dan kebahagian yang setinggi-tingginya. Peserta
didik diharapkan dapat merdeka batin yaitu memuliakan dirinya dan orang lain
dan merdeka lahir yaitu menjadi mandiri. Selain itu kami dibekali tentang pembelajaran yang berpihak pada murid sebagaimana KHD
mengibaratkan peran pendidik seperti petani atau tukang kebun sedangkan
anak-anak seperti biji tumbuhan yang ditanam
Pada modul 1.2 yaitu
pembelajaran tentang Nilai dan Peran Guru Penggerak. Nilai-nilai kebajikan
yang bersifat universal perlu dijadikan common ground bagi seorang guru
penggerak. Guru adalah adalah manusia
yang harus dapat tergerak, dan menggerakkan manusia lainnya. Apabila guru
memiliki kesadaran bagaimana dirinya tergerak selanjutnya guru dapat
menggerakkan orang lain yaitu dengan menuntun sesuai kekuatan kodratnya dan
disesuaikan dengan tahap perkembangannya. Dalam tahap tumbuh kembang anak kita
mengenal teori Ki Hadjar dewantara yaitu Wiraga-Wirama dan teori tahap
perkembangan psikososial Erik Erikson yang dapat dijadikan acuan. Manusia
(guru) merdeka bergerak: berdaya dalam memilih, termotivasi dari dalam dan
berupaya mewujudkan profil pelajar Pancasila. Oleh karena itu guru penggerak
perlu memahami nilai-nilai guru penggerak seperti berpihak pada murid,
reflektif, mandiri, kolaboratif,dan inovatif serta dapat berperan menjadi
pemimpin pembelajaran, menjadi coach bagi guru lain,mendorong kolaborasi,
mewujudkan kepemimpinan murid (student agency) dan menggerakkan
komunitas praktisi. Selain itu
saya juga belajar tentang diagram identitas gunung es yang menjelaskan tentang
pentingnya pengkondisian dan pembiasaan dalam menumbuhkan karakter seseorang. Lalu
pembelajaran tentang trapezium usia, Triune Brain, roda emosi Plutchik yang
semankin menambah cakrawala berpikir saya semakin luas. Saya juga semakin
memahami tentang bagaimana manusia tergerak, bergerak dan menggerakkan.
Modul 1.3 berisi tentang Visi Guru Penggerak. Materi yang dipelajari
diantaranya tentang pentingnya visi guru penggerak sebagai representasi visual
akan masa depan. Visi berpeluang menghubungkan hati lebih banyak pihak sehingga
dapat mengundang upaya kolaboratif. Untuk mewujudkan visi diperlukan jalan
kesinambungan, berkelanjutan dan hubungan gotomg-royong, bukan hubungan
transaksional atau jalan untuk mencari kemenangan semata. Materi lainnya yaitu
tentang paradigma sekaligus model manajemen perubahan yang memegang prinsip
psikologi dan pendidikan positif berbasi kekuatan yang disebut Inkuiri
Apresiatif (IA). IA sebagai pendekatan manajemen perubahan menggunakan pola
BAGJA yaitu buat pertanyaan (define), ambil pelajaran (discover),
gali mimpi (dream), jabarkan rencana (design) dan atur eksekusi (deliver).
BAGJA adalah gubahan tahapan IA yang merupakan pendekatan dalam manajemen
perubahan. Salah satu kekuatan BAGJA yaitu terletak pada proses penggalian
jawaban pertanyaan yang didasari oleh rasa ingin tahu, kebaikan dan
kebersamaan. Menurut Evans (2001), untuk memastikan bahwa perubahan dapat
terjadi secara mendasar dalam operasional sekolah, maka pemimpin sekolah
hendaknya mulai dengan memahami dan mendorong perubahan budaya sekolah. Hal ini
semakin diperkuat oleh Ki Hadjar Dewantara tentang peralatan pendidikan sebagai
cara mendidik anak yaitu dengan: memberi contoh, pembiasaan, pengajaran,
perintah,paksaan dan hukuman, laku dan pengalaman lahir dan batin.
Modul 1.4 adalah Budaya Bositif. Lingkungan yang positif
diperlukan agar pembelajaran yang terjadi adalah pembelajaran yang berpihak
pada murid sebagaimana yang tertuang dalam standar proses pada Standar Nasional
Pendidikan pasal 12. Dalam Budaya positif terdapat nilai-nilai kebajikan
universal dan disiplin positif. Disiplin positif adalah motivasi yang tidak
akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah karena disiplin positif
memiliki tujuan mulia. Disiplin sebagai bentuk kontrol diri yaitu belajar untuk
kontroldiri agar dapat mencapai suatu tujuan mulia (Ki Hadjar Dewantara dan
Diane Gossen). Sementara itu nilai-nilai universal adalah nilai-nilai kebajikan
yang disepakai bersama terlepas dari latar belakang suku,agama dan lain-lain
seperti nilai-nilai yang terkandung dalam profil pelajar Pancasila. Selain itu
pada modul 1.4 juga dipelajari tentang Segitiga Restitusi. Restitusi sebagai
proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah
mereka, seperti apa yang mereka inginkan dan bagaimana mereka harus
memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996). Restitusi adalah pendekatan
untuk menciptakan disiplin positif, belajar dari kesalahan, memperbaiki
hubugan, bersifat “menuntun” dan “menawarkan”., mencari kebutuhan dasar yang
mendasari tindakan, fokus pada karakter (bukan tindakan), fokus pada solusi dan
mengembalikan murid yang berbuat salah pada kelompoknya.
Selanjutnya,
berikut ini adalah hasil resume pemahaman konsep modul 2 dan 3.
Modul 2.1 Pembelajaran untuk Memenuhi
Kebutuhan Belajar Murid
Pada modul 2.1 ini kami
belajar tentang pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar murid sebagai
salah satu sub modul 2 yaitu praktik pembelajaran yang berpihak pada murid. Kami
juga belajar tentang profil belajar, pembelajaran berdiferensiasi, teori
scaffolding, perspektif equalizer dan strategi penilaian formatif.
Profil belajar
merupakan
pendekatan yang disukai murid untuk belajar, yang dipengaruhi oleh gaya
berpikir/belajar, kecerdasan, budaya, latar belakang, jenis kelamin, dan
lain-lain. Sangat penting menerapkan teknik pembelajaran di mana murid
diberikan sejumlah bantuan, kemudian perlahan-lahan diadakan pengurangan
terhadap bantuan tersebut hingga pada akhirnya, murid dapat menunjukkan
kemandirian yang lebih besar dalam proses pembelajaran (scaffolding).
Pembelajaran itu perlu memenuhi kebutuhan belajar semua murid, menyesuaikan
kebutuhan belajar murid seperti kesiapan belajar murid, minat murid, profil
belajar murid dan berdiferensiasi.
Kesiapan belajar murid bukanlah tentang tingkat
intelektualitas (IQ). Hal ini lebih kepada informasi tentang apakah pengetahuan
atau keterampilan yang dimiliki murid saat ini, sesuai dengan pengetahuan atau
keterampilan baru yang akan diajarkan. Adapun tujuan memperhatikan kebutuhan
belajar murid berdasarkan tingkat kesiapan belajar ini adalah untuk memastikan
bahwa semua siswa diberikan pengalaman belajar yang menantang secara tepat
(Santangelo & Tomlinson (2009) dalam Joseph et.al (2013: 29)). Berikut ini adalah perspektif
equalizer (Tomlinson (2001:47).
1.
Mendasar –
Transformatif
2.
Konkret –
Abstrak
3.
Sederhana –
Kompleks
4.
Terstruktur –
Terbuka
5.
Tergantung –
Mandiri
6.
Lambat – Cepat
Pembelajaran berdiferensiasi adalah usaha guru
untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan
belajar individu murid (Tomlinson (1994:14). Pembelajaran berdiferensiasi bukan
mengelompokkan yang pintar dengan yang pintar, yang kurang dengan yang kurang,
memberikan tuga syang berbeda untuk setiap anak, atau guru yang berlari membatu
kesana kemari membantu si A,si B,si C. Pembelajaran berdiferensiasi adalah
pembelajaran dengan kurikulum (tujuan pembelajaran) didefinisikan secara jelas,
lingkungan belajar yang mengundang murid untuk belajar dan adanya penilaian
berkelanjutan (penilaian formatif).
Proses pembelajaran berdiferensiasi juga
mensyaratkan adanya praktik-praktik penilaian yang baik. Pemerintah sendiri telah
menetapkan Standar Penilaian Pendidikan, dimana dijelaskan bahwa tujuan dari
standar itu adalah menciptakan proses penilaian yang mengarah pada tercapainya
standar kompetensi lulusan. Proses penilaian dilakukan dan digunakan bukan
hanya untuk menilai hasil akhir dari proses pembelajaran, namun yang paling
penting adalah bagi perbaikan proses pembelajaran sehingga semua murid dapat
mencapai kemajuan dalam proses belajarnya. Proses pengumpulan dan pengolahan
informasi tentang hasil belajar murid dengan demikian tentunya harus
dilaksanakan secara terus menerus. Dalam praktek pembelajaran berdiferensiasi,
praktik penilaian yang terus menerus ini menjadi satu hal yang sangat penting
untuk diperhatikan oleh guru, karena strategi pembelajaran yang dipilih oleh
guru akan sangat bergantung pada informasi yang didapat oleh guru melalui
proses penilaian ini.
Terdapat 7 (tujuh) ciri pembelajaran
berdiferensiasi yaitu:
1. bersifat proaktif
2. mengutamakan kualitas daripada kuantitas
3. menggunakan penilaian diagnostik
4. menggunakan pendekatan konten, proses dan
produk
5. berpusat pada murid
6. memadukan pembelajaran seluruh kelas, individual
dan kelompok
7. bersifat organik dan dinamis
Modul 2.2 Pembelajaran Sosial dan Emosional
Pada modul 2.2 yang
mengangkat topik Pembelajaran Sosial dan Emosional ini kami mempelajari 5
(lima) kompetensi sosial dan emosional yang terdiri dari kesadaran diri,
manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi,dan pengambilan
keputusan yang bertanggung jawab atau CASEL (Collaborative for Academic and Social
Emotional Learning (1995)). Pembelajaran Sosial dan Emosional sendiri meliputi
5 KSE, lingkungan belajar dan sikap.
Kegiatan KSE antara lain
melibatkan murid membuat keyakinan kelas, memberi kesempatan murid untuk
membaca buku pilihannya, memberikan kesempatan murid-murid untuk merefleksikan
proses pembelajaran,dan lain-lain. Selain itu pada modul 2.2 kami belajar
tentang praktik mindfulness (STOP), piramida K-For-Catanese, Tri Sentra
Pendidikan, dan penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah.
Perkembangan murid
disebut holistik jika mencakup perkembangan intelektual, fisik, emosional,
sosial dan karakter. Pembelajaran Sosial dan Emosional sendiri
adalah pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas
sekolah yang memungkinkan anak dan pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah
memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif mengenai
5 Kompetensi Sosial dan Emosional. Mulai dari pengajaran secara eksplisit di
kelas hingga kemitraan dengan keluarga dan komunitas untuk terus mengupayakan
proses kolaboratif dan berkelanjutan.
Pembelajaran Sosial dan Emosional berupaya
menciptakan lingkungan dan pengalaman belajar yang menumbuhkan 5 kompetensi
sosial dan emosional yaitu kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial,
keterampilan berelasi dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.
Pembelajaran 5 KSE tersebut akan dapat menghasilkan murid-murid yang
berkarakter, disiplin, santun, jujur, peduli, responsif, proaktif, mendorong
anak untuk memiliki rasa ingin tahu tentang ilmu pengetahuan, sosial, budaya,
dan humaniora. Semua ini selaras dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar
Isi dalam Standar Nasional Pendidikan.
Pembelajaran Sosial dan Emosional (PSE) adalah
pembelajaran yang dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah.
Proses kolaborasi ini memungkinkan anak dan pendidik dan tenaga kependidikan di
sekolah memperoleh dan menerapkan pengetahuan, keterampilan dan sikap positif
mengenai aspek sosial dan emosional agar dapat:
1.
Memahami, menghayati, dan mengelola emosi (kesadaran diri)
2.
Menetapkan dan mencapai tujuan positif (pengelolaan diri)
3.
Merasakan dan menunjukkan empati kepada orang lain (kesadaran sosial)
4.
Membangun dan mempertahankan hubungan yang positif (keterampilan berelasi)
5.
Membuat keputusan yang bertanggung jawab. (pengambilan keputusan yang
bertanggung jawab)
Kerangka kompetensi pembelajaran sosial dan
emosional CASEL menggunakan pendekatan yang sistematis yang menekankan pada
pentingnya menciptakan lingkungan belajar yang tepat serta terkoordinasi untuk
meningkatkan pembelajaran akademik, sosial, dan emosional semua murid. Kesadaran
Penuh (mindfulness) berperan sebagai dasar penguatan 5 (lima) Kompetensi Sosial
dan Emosional. Pada prinsipnya praktik kesadaran penuh merupakan segala
aktivitas yang kita lakukan secara sadar. Apapun bentuk aktivitasnya - yang
ditekankan adalah perhatian yang diberikan saat melakukan aktivitas tersebut.
Meski demikian, terdapat juga praktik-praktik terpadu yang dikemas secara
khusus untuk membantu kita. Praktik paling mendasar dan sederhana adalah
melatih dan menyadari napas. Salah satu teknik melatih napas adalah Teknik
STOP. Teknik ini dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja, dan tanpa
membutuhkan peralatan. STOP terdiri dari stop,take a breath, observe
and proceed.
Kerangka Pembelajaran Sosial Emosional berbasis
kesadaran penuh dalam mewujudkan kesejahteraan psikologis (well-being)
yang diadaptasi dari piramida K-For-Catanese (dalam Hawkins, 2017) yang
menjelaskan bahwa kesadaran penuh dapat menciptakan kesejahteraan sosial dan
emosional. Kesejahteraan sosial dan
emosi akan membuahkan well-being. Implementasi pembelajaran sosial
emosional di kelas dan sekolah melalui 4 indikator, yaitu: pengajaran
eksplisit, integrasi dalam praktek mengajar guru dan kurikulum akademik,
penciptaan iklim kelas dan budaya sekolah, dan penguatan pembelajaran sosial
emosional pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) di sekolah. Penerapan pembelajaran sosial dan emosional
tidak hanya mencakup ruang lingkup kelas dan sekolah, namun juga melibatkan
keluarga dan komunitas. Hal ini sejalan dengan prinsip pendidikan Tri Sentra
(Tiga Pusat Pendidikan) salah satu gagasan Ki Hajar Dewantara yang menerangkan
bahwa pendidikan berlangsung di tiga lingkungan yaitu, keluarga, sekolah, dan
masyarakat.
Modul 2.3 Coaching untuk Supervisi Akademik
Pada Modul.2.3 kami mempelajarai tentang
Kompetensi Inti Coaching seperti kehadiran penuh (presence), mendengarkan aktif,
dan mengajukan pertanyaan berbobot. Kami juga belajar tentang percakapan
perencanaan, percakapan pemecahan masalah, percakapan berefleksi dan percakapan
kalibrasi. Kemudian kami belajar mendengarkan dengan “RASA” yaitu receive,
appreciate, ask dan summarize serta belajar tentang alur TIRTA (Tujuan,
Identifikasi, Rencana Aksi, Tanggung Jawab) dan alur GROW (Goal, Reality,
Options, Will). Last but not least, kami belajar tentang umpan balik berbasis
coaching dengan menggunakan pertanyaan reflektif dan data yang valid dalam
supervisi klinik dan supervisi akademik.
Supervisi akademik ini dilakukan untuk
memastikan pembelajaran yang berpihak pada murid sebagaimana tertuang dalam
standar proses pada Standar Nasional Pendidikan Pasal 12 yaitu pelaksanaan
pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b
diselenggarakan dalam suasana belajar yang:
a.
interaktif;
b.
inspiratif;
c.
menyenangkan;
d.
menantang;
e.
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif; dan
f.
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis Peserta Didik.
Paradigma berpikir yang memberdayakan mutlak
diperlukan agar pengembangan diri dapat berjalan secara berkelanjutan dan
terarah. Salah satu pendekatan yang memberdayakan adalah coaching sebagaimana
Whitmore (2003) ungkapkan bahwa coaching adalah kunci pembuka potensi seseorang
untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses
kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis,
dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup,
pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999).
Sedangkan Whitmore (2003) mendefinisikan coaching sebagai kunci pembuka potensi
seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu
seseorang untuk belajar daripada mengajarinya. Sejalan dengan pendapat para
ahli tersebut, International Coach Federation mendefinisikan coaching sebagai “bentuk
kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan
profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan
mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.”
Sistem Among, Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing
Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, menjadi semangat yang
menguatkan keterampilan komunikasi guru dan murid dengan menggunakan pendekatan
coaching. Tut Wuri Handayani menjadi kekuatan dalam pendekatan proses coaching
dengan memberdayakan (andayani/handayani) semua kekuatan diri pada murid.
Sebagai seorang Guru (pendidik/pamong) dengan semangat Tut Wuri Handayani, maka
perlulah kita menghayati dan memaknai cara berpikir atau paradigma berpikir Ki
Hajar Dewantara sebelum melakukan pendampingan dengan pendekatan coaching sebagai
salah pendekatan komunikasi dengan semangat among (menuntun).
Paradigma
berpikir coaching yaitu:
1. fokus
pada coachee
2. terbuka
dan ingin tahu
3. memiliki
kesadaran diri kuat
4. melihat
peluang baru
Sedangkan
kompetensi inti coaching yaitu:
1. kesadaran
penuh (presence)
2. mendengarkan
aktif
3. mengajukan
pertanyaan berbobot.
Sebagai seorang coach salah satu peran
terpentingnya adalah membantu coachee menyadari potensi yang dimiliki untuk
mengembangkan kompetensi dirinya, dan menjadi mandiri melalui pendampingan yang
mengedepankan semangat memberdayakan. Alur percakapan coaching TIRTA
dikembangkan dengan semangat merdeka belajar yang membuat kita memiliki
paradigma berpikir, prinsip dan keterampilan coaching untuk memfasilitasi rekan
sejawat agar dapat belajar dari situasi yang dihadapi dan membuat
keputusan-keputusan bijaksana secara mandiri. Hal ini penting mengingat tujuan
coaching yaitu untuk pengembangan diri dan membangun kemandirian. Melalui alur
percakapan coaching TIRTA, kita diharapkan dapat melakukan pendampingan baik
kepada rekan sejawat maupun muridnya. TIRTA dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Tujuan
Umum (Tahap awal dimana kedua pihak coach dan coachee menyepakati tujuan
pembicaraan yang akan berlangsung. Idealnya tujuan ini datang dari coachee).
2. Identifikasi
(Coach melakukan penggalian dan pemetaan situasi yang sedang dibicarakan, dan
menghubungkan dengan fakta-fakta yang ada pada saat sesi)
3. Rencana
Aksi (Pengembangan ide atau alternatif solusi untuk rencana yang akan dibuat)
4. TAnggungjawab
(Membuat komitmen atas hasil yang dicapai dan untuk langkah selanjutnya)
Selain alur TIRTA dapat juga memakai alur GROW
(Goal, Reality, Options, Will) menggunakan
percakapan perencanan,pemecahan masalah, berefleksi atau kalibrasi. Coach perlu
mendengarkan coachee dengan RASA yaitu receive, appreciate, ask
and summarize. Umpan balik berbasis coaching terdiri dari pertanyaan
reflektif dan data valid. Supervisi akademik perlu menggunakan kaca mata dan
topi seorang coach agar supervisi akademik menjadi proses berkelanjutan yang
memberdayakan.
Modul
3.1 Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai-nilai Kebajikan sebagai Pemimpin
Pada
modul 3.1 kami belajar tentang materi Pengambilan Keputusan Berbasis
Nilai-nilai Kebajikan sebagai Pemimpin seperti sekolah sebagai institusi moral,
etiket, etika, bujukan moral dan dilema etika, pengujian benar atau salah,
konsep pengambilan dan pengujian keputusan, dan lain-lain.
Sekolah
adalah ‘institusi moral’ yang dirancang untuk membentuk karakter para warganya.
Seorang pemimpin di sebuah institusi atau sekolah akan menghadapi situasi di
mana pemimpin tersebut perlu mengambil suatu keputusan yang mengandung dilema
secara etika, dan berkonflik di antara nilai-nilai kebajikan universal yang
sama-sama benar. Seorang pemimpin hendaknya memahami nilai-nilai kebajikan yang
tertuang dalam visi dan misi sekolah, berkepribadian serta berkinerja baik
dalam melaksanakan tugas kepemimpinan, khususnya dalam mengambil suatu
keputusan, hendaknya setiap keputusan yang diambil tersebut selaras dengan
nilai-nilai kebajikan yang dijunjung tinggi oleh suatu institusi tersebut,
yaitu bertanggung jawab dan berpihak pada murid.
Dalam
menjalankan perannya, tentu seorang pemimpin di sekolah akan menghadapi
berbagai situasi dimana ia harus mengambil suatu keputusan dimana ada
nilai-nilai kebajikan universal yang sama-sama benar, namun saling
bertentangan. Situasi seperti ini disebut sebagai sebuah dilema etika. Etika
sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno, Ethikos yang berarti kewajiban moral.
Sementara moral berasal dari bahasa Latin, mos jamaknya mores yang artinya sama
dengan etika, yaitu, ‘adat kebiasaan’.
Moralitas
sebagaimana dinyatakan oleh Bertens (2007, hal. 4) adalah keseluruhan asas
maupun nilai yang berkenaan dengan baik atau buruk. Jadi moralitas merupakan
asas-asas dalam perbuatan etik. Istilah lain yang mirip dengan etika, namun
berlainan arti adalah etiket. Etiket berarti sopan santun. Setiap masyarakat
memiliki norma sopan santun. Etiket suatu masyarakat dapat sama, dapat pula
berbeda. Lain halnya dengan etika, yang lebih bersifat ‘universal’ etiket
bersifat lokal (Rukiyanti, Purwastuti, Haryatmoko, 2018). Sedangkan Bujukan
Moral yaitu situasi dimana seseorang harus membuat keputusan antara benar atau
salah.
Prinsip
etika yaitu:
1. Berpikir
berbasis hasil akhir (ended based thinking)
2. Berpikir
berbasis peraturan (rule-based thinking)
3. Berpikir
berbasis peduli (care-based thinking)
Pengujian benar
atau salah yaitu:
a. Uji
Legal
b. Uji
Regulasi atau Standar Profesional
c. Uji
Intuisi
d. Uji
Publikasi
e. Uji
Panutan/Idola
Konsep Pengambilan
dan Pengujian Keputusan yaitu:
1. Mengenal
nilai-nilai yang saling bertentangan.
2. Menentukan
siapa yang terlibat dalam situasi.
3. Kumpulkan
fakta-fakta yang relevan dengan situasi
4. Pengujian
benar atau salah
5. Pengujian
paradigma benar lawan benar.
6. Melakukan
prinsip resolusi.
7. Investigasi
opsi trilemma.
8. Buat
keputusan.
9. Lihat
lagi keputusan dan refleksikan.
Modul
3.2 Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya
Pada modul 3.2 ini kami belajar tentang pengembangan komunitas berbasis aset (Aset-Based Community
Development/ ABCD). Selain itu kami juga belajar tentang sekolah sebagai
ekosistem yang mana terjadi interaksi antar faktor biotik seperti murid, kepala
sekolah, guru, staf, pengawas sekolah,orag tua, masyarakat, dinas dan pemda
dengan faktor abiotik seperti keuangan, sarana/prasarana dan lingkungan alam.
Kemudian kami masih belajar juga tentang paradigma inkuiri apresiatif yaitu
upaya kolaboratif menemukan hal-hal positif di masa lalu,masa kini dan masa
depan. Karakteristik komunitas yang sehat menurut Bank of I.D.E.A.S (2004)
memiliki ciri:
1. Menghargai keragaman
2. Memperkuat koneksi warga
3. membangun koneksi dan kolaborasi.
4. Melihat kekuatan potensi.
5. Menghasilkan kepemimpin
6. Merangkul perubahan.
7. Membentuk masa depan (visi komunitas)
Ada 7 (tujuh) aset yang dimiliki sekolah
diantaranya: modal manusia, modal sosial, modal politik, modal agama dan
budaya,modal fisik,modal lingkungan dan modal finansial. (Green dan Haines
(2016))
Sebagai
sebuah komunitas, sekolah dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya sama
seperti komunitas pada umumnya. Pemanfaatan sumber daya yang dimiliki sekolah
dapat memanfaatkan konsep yang digunakan pada pendekatan pengembangan komunitas
berbasis aset. Kita dapat meminjam kerangka dari Green dan Haines (2016), yang
memetakan 7 aset utama, atau di dalam buku ini disebut sebagai modal utama.
Tujuh modal utama ini merupakan salah satu alat yang dapat membantu
menemukenali sumber daya yang menjadi aset sekolah. Dalam pemanfaatannya,
ketujuh aset ini dapat saling beririsan satu sama lain. JIka diibaratkan
sebagai sebuah ekosistem, sekolah adalah sebuah bentuk interaksi antara faktor
biotik (unsur yang hidup) dan abiotik (unsur yang tidak hidup). Kedua unsur ini
saling berinteraksi satu sama lainnya sehingga mampu menciptakan hubungan yang
selaras dan harmonis. Dalam ekosistem sekolah, faktor-faktor biotik akan saling
memengaruhi dan membutuhkan keterlibatan aktif satu sama lainnya.
Asset-Based
Community Development (ABCD) yang selanjutnya akan kita sebut
dengan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) merupakan suatu kerangka
kerja yang dikembangkan oleh John McKnight dan Jody Kretzmann, di mana keduanya
adalah pendiri dari ABCD Institute di Northwestern University, Amerika Serikat
ABCD dibangun dari kemampuan, pengalaman, pengetahuan, dan hasrat yang dimiliki
oleh anggota komunitas, kekuatan perkumpulan lokal, dan dukungan positif dari
lembaga lokal untuk menciptakan kehidupan komunitas yang berkelanjutan
(Kretzman, 2010).
Pendekatan
berbasis aset ini juga digunakan sebagai dasar paradigma Inkuiri Apresiatif
(IA) yang percaya bahwa setiap orang memiliki inti positif yang dapat
memberikan kontribusi pada keberhasilan. Inti positif ini merupakan potensi dan
aset organisasi. Dalam implementasinya, IA dimulai dengan menggali hal-hal
positif, keberhasilan yang telah dicapai dan kekuatan yang dimiliki organisasi,
sebelum organisasi menapak pada tahap selanjutnya dalam melakukan perencanaan
perubahan. Menurut Cooperrider & Whitney (2005). Inkuiri Apresiatif adalah
suatu filosofi, landasan berpikir, yang berfokus pada upaya kolaboratif
menemukan hal positif dalam diri seseorang, organisasi, dan dunia sekitarnya,
baik dari masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Merekapun mengatakan bahwa
saat ini kita hidup pada zaman yang membutuhkan mata yang dapat melihat dan
mengungkap hal yang baik dan benar.
Pendekatan
Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) muncul sebagai kritik terhadap
pendekatan konvensional atau tradisional yang menekankan pada masalah,
kebutuhan, dan kekurangan yang ada pada suatu komunitas. Pendekatan tradisional
tersebut menempatkan komunitas sebagai penerima bantuan, dan dengan demikian
dapat menyebabkan anggota komunitas menjadi merasa tidak berdaya, pasif, dan
selalu bergantung dengan pihak lainnya.
Modul
3.3 Pengelolaan Program yang Berdampak Positif pada Murid
Pada
Modul 3.3 Pengelolaan Program yang Berdampak Positif pada Murid, kami belajar tentang
student agency (kepemimpinan murid) yaitu kemampuan murid untuk mengarahkan
pembelajaran mereka sendiri, membuat pilihan-pilihan, berkontribusi pada
komunitas belajar dan lain-lain. Kami juga belajar tentang 4 (empat) sifat inti
dari human agency seperti intensi, visi,aksi dan refleksi. Kepemimpinan murid
bukan bebas sepeenuhnya tetapi tetap membutuhkan bimbingan guru dan bukan
berarti mengganti peran guru.
Kepemimpinan murid artinya murid memiliki voice, choice dan ownership.
Cara mempromosikan ownership murid dapat dilakukan dengan: memosting ide siswa,
memajang pekerjaan-pekerjaan di kelas, melakukan penilaian diri sendiri
(self-assessment) dan lain-lain.
Landasan
bagi visi sekolah adalah profil pelajar Pancasila (beriman, bertakwa dan
berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong-royong,mandiri,bernalar kritis
dan kreatif). Murid “berada” dalam lintas komunitas yaitu: keluarga,
kelas/antar kelas,sekolah, sekitar sekolah dan komunitas yang lebih luas. Selain yang tersebut diatas CGP juga belajar
tentang Tri Sentra Pendidikan dan karakteristik lingkungan yang
menumbuhkembangkan kepemimpinan murisd seperti: lingkungan yang melatih
keterampilan yang dibutuhkan murid, lingkungan yang melatih murid untuk
menerima dan memahamikekuatan diri,lingkungan yang menempatkan murid sedemikian
rupa sehingga terlibat aktif dalam proses belajarnya sendiri,dan lain-lain.
Jika
kita mengacu pada OECD (2019:5), ‘kepemimpinan murid’ berkaitan dengan
pengembangan identitas dan rasa memiliki. Ketika murid mengembangkan agency,
mereka mengandalkan motivasi, harapan, efikasi diri, dan growth mindset
(pemahaman bahwa kemampuan dan kecerdasan dapat dikembangkan) untuk menavigasi
diri mereka menuju kesejahteraan lahir batin (wellbeing). Hal inilah
yang kemudian memungkinkan mereka untuk bertindak dengan memiliki tujuan, yang
membimbing mereka untuk berkembang di masyarakat. Konsep kepemimpinan murid
sebenarnya berakar pada prinsip bahwa murid memiliki kemampuan dan keinginan
untuk secara positif mempengaruhi kehidupan mereka sendiri dan dunia di sekitar
mereka.
Kepemimpinan murid dapat dilihat sebagai
kapasitas untuk menetapkan tujuan, melakukan refleksi dan bertindak secara
bertanggung jawab untuk menghasilkan perubahan. Kepemimpinan murid adalah
tentang murid yang bertindak secara aktif, dan membuat keputusan serta pilihan
yang bertanggung jawab, daripada hanya sekedar menerima apa yang ditentukan
oleh orang lain. Ketika murid menunjukkan agency dalam pembelajaran
mereka sendiri, yaitu ketika mereka berperan aktif dalam memutuskan apa dan
bagaimana mereka akan belajar, maka mereka cenderung menunjukkan motivasi yang
lebih besar untuk belajar dan lebih mampu menentukan tujuan belajar mereka
sendiri. Lewat proses yang seperti ini, murid-murid akan secara alamiah
mempelajari keterampilan belajar (belajar bagaimana belajar).
Melalui filosofi dan metafora “menumbuhkan
padi”, Ki Hajar Dewantara mengingatkan kita bahwa dalam mewujudkan pembelajaran
yang berpusat pada murid, kita harus secara sadar dan terencana membangun
ekosistem yang mendukung pembelajaran murid sehingga mampu memekarkan mereka
sesuai dengan kodratnya. Dengan demikian, saat kita merancang sebuah
program/kegiatan pembelajaran di sekolah, baik itu intrakurikuler,
ko-kurikuler, atau ekstrakurikuler, maka murid juga seharusnya menjadi
pertimbangan utama.
Program/kegiatan intrakurikuler merupakan
merupakan program/kegiatan utama sekolah yang dilakukan dengan menggunakan
alokasi waktu yang telah ditentukan dalam struktur program sekolah.
Program/Kegiatan ini dilakukan oleh guru dan murid dalam jam pelajaran setiap
hari dan ditujukan untuk mencapai tujuan minimal dari setiap mata pelajaran
dalam kurikulum. Sementara itu, program/kegiatan kokurikuler merupakan
program/kegiatan yang dilaksanakan sebagai penguatan atau pendalaman kegiatan
intrakurikuler. Program/kegiatan ini meliputi kegiatan pengayaan mata
pelajaran, kegiatan ilmiah, pembimbingan seni dan budaya, dan/atau bentuk
kegiatan lain yang dapat menguatkan karakter murid. Sedangkan program/kegiatan
ekstrakurikuler adalah program/kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik di
luar jam belajar kegiatan intrakurikuler dan kegiatan kokurikuler, di bawah
bimbingan dan pengawasan sekolah, dan diselenggarakan dengan tujuan untuk
mengembangkan potensi, bakat, minat, kemampuan, kepribadian, kerjasama, dan
kemandirian murid.
Saat murid menjadi pemimpin dalam proses
pembelajaran mereka sendiri (atau kita katakan: saat murid memiliki agency,
maka mereka sebenarnya memiliki suara (voice), pilihan (choice),
dan kepemilikan (ownership) dalam proses pembelajaran mereka. Lewat
suara, pilihan, dan kepemilikan inilah murid kemudian mengembangkan kapasitas
dirinya menjadi seorang pemilik bagi proses belajarnya sendiri.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset
dan Teknologi sendiri, telah mengamanatkan tentang pentingnya kemitraan antara
sekolah dengan orang tua dan masyarakat. Kemitraan ini disebut dengan “Tri
Sentra Pendidikan”. Kemitraan tri sentra pendidikan adalah kerjasama antara
satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat yang berlandaskan pada asas gotong
royong, kesamaan kedudukan, saling percaya, saling menghormati, dan kesediaan
untuk berkorban dalam membangun ekosistem pendidikan yang menumbuhkan karakter
dan budaya prestasi peserta didik. Melalui pemberdayaan, pendayagunaan, dan
kolaborasi tri sentra pendidikan ini, maka keterlibatan yang bermakna dari
orangtua dan anggota masyarakat dalam proses pembelajaran menjadi fokus yang
perlu terus diupayakan oleh sekolah. Sebagai pusat dari proses pendidikan,
murid ‘berada’ dalam lintas komunitas. Mereka dapat berada sekaligus pada:
a. komunitas keluarga (anggotanya dapat
terdiri orang tua, kakak, adik, pengasuh, dsb)
b. komunitas kelas dan antar kelas
(anggotanya dapat terdiri teman sesama murid, guru)
c. komunitas sekolah (anggotanya dapat
terdiri dari kepala sekolah, pustakawan, penjaga sekolah, laboran, penjaga
keamanan, tenaga kebersihan, petugas kantin, dsb)
d. komunitas sekitar sekolah (anggotanya
dapat terdiri dari RT/RW, tokoh masyarakat setempat, puskesmas, tokoh agama
setempat, dsb)
e. komunitas yang lebih luas. (anggotanya
dapat terdiri dari organisasi masyarakat, dunia usaha, media, universitas, DPR,
dsb)
Sebagaimana padi yang hanya akan tumbuh
subur pada lingkungan yang sesuai, maka kepemimpinan murid pun akan tumbuh
dengan lebih subur jika sekolah dapat menyediakan lingkungan yang cocok.
Lingkungan yang menumbuhkembangkan kepemimpinan murid adalah lingkungan di mana
guru, sekolah, orangtua, dan komunitas secara sadar mengembangkan wellbeing
atau kesejahteraan diri murid-muridnya secara optimal. Menyadur apa yang
disampaikan oleh Noble tersebut, maka lingkungan yang menumbuhkembangkan
kepemimpinan murid akan memiliki beberapa karakteristik, di antaranya adalah:
1. Lingkungan
yang menyediakan kesempatan untuk murid menggunakan pola pikir positif dan
merasakan emosi yang positif.
2. Lingkungan
yang mengembangkan keterampilan berinteraksi sosial secara positif, arif dan
bijaksana, di mana murid akan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial positif yang
berbasis pada nilai-nilai kebajikan yang dibangun oleh sekolah.
3. Lingkungan
yang melatih keterampilan yang dibutuhkan murid dalam proses pencapaian tujuan
akademik maupun non-akademiknya.
4. Lingkungan
yang melatih murid untuk menerima dan memahami kekuatan diri, sesama, serta
masyarakat dan lingkungan di sekitarnya.
5. Lingkungan
yang membuka wawasan murid agar dapat menentukan dan menindaklanjuti tujuan,
harapan atau mimpi yang manfaat dan kebaikannya melampaui pemenuhan kepentingan
individu, kelompok, maupun golongan.
6. Lingkungan
yang menempatkan murid sedemikian rupa sehingga terlibat aktif dalam proses
belajarnya sendiri.
7. Lingkungan
yang menumbuhkan daya lenting dan sikap tangguh murid untuk terus bangkit di
tengah kesempitan dan kesulitan.
Referensi:
Paket Modul Pendidikan Guru
Penggerak,Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi